29
Agustus 2013
‘Cukup sudah!! Sampai
kapanpun kau tidak akan mengerti!”. Hera menutup pintu kamarnya dengan keras.
Suami Hera, Radith hanya bisa terpaku di depan pintu kamar dan menangis. Ini
pertengkaran kesekian kalinya sejak lima tahun usia pernikahan mereka. Pemicu
masalah selalu sama, yaitu Radith hanya ingin Hera berhenti bekerja. Ini
merupakan masalah yang sangat klise tapi mereka berdua tidak pernah dapat
benar-benar menyelesaikannya. Radith masih berdiri di depan pintu tanpa berkata
apapun. Jam menunjukkan pukul satu pagi dan Sarah anak mereka yang berusia tiga
tahun sedang tertidur lelap.
“Hera, kau dengar
aku?”. Kata Radith dari depan pintu kamar namun Hera tidak menjawab.
“Baiklah aku anggap kau
mendengarku. Dengar, besok aku akan membawa sarah bersamaku ke rumah orang
tuaku. Maaf bukannya aku tidak percaya lagi padamu tapi aku rasa Sarah akan
merasa lebih baik jika ia ku titipkan di sana untuk sementara. Aku juga akan
tinggal di sana. Dan untuk pekerjaanmu, lakukanlah sampai kapanpun kau mau. Aku
sudah tidak peduli lagi”. Usai mengatakan hal itu Radith segera pergi. Dugaan
Radith benar, Hera memang mendengar ucapannya. Kini Hera hanya bisa menangis.
***
30
Agustus 2013
Radith tengah
mempersiapkan pakaian Sarah yang akan dibawa ke rumah Ibunya. Sarah yang masih
berusia tiga tahun sedang asyik menonton acara televisi kesukaannya sambil
meminum susu coklat.
“Jangan bawa Sarah
pergi”. Tetiba Hera keluar dari kamar.
“Terlambat, ini sudah
aku putuskan”. Radith tidak menatap Hera sedikitpun. Ia fokus merapikan barang-barang
yang hendak ia bawa. Persiapan selesai. Radith menghampiri Sarah dan segera
menggendongnya. Dengan koper yang ia tarik dengan tangan kirinya, Radith
berjalan keluar rumah.
“Aku akan berhenti
kerja”. Hera berteriak dan berhasil menghentikan langkah Radith.
Namun Radith lagi-lagi
tidak menghiraukan ucapan Hera. Ia tetap berjalan menuju mobilnya yang terparkir
di depan rumah.
“Radith, kumohon.
Jangan pisahkan aku dengan Sarah. Jika kau ingin aku berhenti kerja, baiklah
aku akan berhenti. Asalkan Sarah tetap bersamaku. Kumohon jangan pergi”. Hera
menangis di depan pintu mobil Radith. Sedangkan Radith hanya menatap Hera
dengan tatapan sinis seolah mengatakan semuanya sudah terlambat. Tanpa berkata
sedikitpun, Radith menyalakan mesin mobil dan segera melaju dengan cepat.
Melihat hal itu Hera hanya terduduk di tepi jalan sambil menangis.
Hera kembali masuk ke
dalam rumah dengan langkah yang gontai. Seharian ia tidak bernafsu untuk makan.
Bahkan hari ini ia pun tidak berangkat kerja seperti biasanya. Hera adalah
seorang wanita karir yang sangat sukses. Sebelum menikah karirnya pun sudah
sukses. Bahkan melebihi kesuksesan Radith. Setelah menikah orientasi Hera tetap
pada karir. Di awal pernikahan, Hera meminta pada Radith untuk menunda memiliki
anak. Radith pun menuruti keinginan istrinya tersebut hingga akhirnya selama
dua tahun mereka tidak memiliki anak. Setelah dua tahun Radith merasa
merindukan adanya sang buah hati. Akhirnya lahirlah Sarah ke dunia ini. Namun
kehadiran Sarah sepertinya tidak membuat keluarga ini bahagia. Lebih tepatnya
hanya Radith yang bahagia. Tapi Hera?? Ia merasa tersiksa. Bagi Hera, Sarah
hanya mempersempit ruang geraknya. Hera menjadi tidak bisa fokus pada karir.
Itulah sebabnya Hera menjadi lebih sering meninggalkan Sarah dengan pembantu di
rumah demi pekerjaannya. Demi karirnya yang cemerlang. Hera tidak pernah
menyadari bahwa tingkahnya itu membuat Radith sangat kecewa. Hari ini
kekecewaan Radith pada Hera sudah sampai pada puncaknya. Tidak ada pilihan lain
selain berpisah dan membawa Sarah pergi bersamanya. Untuk saat ini, itulah
jalan terbaik bagi Radith.
Hera merasa bodoh jika
hanya terdiam di rumah meratapi kepergian suami dan anaknya. Sore ini Hera
akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Radith. Tujuannya hanya
satu, meminta keluarganya itu untuk kembali. Dengan cepat Hera melajukan
mobilnya. Pandangan Hera terhenti pada sebuah toko bunga di tepi jalan. Hera
melambatkan laju mobilnya kemudian berhenti tepat di depan toko bunga itu. Hera
keluar dari mobil menghampiri deretan bunga mawar yang dipajang pada bagian
depan toko.
“Ingin membeli mawar
yang mana mbak?”. Tanya seorang wanita penjual bunga kira-kira seusia dengan
Hera.
“Ehmm aku mau yang ini”.
Hera menunjuk pada buket yang berisi mawar merah.
“Mawar merah? Pilihan
yang bagus”. Kata wanita penjual bunga sambil tersenyum.
“Memang bagus. Itu
adalah mawar kesukaan suamiku”. Hera mengambil dompet dari dalam tasnya.
“Wah suami anda sedang
ulang tahun ya? Romantis sekali dibelikan mawar”. Wanita penjual bunga
tersenyum lebar.
“Ah tidak, ada sesuatu
yang harus kuselesaikan”. Hera berusaha tersenyum meskipun kini ekspresi
wajahnya terlihat sedih.
“Maaf mba jika saya lancang”.
Wanita penjual bunga menyadari ucapannya salah.
“Tidak apa-apa. Oiya
jika boleh tahu, mengapa anda hanya menjual mawar? Sejak tadi kulihat tidak ada
bunga lain di toko ini”. Hera melihat ke sekeliling.
“Oh itu… Membuka toko
mawar adalah impian aku dengan suamiku. Tidak boleh ada bunga lain yang dijual
di sini selain mawar”.
“Impian yang sangat
menarik. Aku dan suamiku juga mempunyai mimpi tentang mawar. Setelah menikah
akan membuat taman mawar yang luas di halaman rumah. Dan tentunya didominasi
dengan mawar merah kesukaannya itu. Sayangnya hingga hari ini impian itu belum
juga terwujud. Dan kurasa ini salahku”. Hera bercerita.
“Setidaknya anda masih
punya waktu untuk mewujudkannya bersama suami anda”. Wanita penjual bunga itu
tertunduk.
“Maksudnya?”. Hera
merasa heran
“Toko bunga mawar ini
baru bisa aku buka setelah suamiku meninggal. Kami tidak sempat mewujudkannya
bersama-sama”.
“Ma..maaf harusnya aku tidak membahas ini”.
“Tidak apa-apa. Oiya
ini mawar merah yang anda mau”. Wanita penjual bunga itu menyerahkan mawar pada
Hera sambil tersenyum. Hera membayar mawar itu dan segera menuju mobilnya.
Wanita penjual bunga
menghampiri Hera.
“Semoga impian anda dan
suami anda terwujud”. Mendengar hal itu Hera hanya tersenyum kemudian
melambaikan tangan.
“Aku
tidak yakin masih punya waktu untuk mewujudkannya bersama suamiku”.
Kata Hera dalam hati.
***
“Hallo selamat sore,
benar ini dengan Pak Radith?”. Ucap seorang pria dari seberang telepon.
“Iya benar, siapa ini?”.
“Kami dari kepolisian.
Istri anda yang bernama Hera Ferdiana mengalami kecelakaan lalu lintas dan
meninggal di TKP.
Setibanya
di kantor polisi…….
“Pak Radith, kami
menemukan ini di mobil istri anda. Kelihatannya ini memang untuk anda”. Polisi
berkumis menyerahkan buket bunga mawar merah pada Radith. Di dalam buket itu
terdapat secarik surat.
“Radith,
maafkan aku. Mungkin kau bosan mendengar ucapan maaf dariku. Tapi, aku bisa
pastikan ini adalah ucapan maaf terakhir dariku. Jika kau memaafkanku, aku kan
berusaha menjadi istri yang baik bagimu. Dan yang terpenting aku akan menjadi
ibu yang baik bagi Sarah. Oiya, anggap saja mawar merah ini sebagai ucapan maaf
dariku. Aku baru sadar sudah hampir lima tahun aku tidak pernah memberimu mawar
merah. Bahkan keegoisanku membuat mimpi kita tentang membuat taman mawar
terbengkalai. Kumohon, berikan aku kesempatan untuk mewujudkan mimpi itu
bersamamu dan juga Sarah. Maafkan aku”.
Dari
istri yang selalu mencintaimu, Hera.
Radith menangis sambil
memeluk Sarah yang tengah berada dalam gendongannya.
The
End
Aku akan memberikan kesempatan, namun nyatanya kau yang tidak memberikanku kesempatan. Bahkan kau tidak memberikanku kesempatan untuk berkata "iya aku maafkan" di detik-detik terakhirmu.
(Radith)