Halaman

Senin, 25 November 2013

INVISIBLE


“Kau yang di pojok sana! Jangan bicara terus sendirian!. Keluar dari kelasku!!”. Bu Selly berteriak pada seorang murid pria yang duduk tak jauh dari tempatku di pojok kanan kelas. Ia tidak berkata apa-apa selain pergi meninggalkan kelas dengan langkah yang lemah. Seisi kelas kini terdengar berbisik-bisik membicarakannya. Namun bentakan Bu Selly membuat kami hening kembali. Pria itu, namanya Lee Seon Ho. Ia mahasiswa pertukaran pelajar dari Korea Selatan. Ia mulai belajar di kampus ini sekitar satu bulan yang lalu. Di awal kedatangannya, seluruh mahasiswi histeris dan sibuk membicarakan ketampanannya. Ya, Seon Ho memang sangat tampan. Pria yang memiliki warna mata kecoklatan yang sepadan dengan dengan warna rambutnya ini sangat tampan, tidak kalah tampan dari Siwon personil Super Junior. Bahkan menurutku, sepertinya Seon Ho lebih tampan dari Siwon. Belum lagi kabar yang beredar bahwa ayah Seon Ho adalah orang Indonesia sehingga ia cukup lancar berbahasa Indonesia. Awalnya aku tidak yakin karena wajah Seon Ho tidak menunjukkan adanya campuran dengan Indonesia, namun perbincangan pertama kami membuatku yakin 100% bahwa ayahnya memang orang Indonesia.
“Buku yang kau baca bagus”. Kataku ketika duduk di sampingnya di perpustakaan kampus. Ia hanya melirik ke arahku sebentar dan kemudian lanjut membaca.
“Ah namaku Azzahra, panggil aku Zahra. Kita teman sekelas”. Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya.
“Aku Lee Seon Ho. Seon Ho”. Ia membalas uluran tanganku namun sikapnya masih dingin.
“Hemm salam kenal Seon Ho”. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa dihadapannya. Sikapnya terlalu dingin, sulit untuk membuatnya hangat. Aku hanya berusaha tenang duduk di sampingnya dan membaca beberapa buku yang telah kubawa. Suasana perpustakaan saat itu sangat hening hingga akhirnya suara gema Adzan dari musala kampus memecah keheningan.
“Kau, masih akan tetap di sini?”. Seon Ho menutup bukunya kemudian berdiri. Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba itu.
“Ah aku….”.
“Cepat ke musala, kita salat ashar”. Ia kemudian berjalan perlahan tanpa menunggu aku berdiri dari tempat dudukku. Apa katanya? Salat? Batinku. Dengan segera aku berlari kecil untuk mengejarnya.
“Tadi kau bilang apa? Salat?”.
“Iya, mengapa? Ada yang aneh? Aku muslim karena ayahku asli orang Semarang, dan ibuku mualaf”.
“Hooo begitu”. Aku tak berani berkata-kata apapun lagi sekarang. Meskipun tadi ia berbicara dengan kalimat yang sedikit panjang, tapi tetap saja ekspresi wajahnya datar. Seolah mengatakan padaku, diamlah. Kau terlalu banyak bertanya.
Sejak perbicangan di hari itu aku tahu kebenarannya, bahkan mengetahui bahwa dia seorang muslim pun merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan bagiku. Memang kehadirannya membuat para mahasiswi  berlomba-lomba untuk mendekatinya mungkin termasuk aku sendiri. Setiap hari aku melihatnya dikelilingi mahasiswi di kelas. Tapi sikap Seon Ho yang dingin pada semua mahasiswa itu. Lagi-lagi termasuk kepadaku. Bedanya aku lebih suka mendekati Seon Ho saat ia sedang di perpustakaan seperti minggu lalu. Namun histeria akan kehadiran Seon Ho lenyap ketika sebuah kejadian aneh terjadi. Kemarin, ada seorang mahasiswi yang melihat  Seon Ho berbicara dan tertawa sendirian di dalam kelas. Berita itu cepat sekali menyebar hingga keadaannya sekarang seperti ini, Seon Ho dijauhi. Tidak ada lagi mahasiswi yang mendekatinya. Bahkan sikap Seon ho yang pendiam dan tanpa ekspresi itu semakin menjadi-jadi sekarang. Ia menjadi sosok yang lebih tertutup.
Aku berjalan menuju lapangan parkir kampus ketika akan pulang. Kulihat Seon Ho sedang duduk sendirian di dekat mobil Nissan Juke merahnya sambil tertunduk. Ah setelah kejadian Bu Selly tadi ia tak mengikuti kuliah selanjutnya, apakah ia sedih? Batinku. Perlahan aku menghampiri Seon Ho dan duduk di sampingnya.
“Seon Ho, kau baik-baik saja?”. Jujur ini adalah perbincangan kedua kami setelah di perpustakaan itu. Seon Ho tidak menjawab pertanyaanku, ia masih saja tertunduk.
“Emm baiklah, semoga kau baik-baik saja”. Aku berdiri dan segera berjalan menuju mobilku yang diparkir tepat di samping mobilnya.
“Zahra, temani di sini sebentar”. Seon Ho menghentikan gerakan tanganku yang akan membuka pintu mobil. Apa? Temani? Kataku merasa bingung dalam hati. Aku tidak menjawab selain kembali duduk di sampingnya. Seon Ho masih tidak bicara. Hemm mungkin ia hanya minta untuk ditemani duduk, bukan bicara. Biarlah jika itu bisa membuatnya tenang. Namun hampir tiga puluh menit berlalu ia tetap tidak bicara sepatah katapun. Aku merasa aneh dan sedikit geram. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“Seon Ho, apakah ada yang ingin kau katakan?”.
“Tidak ada”. Oh Tuhan terimakasih karena kali ini ia menjawab pertanyaanku walaupun singkat.
“Lalu apa yang kau lakukan di sini? Dan mengapa kau memintaku untuk menemanimu?”.
“Aku sedang mendengarkan cerita sahabatku”.
“Sahabat?”. Aku melihat ke sekitar. Tidak ada orang di sini selain kami berdua. Lalu siapa yang dimaksud sahabat oleh Seon Ho?
“Iya, kenalkan ini Sierra, sahabatku”. Seon ho menunjuk ke sampingnya. Namun aku tidak melihat siapa-siapa di sana. Aku tersenyum sebentar ke arah Seon Ho menunjuk.
“A…a…ah aku Azzahra. Senang berkenalan denganmu…Sierra”. Bodoh, apa-apaan ini? Siapa yang sedang aku ajak bicara sekarang?
“Panggil saja dia Zahra, kau tidak usah sungkan. Ia teman sekelasku”. Seon Ho terlihat manis ketika berbicara pada sosok yang ia beri nama Sierra itu. Aku masih kebingunan dengan hal ini. Otakku rasanya menjadi malas untuk berpikir. Rasanya ingin kutinggalkan saja Seon Ho dan menganggapnya gila. Namun ada sesuatu yang menahanku, entah apa itu. Batinku mengatakan, teruskan saja kegilaan ini! Teruskan!.
“Ya, benar. Panggil saja aku Zahra”. Kataku sambil tersenyum tidak jelas.
“Emm tapi Seon Ho, sejak tadi aku tidak bisa mendengar Sierra bicara”.
“Sierra itu pemalu, ia hanya akan menampakkan diri dan suaranya hanya pada orang tertentu. Lebih tepatnya hanya kepadaku”. Deg!! Jadi Seon Ho sebenarnya tahu bahwa aku tidak bisa melihat Sierra? Kurasa kali ini Seon Ho-lah yang akan mengatakan bahwa aku sudah gila.
“Ohh begitu rupanya”.
“hmm”.
Kini semuanya kembali hening dan aku rasa aku harus segera menyudahi kegilaan ini.
“Oiya, aku harus pulang sekarang. Ibuku sudah menunggu di rumah”. Aku berdiri dan memberi salam.
“Zahra, gomawo. Oiya, Sierra bilang ia senang berkenalan denganmu”.
“Ne, cheonmaneyo”. Kegemaranku menonton drama korea sedikit membantuku untuk mengerti apa yang Seon Ho ucapkan. Aku mengangguk lalu langsung masuk ke dalam mobilku. Sebelum melajukan mobil, aku sempatkan membuka kaca mobil dan melambaikan ke arah Seon Ho dan juga……Sierra. Aku memang hanya mendengar gosip tentang Seon Ho yang berbicara sendiri, namun hari ini aku melihatnya langsung bahkan berkenalan dengan sosok tak nampak itu. Pria tampan itu kini menjadi sosok yang sangat misterius bagiku. Ada hal yang ingin kuketahui darinya namun aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku ketahui. Membingunkan.

Sore ini langit begitu muram. Memang sepertinya sejak pagi tadi langit enggan tersenyum sehingga Susana hari ini terasa sendu. Keadaan ini diperparah dengan mobilku yang sedang masuk bengkel. Alhasil hari ini aku harus naik taksi.
“Ah, akhirnya hujan juga kan, lalu bagaimana aku pulang? Tidak bawa payung pula”. Gerutuku sendirian di depan kelas. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan menuju kantin sambil menunggu hujan reda. Sampai akhirnya ada seorang pria yang suaranya kukenal memanggilku sambil berlari ke arahku. Aku segera menoleh dan kudapati Seon Ho ada di hadapanku sekarang.
“Ada acara setelah ini?”. Katanya sambil merapikan buku-buku ditangannya yang terlihat berantakan akibat berlari.
“Eh… tidak ada. Ada apa?” Jawabku gugup. Tanpa sadar aku menggaruk-garuk teingaku. Kurasa Seon Ho paham jika aku gugup. Biarlah.
“Sierra sakit, ia bilang ingin bertemu denganmu”.
“Apa?? Sakit??”. Aku terkejut bukan karena seseorang yang ku kenal jatuh sakit, melainkan karena bagaimana makhluk gaib itu bisa sakit?.
“Iya, Sierra sakit”. Wajah tampan Seon Ho terlihat sangat sedih sekali.
“Emmmm baiklah, kita pergi kemana sekarang? Rumah sakit?”. Ah pertanyaan bodoh lagi.
“Tidak. Sierra di rumahku”.
“Rumahmu?”
“Tenang, di rumah ada ayahku. Jadi kau tidak perlu khawatir”. Seon Ho tersenyum sambil memegang pundakku. Dia cerdas juga bisa memahami kekhawatiranku. Dan ini pertama kalinya aku melihat Seon Ho tersenyum. Manis sekali.
“Baiklah”.
“Nah, kau ikuti mobilku dari belakang ya. Aku akan menyetir perlahan jadi kau bisa mengikuti”.
“Tapi Seon Ho, hari ini aku tidak bawa mobil karena sedang diperbaiki.
“Ah itu terdengar lebih baik. Ayo pergi”. Seon Ho segera menarik tanganku kemudian berjalan dengan tergesa-gesa. Ini pertama kalinya seorang pria memegang tanganku. Aku pandangi pria yang tingginya sekitar 180 cm itu berjalan sambil memegang tanganku. Ah oppa, mengapa harus aku? Batinku.
Akhirnya kami tiba di sebuah rumah mewah. Di depan pintu kami disambut oleh seorang pria agak tua dengan setelan kemaja biru yang rapi.
“Halo Pah, kenalkan ini teman kuliahku Azzahra”.
“Halo om, panggil aku Zahra saja”. Aku bersalaman dengan ayahnya sambil tersenyum.
“Hoo ini Zahra, cantiknya. Panggil om dengan Om Brata saja. Ayo cepat masuk. Sierra sudah menunggu”. Senyum om Brata ramah sekali, wajahnya sangat bersahaja. Dan pujian cantiknya itu membuatku sedikit melayang. Tunggu, tadi ia bilang apa? Sierra? Sepertinya sekarang aku sedang menghadapi ayah dan anak yang kompak gilanya. Ah aku juga sudah ikutan gila sekarang.
“Iya om, terimakasih”.
“Ayo Zahra langsung ke kamarku saja”. Ajak Seon Ho sambil menarik tanganku lagi. Aku berhenti sejenak dan menoleh ke arah om Brata. Om Brata hanya tersenyum kemudian mengangguk pertanda mengizinkanku untuk masuk ke kamar Seon Ho. Benar-benar ayah dan anak yang sangat kompak. Bisa mengerti apa yang aku khawatirkan tanpa perlu aku ucapkan.
“Sierra lihat siapa yang datang”. Ucap Seon Ho ketika memasuki kamarnya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana ekspresi Sierra ketika aku datang. Kini aku duduk di tepi tempat tidur. Aku hanya bisa memandangi bantal dan bad cover, bagiku tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Sierra yang tak nampak itu. Dengan berusaha menghilangkan logikaku, kupaksakan berbicara pada bantal.
“Sierra, kau baik-baik saja?” Tidak ada jawaban, oh mungkin aku yang tidak mendengarnya.
“Seon Ho, Sierra bilang apa?”. Tanyaku pada Seon Ho yang berdiri di belakangku.
“Sierra bilang dia baik-baik saja setelah kau datang”.
“Benarkah?”. Tanpa sadar aku merasa sangat senang mendengar hal itu dan Seon Ho hanya tersenyum. Lagi, Seon Ho tersenyum lagi. Manisnya.
“Kalau begitu, bolehkah aku melihat Sierra? Ia pasti cantik secantik namanya”.
“Sierra bilang belum saatnya”.
“Hemm baiklah. Nah, sebaiknya sekarang kita biarkan ia beristirahat”.
“Zahra, Sierra ingin ditemani olehmu hingga ia tidur”.
“Baiklah Sierra”. Aku tersenyum ke arah bantal itu.
“Terimakasih Zahra, aku akan mengambilkan minum untukmu”.
Aku hanya tersenyum dan Seon Ho keluar dari kamar, Sekarang apa? Apa benar di tempat tidur ini ada Sierra? Mengapa ini terlalu rumit?
“Sierra, kau masih bisa mendengarku? Hemm aku mungkin baru mengenal Seon Ho. Tapi aku sudah bisa meraskan bahwa Seon Ho sangat sayang padamu. Dan sepertinya ia hanya tertawa saat bersamamu. Jika Seon Ho menganggapmu sangat berarti, kumohon jaga Seon Ho ya. Biarkan ia tetap tersenyum seperti hari ini”. Aku berbicara pada Sierra seakan sedang berbicara pada adikku yang sedang tertidur. Entah ia mendengarku atau tidak, yang jelas aku merasa benar-benar gila sekarang.

Ini hari minggu, jam 7 masih terlalu pagi untuk memulai segala aktifitas. Aku menarik selimutku kembali hingga menutupi wajahku. Tetiba handphone-ku berdering. Dengan malas aku meraihnya dan mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelpon.
“Hello, good Sunday morning”. Nadaku lemas.
“He??? Eh iya iya baik. Sampai jumpa. Apalagi ini? Batinku.

“Jujur saja aku terkejut ketika ia bilang punya seorang teman”. Om Brata memulai pembicaraan setelah waiters mengantarkan minuman ke meja kami. Sebuah kafe di dekat kampus yang disepakati om Brata untuk bertemu saat di telepon tadi.
“Maksud om?”
“Sejak kuliah di sini, ia belum pernah menceritakan tentang teman-temannya, apalagi membawa temannya ke rumah”.
“Seon Ho memang cenderung pendiam di kampus, bahkan terkesan tertutup”.
“Saat di Seoul ia juga seperti itu. Seon Ho lebih senang bermain dengan teman khayalannya itu”.
“Maksud om, Sierra?”.
“Ya, Sierra adalah teman khayalannya sejak SMP. Seon Ho sendiri menjadi sosok yang pendiam sejak ibunya meninggal dunia saat SMP itu”. Aku hanya terdiam mendengar cerita om Brata. Matanya kini berlinang-linang.
“Dulu Seon Ho anak yang ceria, tapi….”. Kini om Brata tidak bisa melanjutkan kata-katanya dan tangisnya pun pecah.
“Om, tenanglah. Seon Ho pasti akan melalui masa-masa ini dengan baik dan ia akan seperti dulu lagi. Menjadi Seon Ho yang ceria”. Aku berusaha menenangkan om Brata.
“Itulah maksudku memintamu datang menemuiku, kumohon jadilah teman Seon Ho. Teman yang nyata. Bawalah kembali dunia Seon Ho. Kumohon”. Om Brata menatapku penuh harap. Aku hanya tertunduk sekarang.
“Emm aku tidak yakin, tapi… aku kucoba”.
Aku tersenyum mencoba memberi harapan pada om Brata. Meskipun saat ini aku belum tahu apa yang harus aku lakukan. Namun sepertinya om Brata sedang dalam keadaan sangat sedih dan bukan saatnya mendengar penolakan.

Senin datang, hemm aku benci kuliah di hari Senin. Terlebih lagi mobilku masih di bengkel. Ini akan sangat menyusahkan bagiku yang sudah terbiasa menggunakan mobil sendiri. Aku merapikan buku-buku yang akan ku bawa dan meraih handphone-ku untuk menelepon taksi, namun handphone-ku bordering lebih dulu.
“Seon Ho?”. Aku terkejut melihat layar handphone-ku.
“emm ya halo Seon Ho”.
“Kau sudah berangkat?”
“Belum, baru akan menelepon taksi”.
“Jangan telepon taksi, biar saja aku yang menjemputmu”.
“Apa??”
“Sudahlah aku tutup teleponnnya ya. Aku akan tiba dalam waktu 15 menit. See ya”.
Apa ini? Seon Ho menjemputku? Hemm sepertinya ini akan lebih mudah. Ya, mengembalikan dunia Seon Ho akan lebih mudah sekarang.
“Kau terlambat dua menit”. Kataku ketika menyambutnya di depan gerbang.
“Benarkah? Ah lain kali akan kucoba tepat waktu”. Seon Ho menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum. Hari ini Seon Ho berbeda, aku tidak lagi melihat wajah datarnya. Pertanda baik.
“Lain kali?”
“Iya, jika perlu setiap hari”. Seon Ho tersenyum padaku.
“A….oh iya apakah kau mengajak Sierra?” Aku melihat ke arah  mobil Seon Ho.
“Tentu, dia sudah menunggu di dalam. Ayo cepat naik”.
“hmm”.
Aku duduk di bangku belakang. Sedikit aneh memang, namun Seon Ho mengatakan bahwa Sierra ingin duduk di depan. Baiklah Seon Ho, mari kita bermain drama sekarang.
“Oiya Seon Ho”.
“Hmm”. Gumamnya sambil masih fokus menyetir mobil.
“Berapa usia Sierra?”.
“Ohh Sierra sebaya dengan kita, usianya 21 tahun”.
“Wah ternyata sebaya, aku kira lebih muda dari kita. Hemm…… apakah kau menyukai Sierra?”
“Sierra bilang jangan bahas itu, dia malu”. Seon Ho sedikit tertawa di akhir kalimatnya.
“Oh, baiklah. Maaf aku tidak bermaksud”.
“Sierra bilang kau lucu”.
“Hee???”.
Perjalanan ke kampus memakan waktu hampir satu jam karena macetnya jalan raya di hari Senin tidak bisa dihindari. Seon Ho membukakan pintu untukku ketika mobilnya telah sempurna diparkir.
“Ayo”.
“Tunggu, Sierra tidak ikut?”
“Sejak kejadian mahasiswa yang melihat kami berbicara di kelas, ia jadi lebih suka menunggu di mobil”.
“Hmm begitu rupanya”.
“Sudah jangan khawatir, Sierra akan baik-baik saja”.

“Kau!!”. Seorang wanita mendorongku hingga menyentuh dinding koridor kampus.
“Vita, kau kenapa?”
“Sejak kapan kau dekat dengan Seon Ho?”
“Tidak, kami hanya…”
Praakk!! Tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Kini aku memegangi pipiku yang kesakitan.
“Jangan terlalu dekat dengan Seon Ho”.
“Tapi kenapa? Bukankah wanita di kampus ini membencinya?”
“Tidak denganku!!”
Vita pergi meninggalkanku yang masih terpaku dengan ucapannya. Aku melihatnya pergi dengan langkah yang cepat. Syukurlah tidak ada yang menyaksikan kejadian ini. Koridor kampus di dekat ruang laboratorium ini memang selalu sepi. Vita adalah mahasiswi paling populer di kampus. Ia cantik dan cerdas bahkan hampir memiliki segalanya. Kudengar ia memang orang yang mudah cepat marah, namun kemarahannya ini sungguh membingunkan. Setahuku, Vita-lah yang telah melihat Seon Ho berbicara dan tertawa sendirian di kelas dan kemudian ia menyebarkan hal itu ke seluruh kampus. Namun, apa yang ia katakana tadi? Jangan terlalu dekat dengan Seon Ho? Ia tidak membenci Seon Ho? Bukankah ia yang menyebabkan seisi kampus membenci Seon Ho? Aneh.
Alangkah senangnya mobilku sudah selesai diperbaiki, namun Seon Ho dengan sifat keras kepalanya tetap saja menjemputku setiap hari. Aku tidak bisa menolak karena sebenarnya aku sendiri memiliki misi penting untuk menjadi teman nyata baginya.
“Kita mau kemana? Jalan ke rumahku bukan lewat sini”. Tanyaku pada Seon Ho saat mengantarkanku pulang dari kampus.
“Tidak jauh dari sini ada restoran steak yang enak. Sierra menyukai suasana di sana. Aku harap kau juga menyukainya”.
“Maksudmu kita makan malam di sana?”.
“Tidak, kita akan main game di sana”.
“Apa?”
“Ah kau ini lucu sekali, memangnya apa yang biasanya kau lakukan di restoran. Tentu saja makan”. Seon Ho terlihat tertawa puas sekali. Sesekali ia melihat ke arah ku untuk melihat ekspresiku yang cemberut.
“Sudahlah Seon Ho, dan kau juga Sierra. Jangan menertawakanku”. Kataku dengan ekspresi yang masih cemberut. Aku memang sudah terbiasa berbicara pada Sierra. Aku sudah bisa merasakan kehadiran Sierra dan berusaha merasakan apa yang sedang dilakukan Sierra. Dan anehnya itu selalu tepat. Seperti saat ini, Seon Ho bilang Sierra memang sedang menertawaiku. Untunglah kami tiba di restoran dengan tepat. Pantas saja Sierra menyukai restoran ini, tempat ini memang benar-benar nyaman. Lampu-lampu yang tidak terlalu terang dan juga tidak terlalu temaram membuat mataku nyaman. Semua dinding di sini terbuat dari kaca. Indah sekali. Dan yang lebih membuatku nyaman adalah alunan piano dari seorang pianis yang mengalun sangat indah. Kami duduk di meja yang berada di dekat kaca yang tak jauh dari tempat pianis memainkan pianonya. Aku duduk berhadapan dengan Seon Ho dan Sierra duduk di sampingku. Setelah memesan makanan, Seon Ho beranjak dari kursinya dan berbisik di telingaku.
“Cukup diam dan dengarkan”.
“He??”. Seon Ho tak menghiraukan ekspresi kebingunganku. Ia langsung menuju ke pianis dan membisikkan sesuatu ke pianis tersebut.
“Ehm, selamat malam. Izinkan aku menghibur anda semua, terutama wanita yang hadir bersamaku malam ini”. Seon Ho tersenyum kepadaku dan suara tepuk tangan riuh para tamu di restoran ini mengiringi dimulainya alunan piano. Apa yang dia lakukan? Menyanyi? Dia pikir siapa dia? Boyband? Batinku. Piano mengalun dengan indah dan suara Seon Ho pun tak kalah indah. Seon Ho menyanyikan lagu korea. Aku mendengarkan dengan baik berusaha mengingat lagu apa yang sedang ia nyanyikan. Ah, aku tahu. Ini lagu Taeyon-Can You Hear Me. Mengapa dia menyanyikan lagu wanita? Meskipun begitu, suaranya sangat bagus dan liriknya…………….
Meskipun sakit, tapi sedikit, bentuk air mata
Jeritan hatiku keluar
Jika aku lewat di depanmu, di sampingmu
Kau adalah seluruh duniaku
Aku ingin hanya kau
Tapi aku tidak bisa bernapas ketika aku di depanmu 

Seperti jika kau bukan takdirku
Seolah-olah ini hanya sesaat
Selanjutnya padamu, yang membiarkan aku pergi dengan begitu mudah
Aku mendekat kepadamu langkah demi langkah
Meskipun aku tidak bisa bergerak sama sekali 

Kau membuatku gelisah, kau membuatku menangis
Seperti orang bodoh, seperti anak kecil
Aku hanya ingin menertawakannya bukan 

Semakin dekat aku mendapatkanmu
Meskipun aku mendapatkan ketakutan yang lebih
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini 

Mengapa hanya cintaku yang terlambat
Mengapa hanya cintaku yang sulit
Meskipun aku tepat berada di depanmu, meskipun aku tepat berada di sampingmu
Kau adalah seluruh duniaku
Aku hanya melihatmu
Tapi ketika ketika aku di depanmu, aku selalu berpaling 

Seolah-olah kau adalah yang terakhir untukku
Seolah-olah itu adalah saat-saat terakhirku
Selanjutnya padamu, yang hanya membiarkan aku pergi dengan begitu mudah
Aku pergi lebih dekat padamu lagi langkah demi langkah
Meskipun aku tidak bisa bergerak sama sekali 

Kau membuat aku gelisah, kau membuat aku menangis
Seperti orang bodoh, seperti anak kecil
Aku hanya ingin menertawakannya
Semakin dekat aku mendapatkanmu
Meskipun aku mendapatkan ketakutan yang lebih
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Bahkan jika dari jarak jauh
Aku bisa melihat ke arahmu
Itulah apa yang kau sebut cinta 

Jika mungkin ini sebuah kerinduan, kerinduan ini
Ketika terdengar, ketika itu tersentuh
Silahkan saja bertindak seperti kau tidak tahu
Meskipun aku dekat untuk mendapatkanmu, semakin aku merasakan ketakutan
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini


Aku diam terpaku dan hanya menatap wajah Seon Ho hingga ia selesai bernyanyi. Tepuk tangan dari para tamu bahkan sudah tidak bisa kudengar. Hanya suara Seon Ho yang kuizinkan masuk ke telingaku sekarang.
“Bagaimana? Suaraku bagus kan”. Tanya Seon Ho ketika tiba di meja kami.
“Hemmm.. indah sekali. Benarkan Sierra?”.
“Kalau begitu lain kali akan aku nyanyikan lebih banyak lagu untukmu”.
“Lain kali?”.
“Kalau perlu setiap hari”.
“Kau ini, selalu saja berkata seperti itu”. Kami tertawa bersamaan.


Di Rabu pagi yang cerah ini aku mendapat pesan yang yang menyenangkan hatiku. Bukan, bukan dari Seon Ho. Melainkan dari pemimpin kelas di kampus, ia bilang hari ini tidak ada dosen jadi kuliah diliburkan untuk hari ini. Senangnyaaa. Sayangnya Seon Ho tetap pergi ke kampus karena ada mata kuliah lain yang ia ambil dan berbeda denganku. Bagaimanapun juga ini seperti kebetulan bagiku, kerena besok Seon Ho ulang tahun. Jadi kurasa hari ini akan kuluangkan waktu senggang ini untuk mencari hadiah ulang tahun untuknya. Hampir empat jam aku berkeliling di mall untuk mencari kado, namun belum juga ada yang menarik perhatianku. Hingga akhirnya mataku tertarik pada sebuah jaket bewarna cream dengan desain korea sekali. Aku rasa Seon Ho akan cocok dengan jaket ini dan tentunya akan terlihat sangat tampan. Membayangkannya saja aku sudah tersenyum sendirian. Aku juga membeli bahan-bahan untuk membuat kue ulang tahun. Dalam hal ini aku memang jago membuat kue ulang tahun. Sesampainya di rumah aku segera membungkus kado dan membuat kue ulang tahun untuk Seon Ho.
Kamis pagi datang, aku tak sabar untuk pergi ke kampus dan memberikan semua hadiah ini untuk Seon Ho. Namun aku mendapat kabar bahwa Seon Ho tidak bisa menjempuku karena dia akan sedikit terlambat. Baiklah, ini sebuah kebetulan lagi. Jadi Seon Ho tidak akan tahu bahwa aku membawa kado dan kue untuknya. Sesampainya di kampus aku segera menuju kelas dan menyembunyikan kado dan kue yang kubawa. Namun hari ini seisi kelas menatapku dengan aneh. Ada apa? Apa aneh aku mebawa barang sebanyak ini? Biarlah, sejak kapan mereka peduli dengan aktifitasku. Pikirku. Aku duduk di kursi dengan cemas menunggu Seon Ho datang. Sudah 15 menit ia tak kunjung datang. Aku mulai gelisah dan berkali-kali melihat layar handphone-ku berharap Seon Ho memberi kabar. Wallaa, akhirnya aku melihat Seon Ho memasuki kelas. Ia langsung duduk di tempatnya, di pojok kelas seperti biasa. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di kelas, aku segera menyalakan lilin dan membawa kue ulang tahun itu ke dapan Seon Ho.
“Happy birth…..”.
“Traak!!!”. Seon Ho menepis kue ulang tahun di tanganku hingga terjatuh ke lantai. Ekspresi dingin itu datang lagi, parahnya kini Seon Ho juga terlihat marah.
“Seon Ho, kau… kau kenapa?” Aku terkejut dan panik dengan tindakan Seon Ho barusan. Sekarang seisi kelas memperhatikan kami dengan tatapan yang aneh, beberapa orang ada yang tersenyum sinis.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi? Kau kenapa Seon Ho?”. Aku berusaha tetap bertahan menatap matanya dengan tajam. Namun Seon Ho tidak berkata apa-apa selain membanting sebuah tabloid kampus di atas meja kemudian pergi meninggalkanku.
“Ini… apa ini?”. Aku tercekat melihat isi tabloid itu dan tak kuasa menahan tangis. Mengapa bisa jadi begini? Batinku. Tanpa pikir panjang aku segera mengejar Seon Ho. Tidak, dia mau pergi kemana? Meninggalkan kuliah?.
Kuikuti mobilnya dari belakang dengan hati-hati. Namun sepertinya Seon Ho menyadari bahwa sedang diikuti. Seon Ho mempercepat laju kendaraannya, aku pun tidak mau tertinggal dengan mempercepat kendaraanku juga. Hingga kami tiba di sebuah jalan satu arah yang tidak terlalu ramai. Dengan keyakinan yang aku punya, ku coba mendahului mobil Seon Ho dan berhenti di depan mobilnya menghadang jalan Seon Ho. Yap, akhirnya! Mobil Seon Ho berhenti. Ia keluar dari mobilnya, kulihat juga ia membukakan pintu depan. Sepertinya Sierra juga ikut keluar. Dengan perasaan yang campur aduk, takut, bingung dan gelisaha aku menghampiri Seon Ho.
“Kumohon percayalah, ini bukan ulahku”.
“Masih mengelak juga? Di dunia ini yang tahu nama Sierra hanya kau dan ayahku. Maksudmu kau menuduh ayahku?”. Seon Ho berbicara dengan nada yang tinggi.
“Tidak, bukan begitu. Tapi ini memang benar bukan ulahku”. Di tabloid kampus itu tertulis bahwa Seon Ho memiliki kelainan psikologis yang menganggap seseorang yang tidak ada itu menjadi ada dan sesuatu yang gaib itu dijadikannya sebagai teman, dan nama teman khayalannya itu adalah Sierra. Di sana disebutkan juga bahwa aku berpura-pura mengerti kehadiran Sierra karena dibayar oleh om Brata, ayah Seon Ho.
“Pembohong!! Pergi kau dari kehidupanku dan Sierra”.
“Tunggu, kumohon percayalah padaku. Aku memang mendapat amanat dari ayahmu untuk menjadi temanmu. Tapi soal bayaran itu, itu tidak benar. Dan aku tidak pernah menceritakan tentang Sierra kepada orang lain”.
“Aku muak mendengarnya, sebaiknya hentikan ocehanmu karena itu semua sia-sia”. Nada bicara Seon Ho semakin meninggi saja. Ia tidak mempedulikanku yang susdah beruraian air mata.
“Baik, jika kau tidak percaya padaku. Tapi dengarkan satu hal, aku berusaha mengerti duniamu dan mencoba merasakan kehadiran Sierra bukan untuk ikut gila bersamamu. Aku hanya ingin kau mempunyai teman yang nyata, bukan teman khayalan seperti Sierra. Aku ingin membantu ayahmu yang begitu merindukan Seon Ho yang dulu, Seon Ho yang ceria. Bukan Seon Ho yang setiap hari hanya bicara pada Sierra, teman khayalanmu itu”.
“Berhenti menyebut Sierra teman khayalan!!”. Seon Ho berteriak dan mendekatkan wajahnya kepadaku dengan ekspresi yang sangat marah.
“Kenapa? Kau marah? Tidak suka? Spertinya lebih baik aku begini, jadi baik pun percuma karena kau tidak mempercayaiku. Jika kau menuduhku sebagai orang jahat yang telah menyebarluaskan omong kosong itu, bukankah lebih baik sekalian saja aku melakukannya?”. Sakit, sakit sekali mengatakan itu semua kepada Seon Ho. Aku saja merasa teriris, apalagi Seon Ho? Entahlah, yang jelas ia terlihat sangat marah sekarang.
“Diamlah, kau tidak tahu apa-apa tentang Sierra. Kau pikir siapa yang mampu membuatku tetap hidup saat aku ingin mati melihat ibuku terbaring tak bernyawa? Kau pikir siapa yang mampu membuatku bertahan hingga hari ini? Itu karena Sierra.!!”.
“Sierra, Sierra dan Sierra, terus saja kau sebut nama itu. Lanjutkan saja hidupmu bersama teman khayalanmu itu”. Aku merasa ini adalah akhir dari semua kelelahanku. Aku berbalik badan dan segera pergi menuju mobil. Namun seseorang memegang tanganku. Dingin. Aku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang”.
“Kumohon jangan pergi”. Seorang wanita berbicara padakau sambil menangis.
“Kau…Si…Sierra?”. Aku gugup tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Seorang wanita berambut panjang sepinggul dan mengenakan gaun selutut bewarna hijau tosca. Matanya bewarna coklat dan kulitnya sangat putih. Bagi kalian yang tidak berkesempatan melihat Sierra, kira-kira ia seperti Yoona SNSD, cantik sekali.
“Kumohon jangan tinggalkan Seon Ho”.
“Seon Ho tidak mempercayaiku lagi, tidak ada gunanya aku di sini. Lebih baik aku pergi. Kau lebih baik untuk menjaganya daripada aku”. Perlahan aku melepaskan pegangan tangan Sierra yang dingin itu.
“Tapi Zahra…”.
“Sudahlah, senang bisa melihatmu Sierra. Selamat tinggal”.
Aku segera melajukan mobilku dengan cepat. Pikiranku berkecamuk tak karuan. Bahkan aku tidak bisa berpikir bagaimana Sierra bisa benar-benar nyata. Aku enggan berpikir tentang itu. Terlalu sakit ketika berpikir mengenai Seon Ho dan Sierra. Kulihat kado di jok depan mobilku dan tangisku pun pecah lagi.

Dua hari kemudian….
“Maaf om Brata, aku tidak berhasil membawa dunia Seon Ho kembali”. Kataku ketika menemuinya di kafe tempat kami pernah bertemu.
“Tidak apa-apa. Setidaknya kau sempat membuat hari-hari Seon Ho bewarna dan membawa kembali senyumnya”.
“Tapi sejak kejadian dua hari yang lalu, Seon Ho kehilangan senyumnya lagi”.
“Sudah, tidak apa-apa. Oiya besok Seon Ho kembali ke Seoul. Kau tidak ingin mengantarnya ke Bandara?”.
“Tidak om, aku rasa Seon Ho juga tidak ingin melihatku lagi. Aku hanya ingin menitipkan ini. Awalanya ini untuk kado ulang tahun Seon Ho, namun sepertinya sekarang menjadi kado perpisahan. Katakan padanya aku minta maaf”. Aku menyerahkan kado berisi jaket yang kubeli waktu itu pada om Brata. Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipiku saat aku mengucap kata maaf.
Dua minggu kemudian….
Aku baru saja pulang kuliah kemudian membaringkan tubuhku di tempat tidur. Tak lama kemudian ibuku masuk ke kamar.
“Zahra, ada surat untukmu”.
“Ya letakkan saja di meja belajarku, aku mengantuk sekali. Terima kasih, Bu”. Kataku sambil menarik selimut menutupi wajahku. Ibuku pergi keluar, sebelum menutup pintu iya berkata,
“Sepertinya surat itu dari luar negeri, dari Korea Selatan”.
Apa? Korea Selatan? Mungkinkah Seon Ho? Dengan segera aku membuka surat itu. Rasa kantukku hilang seketika dan bersemangat membaca suratnya yang ternyata bukan dari Seon Ho. Melainkan dari om Brata. Di dalam surat itu terdapat tiket pesawat untuk penerbangan 23 desember 2013. Apa? Ini kan bsesok? Batinku.
“Halo Zahra, apa kabar? Bisakah kau datang ke Seoul secepatnya. Sudah kukirimkan tiket pesawat untuk penerbangan besok pagi pukul 09.00 WIB. Kuharap kau bisa datang. Akan ada orang yang menjemputmu di Bandara Incheon. Terimakasih”. –Om Brata
Keesokan harinya aku segera bergegas ke Bandara Soekarno Hatta sejak pukul 7 pagi. Aku tidak sabar untuk bisa pergi ke Seoul dan bertemu dengan Seon Ho. Jujur saja, aku merindukannya. Sangat merindukannya. Walaupun aku merasa bingung mengapa om Brata yang mengirim surat untukku? Apakah akan ada kejutan? Om Brata bilang aka nada orang yang menjemputku di Bandara Incheon, apakha orang itu Seon Ho? Pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Incheon. Kulihat beberapa orang tengah menanti kehadiran orang-orang yang mereka tunggu. Di tengah kerumunan orang kuliahat seorang pria memegang kertas putih bertuliskan ‘Azzahra-Indonesia’. Ah itu pasti jemputan untukku, tapi…mengapa bukan Seon Ho?
“Good morning. Are you Azzahra from Indonesia? I’m Kim Dong Jun, Mr. Brata’s secretary. Follow me, please”.
“A..ah, thank you”.
Tuan Kim Dong Jun membawaku ke sebuah rumah di darah Seoul. Rumah ini pasti rumah milik Om Brata. Hemm lebih mewah daripada rumahnya yang di Indonesia. Kami tiba di sebuah ruang tamu yang sangat luas. Om Brata sudah menunggu di sana.
“Mr. Brata is waiting for you”. Tuan Kim Dong Jun mempersilahkanku mendekati Om Brata dan pergi meninggalkan kami berdua.
“Penerbanganmu menyenangkan?” Om Brata memulai pembicaraan ketika melihatku datang.
“Iya om, terimakasih”.
“Duduklah”. Om Brata mempersilahkan duduk kemudian ia juga duduk di sampingku.
“Om, mengapa om memintaku datang ke Seoul?”.
“Karena ada yang harus kau ketahui”.
“Apa itu?”.
“Sebenarnya sudah sejak lama Seon Ho mengidap kanker otak. Dan sejak kembali ke Seoul dua minggu yang lalu, kesehatan Seon Ho semakin melemah. Dokter bilang kanker yang diderita Seon Ho sudah menyebar hingga ke pembuluh darah. Sehingga memperparah kondisi Seon Ho”.
“Benarkah itu? Mengapa Seon Ho tidak pernah bilang padaku? Dirawat dimana ia sekarang? Lebih baik sekarang kita ke rumah sakit”. Aku segera berdiri dari kursi sedangkan Om Brata masih duduk terdiam di sana.
“Tidak perlu ke rumah sakit”.
“Maksud om ia dirawat di rumah?”.
“Tidak, Seon Ho sudah meninggal kemarin”. Deg!! Tas yang ada di tanganku terjatuh di lantai.
“Apa om? Meninggal?”. Aku tak kuasa menahan tangisku. Ini pasti mimpi kan? Aku pasti sedang bermimpi. Om Brata berusaha menenangkanku meskipun sebenarnya ia pun terlihat sangat terpukul. Namun aku tetap saja menangis. Om Brata memelukku agar aku tenang, aku tetap saja menangis.
“Maaf om baru memberitahumu sekarang. Ini permintaan dari Seon Ho. Ia tidak ingin kau melihatnya terbaring lemah di rumah sakit. Ia tak ingin membuatmu khawatir”.
“Seon Ho bodoh”. Tanpa sadar aku mengucapkan hal itu. Aku semakin sedih jika aku mengingat pertemuan terakhir kami adalah sebuah pertengkaran yang sangat hebat. Mengapa aku tidak diizinkan meminta maaf padanya? Mengapa?
“Ini titipan dari Seon Ho”. Om Brata meberikanku secarik surat yang dibunkus dengan amplop merah muda. Dengan cepat aku segera membukanya. Apa ini? Hanya empat kalimat? Batinku
“Zahra, aku sudah tahu kebenarannya bahwa yang menulis di tabloid itu adalah Vita. Aku titipkan Sierra padamu, kumohon jadilah teman untuk Sierra. Zahra, maafkan aku. Aku menyanyangimu”.
Di dalam amplop itu juga ada sebuah foto Seon Ho sedang duduk di kursi roda mengenakan jaket yang kuberikan untuknya. Ia tersenyum, tampan sekali. Tangisku kembali pecah melihat itu semua. Kupeluk erat foto Seon Ho dan secarik surat darinya.
“Sebenarnya banyak yang ingin ia tuliskan untukmu, tapi di saat-saat terakhirnya ia terlalu sakit untuk terus menulis. Aku bahagia ia sempat menulis “aku menyayangimu” dalam suratnya itu”.
“Sierra…kau??”. Sierra duduk di sampingku. Aku pun langsung memeluk tubuhnya yang dingin itu.
“Seon Ho beruntung pernah memiliki teman sepertimu. Sekarang aku yang akan menjadi temanmu. Seperti janjiku pada Seon Ho, aku akan menjagamu”. Kata Sierra bicara di dalam pelukan.

Aku tidak berlama-lama di Seoul. Keesokan harinya aku segera kembali ke Indonesia dengan penerbangan paling pagi karena aku harus segera kuliah. Dan aku pulang bersama Sierra. Rupanya berita kematian tentang Seon Ho sudah sampai ke Indonesia. Di depan kampus ada beberapa karangan bunga dari beberapa dosen yang turut berbelasungkawa atas meninggalnya Seon Ho. Aku berdiri di depan salah satu karangan bunga sambil tertunduk. Dan kurasakan seorang wanita datang menghampiriku. Tidak, bukan Sierra. Melainkan Vita.
“Zahra, maafkan aku”. Aku hanya menatapnya tanpa berbicara apa-apa.
“Waktu itu aku mengikuti kalian hingga ke restoran steak. Di hari itu aku jadi mengetahui bahwa teman khayalan Seon Ho itu Sierra. Maafkan aku”. Aku masih tidak menjawab dan Vita pun sepertinya tidak punya kata-kata lagi untuk diucapkan. Aku mendekati wajahnya, menatap matanya tajam.
“Pabo!!”. Kataku sambil berlalu meninggalkan Vita sendirian yang tercekat mendengar ucapanku.
***