Halaman

Senin, 30 Juni 2014

1000 Bintang untuk 2014


"Sampai kapan kau akan berada di sini? Sudah malam dan udara semakin dingin, cepat masuk". Suara seorang pria tetiba memaksaku yang sedang menatap langit untuk menengok ke arahnya.
"Sebentar lagi". Jawabku singkat, kemudian kembali menatap langit.
"Memangnya apa yang kau lakukan? Menghitung bintang?".
"Iya". Jawabku singkat lagi. Kali ini tanpa menoleh ke arahnya.
"Yang benar saja". Pria itu tertawa kecil. Aku tidak menggubrisnya. Aku tetap fokus pada langit. Kemudian pria itu melanjutkan ucapannya.
"Sudah terhitung semua?".
"Belum". Kini jawabanku dengan nada yang kecewa. Aku menunduk sejenak dan kembali menatap langit.
"Ah kau ini aneh-aneh saja sih. Mau kuberitahu sesuatu?". Pria yang semula berdiri jauh dariku kini mulai mendekatiku.
"Apa?". Aku menatap matanya penuh harap.
"Lihat itu!". Ia menunjuk ke satu bintang yang paling bersinar di langit.
"Itu?" Aku ikut menunjuk.
"Iya aku lihat, lalu mengapa?". Tanyaku kemudian.
"Yang paling bersinar itu bukan bintang, tapi planet. Planet Venus". Ia menjelaskan sambil terus menunjuk ke arah Venus tersebut.
"Benarkah?. Pantas saja yang itu berbeda".
"Payah, begitu saja kau tidak tahu". Pria itu tertawa kecil lagi. Manis.
"Sudahlah, kau tidur saja sana. Tak usah menertawaiku". Aku mulai kesal.
"Baik, baik, aku tidak akan mengganggumu. Hanya ingin memberitahu, mungkin kau bisa jadikan Venus itu sebagai patokan untuk menghitung bintang. Selamat mencoba!". Pria itu berjalan menajuhiku menuju sebuah pondok kecil tempat ia menginap.
"Siapa dia?". Kataku dalam hati, Aku sudah berlibur di tempat ini selama 1 minggu, namun aku baru melihatnya malam ini. Pondok tempat ia menginap pun bersebelahan denganku, namun aku benar-benar baru melihatnya malam ini. Dan apa itu tadi? aku berbicara dengan orang asing? Sulit dipercaya. Aku tidak pernah suka hal tersebut sebelumnya. Aku lebih suka menutup diri. Sekarang pun aku liburan sendirian.

***

"Selamat pagi nona bintang". Suara pria itu membuyarkan keheninganku yang sejak pukul 5 tadi aku pertahankan di teras pondok. Ah orang itu mengapa selalu mengganggu kegiatanku?.
"Apa? Nona bintang?". Tanyaku heran.
"Kenapa? Ada yang salah?". Pria itu menghampiriku. Ia menggunakan setelan kaos dan celana training dengan handuk putih kecil mengalung di lehernya. Nampaknya ia akan berlari pagi.
"Namaku bintang. Panggil saja bintang, tidak perlu pakai nona". Jawabku dengan nada yang agak ketus.
"Waah keren sekali. Nona bintang penyuka bintang ternyata namanya bintang". Kini ia tertawa kecil lagi. Ah manis. Harus berapa kali aku mengakuinya?
"Euuhh sudahlah kau terlalu berlebihan, siapa namamu?".
"Namaku Venus". Jawabnya sambil mengulurkan tangannya.
"Venus? Kau serius?" Aku tidak langsung menyambut uluran tangannya yang mengajak bersalaman.
"Iya, kenapa? Ada yang aneh?". Pria itu mengangkat alisnya.
"Tidak". Jawabku singkat sambil membalas uluran tangannya dan kini kami berjabat tangan sejenak.
"Mau ikut lari pagi?". Pria itu menawarkan.
"Tidak, terima kasih".
"Hmm baiklah, aku duluan ya". Pria itu berlari kecil menjauhiku menuju bukit perkebunan teh di depan pondok penginapan kami.

***

Udara malam ini lebih dingin dari kemarin. Aku sudah memakai jaket dua lapis, namun tetap saja rasanya dingin ini terlalu menusuk. Mungkin karena tadi sore hujan, entahlah. Namun langit hari ini begitu cerah. Bintang di langit lebih banyak dari yang kemarin. Aku tidak ingin melewatkan momen ini. Akhirnya aku pakasakan menahan rasa dingin untuk berbaring di teras pondok. Dari sini aku bisa melihat hamparan bintang di langit dengan jelas.
"Masih berusaha menghitung bintang?". Untuk ketiga kalinya suara pria itu membuyarkan keheninganku. Namun memang sejak tadi itulah yang kutunggu. Sejak pagi tadi aku belum melihatnya kembali ke pondok. Aku tidak mengerti, namun aku memang menunggunya sejak tadi. 
"Masih". Ah aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada akhirnya jawabanku selalu terdengar ketus.
"Mau kubantu?". Tanyanya sambil ikut berbaring sekitar satu meter dariku. Aku menoleh ke arahnya yang kini mulai fokus menatap langit sambil menunjuk bintang.
"Bagaimana caranya?". Tanyaku kemudian.
"Sudah kubilang, jadikan aku sebagai patokan". Ia terkekeh kecil sambil menoleh ke arahku. Haft manis. 
"Maksudmu Venus?". Ucapanku menghentikan tawa kecilnya itu.
"Iyap". Ia tidak menoleh ke arahku sekarang. Ia kembali fokus ke langit.
"Aku sudah mencobanya semalam. Tapi tetap tidak bisa". Kataku dengan nada menggerutu.
"Payah. Pelan-pelan saja, lama-lama kau akan bisa". 
"Ah kau ini, mana bisa aku menghitung bintang sebanyak itu di langit? Bahkan langit pun sangat luas!". Kataku dengan nada kesal sambil terbangun dari baringanku kemudian duduk mmenunduk.
"Nah itu kau tahu! Mengapa masih kau lakukan?". Ia ikut terduduk dan mulai menatapku.
"Karena.... Ah sudahlah kau pulang sana!". Tanpa terasa aku meneteskan air mata ketika ingin menjawab. Terlebih ia menatapku seolah berkata "Kau kenapa?". Tak ingin berlama-lama akhirnya aku masuk ke pondok dan meninggalkan dirinya yang kebingungan sendirian di teras pondokku. 

***

Seperti biasa pagi ini aku melakukan meditasi ringan mencari keheningan di teras pondok penginapanku. Matahari masih bewarna oranye tersembul cantik dari balik bukit perkebunan teh. Hmm masih jam 6 pagi. Kataku dalam hati. Aku berjalan menuju teras pondok dan duduk di bale kayu yang ada di sana. Kudapati sesuatu yang aneh tergeletak di sana. Secarik kertas dan sebuah bintang yang terbuat dari kertas bewarna merah hitam. Dengan segera aku meraihnya dan membaca yang tertulis di sana.
"Aku tidak tahu mengapa kau begitu menyukai bintang dan sangat ingin menghitungnya meskipun kau tau itu tidak mungkin. Namun semalam aku berhasil menghitungnya. Dan kau tau ada berapa? 1000. Yeah! Kau boleh percaya atau tidak, yang jelas aku menjadikan diriku sebagai patokannya. Maksudku Venus. Hehe.
Oiya yang aku berikan ini bukan bintang, tapi Venus. Jika kau masih tidak percaya dengan hasil hitunganku, jadikan ia sebagai patokan. Selamat mencoba!". 

Kurasakan tetesan air mata mulai jatuh dari mataku. Perlahan, perlahan, kemudian semakin banyak yang terjatuh. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menuju pondok penginapannya. Kuketuk pintu pondok. Sekali, dua kali, tidak ada jawaban. Ketiga kalinya terdengar seseorang membuka kunci pintu dari dalam. Ah akhirnya. Kataku dalam hati.
"Selamat pagi teh, ada apa?". Seorang pria setengah baya menyambutku di depan pintu.
"Eng..... ini Pak, yang semalem nginep di sini mana ya? Namanya Venus. Lagi keluar ya?".
"Siapa atuh yang teteh maksud? Dari seminggu yang lalu teh pondok ini mah ga ada yang ngisi". Jawab pria setengah baya itu dengan lembut.
"Iyakah? Bapak yakin?". Tanyaku dengan nada tak percaya
"Yakin atuh teh, lah bapak kan yang jaga pondok ini". 
"Tapi pak kemarin ada.... hmmm itu ada yang.....". Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku segera pamit pada pria setengah baya tersebut dan berjalan dengan langkah yang lemas menuju podok penginapanku. Siapa dia? Pertanyaan itu berulang kali kutanyakan pada diriku sendiri. Pikiranku sudah terlampau jauh hingga berpikir pria manis itu adalah hantu. Ah yang benar saja ada hantu sebaik itu? Pikiranku berkecamuk hingga malam datang. 

Aku berbaring di teras pondok sambil memegang secarik kertas dan bintang kertas dari Venus. Kulihat langit seperti biasa masih penuh dengan bintang. Aku terfokus pada satu bintang paling terang, Venus!
Kusejajrkan bintang kertas tersebut dengan Venus di langit. "Baiklah, aku kan coba menjadikanmu sebagai patokan, Venus". Kataku dalam hati. Aku menghitung ke arah kana, kemudian ke kiri, begitu seterusnya tana melepaskan pandanganku dari langit. Tak menghiraukan dingin yang semakin menusuk, tak menghiraukan hewan sekecil apapun yang berlalu di dekatku. Fokusku hanya satu, menghitung bintang. DAPAT! Kataku spontan dengan nada yang cukup kencang.
"Kau benar Venus, jumlahnya ada 1000". Teriakku di malam yang sepi itu. Aku tertawa terharu sambil meneteskan air mata. Kurasakan semilir angin dingin menerpa wajahku. 
"Aku benar kan?". Suara itu tetiba terdengar dekat di telingaku. 
"Venus?". Kataku sambil memberanikan diri menoleh ke arah datangnya suara. Kuliat kini Venus berbaring di sebelahku dengan jarak yang lebih dekat dari sebelumnya. 
"Iya kau benar" kataku sambil tersenyum manis padanya.
Kemudian aku kembali menatap langit penuh bintang. Aku tahu jauh dari ujung langit sana, bintang-bintang itu melihatku sedang berbaring sendirian di sini. Ya, aku yakin itu. 


THE END

Kamis, 26 Juni 2014

Tiga Hari dibulan Juni

Perjalanan ini dimulai dengan sebuah ide sederhana, namun menghasilkan pengalaman yang tidak sederhana. Berawal dari kepedulian terhadap sesama, kemudian melahirkan kenangan berharga.
Tidak ada maksud lain selain "membantu"
Tidak ada tujuan lain selain "berbagi"
Meskipun terselip tujuan "liburan" di sana, namun kami harap liburan ini menjadi liburan yang bermanfaat. Baik itu untuk kami, maupun untuk anak-anak di Nangerang, Lebak, Banten. 

Untuk dapat sampai di tahap ini bukanlah perjalanan yang singkat. Banyak perencanaan-perencanaan yang telah dibuat dan cukup membuat pusing kepala. Namun kami tidak menyerah, bahkan ketika kami tahu PKM-M kami tidak lolos didanai, kami memutar otak agar menemukan jalan lain. Ya jalan lain. Jika kami tidak didanai, bukan berarti kami tidak bisa mendanai kan? 
Akhirnya kami memutuskan untuk bergerak dengan kemampuan yang kami miliki sendiri. Alasannya hanya satu, "Dengan atau tanpa PKM, kita bisa merealisasikan niat kita".
Ya, satu kalimat yang membuat saya pribadi menjadi kembali semangat. 

Empat bulan berlalu setelah pengumuman PKM tersebut, kami merasa sudah memiliki cukup dana untuk pergi ke Nangerang. Pertanyaan baru muncul. 
"Apa yang akan kita lakukan di sana?"
"Apa yang akan kita berikan pada mereka?"
"Apakah dananya cukup?"
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya sudah terjawab sejak jauh-jauh hari, namun entah mengapa ketika mendekati hari-H, semuanya menjadi terlihat lebih "menakutkan". Hingga akhirnya H-7 kami merasa kebingungan dengan persiapan yang belum rampung 100%, terutama persoalan buku BSE yang akan kami sumbangkan. Hal itu adalah yang paling penting dalam kegiatan kami, namun sampai hari itu belum juga kami temukan jalan keluarnya. Kendalanya satu, yaitu dana. Saya pribadi sempat pesimis dan menawarkan pilihan kepada teman-teman, "Apakah ingin kita tunda niat kita hingga tahun depan sampai dana kita cukup?". Hmm tidak ada jawaban ya atau tidak dari mereka. Saya hanya melihat mereka terdiam dan malah berusaha meyakinkan bahwa kita bisa jalankan niat itu tahun ini. Ya kita bisa! Saya melihat mereka mengatakan hal itu dalam diam dan senyumnya. Baiklah tidak pantas saya pesimis bila didampingi orang-orang optimis seperti mereka. Sampai akhirnya keoptimisan itu berbuah manis, ada sumbangan dana lebih. Alhamdulillah. Akhirnya kami memutuskan untuk mempersiapkan keperluan lain yang bisa kami siapkan terlebih dahulu. Persoalan buku BSE bagaimana?? Ternyata masih bermasalah meskipun dana dirasa cukup. Dalam waktu yang tersisa hanya 4 hari, kami tidak mungkin bisa cetak buku sebanyak itu. Kemudian seseorang dari kami menawarkan untuk membeli buku BSE saja secara online. Kami tidak banyak komentar, melainkan langsung mencari situs yang menyediakan buku BSE. Dapat!! Dua link coba kami hubungi, namun sayangnya masih ada kendala lain. Link pertama lokasi terlalu jauh, link kedua distributor tidak sedang berada di Depok. Haft, ya Allah saya panik, okeh kami panik. Semua persiapan lain sudah selesai, kecuali buku tersebut. H-3, saya harus apa?? Dengan sisa-sisa keoptimisan yang ada, saya membuka laptop dan mulai mencari-cari situs yang menyediakan buku BSE. Wah banyak di situs penjualan online (saya tidak bisa sebutkan namanya ya hehe). Ah tapi lokasinya terlalu jauh, yaitu di Papua dan Kalimantan. Terlalu tidak mungkin bisa sampai di Depok dalam satu hari. Semua link yang tersedia saya klik, hingga akhirnya saya menemukan link yang cukup menarik. Hal pertama yang saya lihat adalah LOKASI. Yeah Jakarta Timur! Dekat! Dengan cepat saya kirim pesan ke CP yang tercantum. Alhamdulillah direspon dengan cepat. Dengan obrolan-obrolan singkat akhirnya kami DEAL. Alhamdulillah. "Masalah buku selesai teman-teman, bukunya akan tiba di rumah besok (H-1)" Itu yang saya katakan dalam hati sambil mengetik pesan ucapan terima kasih pada distributor buku. 

HARI PERTAMA - 20 Juni 2014

Persiapan selesai, tinggal berangkat. Hari yang kami tunggu-tunggu pun datang. Kami berangkat dari Depok pukul 7 pagi dengan perjuangan yang cukup heroik juga di dalam kereta CL pagi itu. Saya akui perjalanan menuju Nangerang saat itu tidak terlalu lancar. Banyak kendala yang kami temui, namun kami bisa menyelesaikan kendala-kendala tersebut dengan baik. Hingga akhirnya kami tiba di Nangerang. Alhamdulillah bisa menginjakan kaki untuk ketiga kalinya di tempat ini. Tempat yang selama ini menjadi objek yang selalu dirindukan.


Setibanya di sana, kami disambut oleh Kang Wawan yaitu penanggung jawab dari MI Mathlaul Anwar di Nangerang. Kang Wawan memberikan kami tempat penginapan di daerah Gejrog, yaitu di dekat rumahnya. Sebuah tempat yang sangat menyenangkan suasananya. Dikelilingi hamparan sawah luas dan udara yang sangat sejuk. Ah, saya merindukan suasana subuh di sana. Sangat rindu. 



Setibanya di tempat penginapan, kami berbincang-bincang dengan Kang Wawan menjelaskan maksud dari kedatangan kami. Kang Wawan mengapresiasi niat kami. Beliau kemudian menceritakan kondisi MI Mathlaul Anwar yang akan segera dibangun secara permanen berkat bantuan PNPM. Alhamdulillah. Sebagai informasi, MI Mathlaul Anwar adalah satu-satunya MI yang ada di wilayah Nangerang. Kondisi bangunannya kurang layak untuk kegiatan belajar mengajar, yakni hanya terdiri dari dua kelas dan berdindingkan bilik. Maka dari itu, ketika kami mendengar kabar bahwa MI tersebut akan dibangun secara permanen, kami sangat bahagia. 


Kang Wawan juga menjelaskan bahwa kedatangan kami bertepatan dengan akan diselenggarakannya acara kenaikan kelas dan pengumuman kelulusan bagi kelas 6. Dalam acara tersebut semua siswa akan berpidato, setiap kelas akan tampil di atas panggung, yaitu menari dan paduan suara. Kang Wawan secara khusus meminta bantuan kami untuk membantu membimbing siswa-siswa yang akan tampil tersebut. Melatih nyanyi? Melatih tari? Bisalah ya, kami punya ahlinya di sini. hehe. Kami pun mengiyakan dan tidak sabar untuk segera bertemu siswa-siswi esok hari.

HARI KEDUA - 21 Juni 2014

Karena tidak ingin mengganggu kegiatan di MI terlalu banyak, akhirnya ada beberapa susunan acara dari kami yang diubah. Awalnya kami ingin mengajak siswa-siswi untuk bersih-bersih MI, menata ruang kelas, membuat herbarium sederhana, dan juga bermain origami. Namun demi kepentingan bersama, kami utamakan kegiatan menjadi kegiatan pelatihan pentas untuk hari Minggu dan bermain origami. Namun hal itu tidak sedikitpun mengurangi kebahagiaan kami. Kami sangat sangat sangat bahagia meskipun konsep acara berubah. Karena saat bersama siswa-siswi, rasanya sangat bahagia. Apalagi ketika melihat mereka tersenyum dengan mainan origami mereka. Kami kenalkan mereka pada si Emon, sang kodok kertas yang bisa bicara. Kami juga kenalkan mereka pada bintang, senjata ninja yang terbuat dari kertas. Kami kenalkan mereka pada burung-burung kertas yang cantik dan juga kelinci kertas yang imut. Mereka sangat bahagia dengan semua itu. Sambil bermain, beberapa dari mereka ada yang latihan tari dan paduan suara bersama kami. Mereka antusias untuk latihan, dan terlihat mereka lebih bersemangat sekarang. Kang Wawan mengatakan suara mereka masih berantakan. Iya, memang benar. Tapi entah mengapa bagi saya pribadi, mereka semua hebat. Terlepas dari suaranya yang berantakan itu, wajah-wajah semangat mereka membuat saya menyukai penampilan mereka. Seusai latihan, beberapa anak mengajak kami bermain binteng. Sebuah permainan yang biasa dikenal dengan permeinan Bentengan. Mereka semangat sekali berlari ke sana kemari dengan cepat tanpa kenal lelah. Ada juga yang bermain ular naga panjangnya.
Sungguh pemandangan yang menyenangkan.






HARI KETIGA - 22 Juni 2014

Hari perayaan kenaikan kelas pun datang. Kami bahagia sekaligus sedih. Karena hari ini juga kami harus pulang. Namun sebelum pulang kami harus menghadiri acara kenaikan kelas tersebut, kami tidak ingin melewati momen membanggakan itu bersama siswa-siswi MI Mathlaul Anwar. Pagi-pagi kami bersiap dengan barang bawaan kami yang akan kami sumbangkan dan dengan barang-barang kami yang akan kami bawa pulang. Sebelum berangkat ke MI, kami pamit pada ibunya Kang Wawan, mengucapkan terimakasih atas penginapan dan makanan lezat yang selalu hadir tepat waktu saat jam sarapan, makan siang dan makan malam. Hidangan sederhana yang membuat kami berenam kumpul bersama di satu tempat, bersenda gurau, dan menumpahkan keluh kesah jika ada. Ingin tahu suasananya? Saya pribadi tidak mengabadikan momen tersebut dalam sebuah foto, tapi diabadikan di sini (hati dan pikiran) Eaaaaaaaa.

Seusai pamit, kami berangkat menuju MI. Betapa terkejutnya kami ketika tiba di sana, ternyata kami disambut secara formal oleh Kang Wawan. Kami disediakan meja khusus bersanding dengan petinggi-petinggi Desa, MI dan juga guru-guru. Sungguh kesempatan yang sangat berharga dan tidak diduga-duga. 



Acara pun dimulai dengan beberapa sambutan dan penampilan siswa-siswi yang paduan suara. Siswa-siswi tampil dengan baik di atas panggung sana. Di tengah acara Kang Wawan sudah menyisipkan acara khusus untuk kami, yaitu simbolisasi pemberian buku dan alat peraga sekolah dari kami. Kami juga memberikan apresiasi kepada Asep sebagai siswa kelas 6 terbaik di MI.



Satu lagi kejutan yang tidak diduga, kami mendapatkan kenang-kenangan dari Kepala Sekolah MI Mathlaul Anwar, yaitu sebuah kain khas Suku Baduy. Masing-masing dari kami mendapatan satu. Alhamdulillah, terima kasih. Ini merupakan kejutan yang sangat membahagiakan.


Dan inilah potret-potret lain yang terjadi di sana dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin jika boleh satu kata, indah :D










Terima kasih kepada Aji Wicaksono, An Nisa Nurul Suci, Dwi Fauziyah Putri, Rachmat Hidayanto, dan Septy Maulidyawati  yang telah menamani perjalanan tiga hari di bulan Juni ini. Meskipun perjalanan panjang dan melelahkan, saya yakin kalian merasa sangat terbayar dengan kebahagiaan yang kita dapatkan di Nangerang. Tertawa bersama anak-anak, bermain, berbagi keceriaan bersama mereka. Memang tidak semua momen direkam dalam gambar, namun insyaAllah terekam rapi di sini (hati dan pikiran). Aamiin :)


Pada akhirnya cerita ini tidak bertujuan apapun selain berbagi cerita yang semoga dapat menginspirasi orang lain. Membantu membuka mata bahwa jauh di pelosok Indonesia sana masih ada pejuang-pejuang cilik Bangsa yang masih semangat untuk sekolah. Nangerang hanya satu daerah kecil dari banyaknya daerah pelosok lainnya. Nangerang ini hanya contoh yang diharapkan dapat menginspirasi kita semua untuk membantu daerah-daerah lainnya. 
Mereka memang jauh, namun mereka juga butuh perhatian.
Jika bukan kita para mahasiswa sebagai aset Bangsa, siapa lagi?
Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Tidak perlu materi besar untuk mulai membantu.
Kami pun hanya bermain dan berbagi kebahagiaan di sana serta menyumbangkan sesuatu yang tidak dalam jumlah banyak, namun hal itu sangat berarti bagi mereka, anak-anak desa yang penuh semangat. 

Kalimat pertama yang saya dengar dari seorang anak ketika menginjakkan kaki di Nangerang : "Kakak Mahasiswa". *Sambil tersenyum*
Terharu. Hanya itu yang bisa saya ungkapkan.

Selamat kepada 5 orang siswa-siswi yang telah lulus dari MI Mathlaul Anwar tahun ini. Semoga kalian bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Buktikan pada dunia bahwa kalian punya semangat belajar yang tinggi. Buktikan pada dunia bahwa kalian juga bisa menjadi orang yang sukses. 
Karena jarak bukanlah penghalang, yang terpenting adalah niat. Ada niat, pasti ada jalan. Semangaaaaatt :D