Halaman

Senin, 20 Januari 2014

Smile VS Tears

"Sedang apa kau di sana?". Tanya Sora tiba-tiba mengagetkanku yang tengah asyik di depan laptopnya.
"Ah tidak, tidak sedang apa-apa". Jawabku santai sambil masih terus fokus ke layar laptop.
"Sudah jangan fokus di depan laptop terus, bosan aku melihatnya. Lagipula sejak kapan kau serius begitu dengan laptopku? Ayo ikut denganku". Dengan cepat Sora menarik tanganku tanpa memberikan kesempatan untuk mematikan laptop.
"Eeehhh kita mau ke mana?". 
Sora tidak menjawab sama sekali. Ia terus saja menarik tanganku menuju ke luar rumahnya. Aku pun tidak ingin bertanya lagi. Kuikuti saja kemana langkahnya pergi.
"Lihat!!". Sora menunjuk ke arah langit. Aku mengernyitkan dahi dan mengedipkan mata berkali-kali berusaha melihat apa yang ditunjuk Sora dengan jelas.
"Eng.........pelangi??" Tanyaku dengan nada heran
"Iya, cantik kan??". Sora terlihat sangat riang.
"Hmm biasa saja". Jawabku singkat.
"Kau......." Tiba-tiba ekspresi Sora berubah.
"Kenapa kau sora?". Tanyaku heran lagi
"Rama, kau........". Sora kembali tidak bisa melanjutkan kata-katanya dan sekarang ia menangis. Aku kebingungan tapi tetap tidak bisa berkata apa-apa. Sora menangis sambil terus menatapku, seolah air mata itu jatuh karenaku. Hmmm sepertinya itu memang benar. Tapi kenapa?
"Sora ada apa denganmu?". Tanyaku sekali lagi.
"Pulang sana". Dengan cepat Sora kembali masuk ke rumahnya dan segera menutup pintu. Aku hanya terpaku melihat tingkahnya yang aneh itu. Tanpa banyak bicara lagi aku pun segera pergi.


***

Tiga hari berselang setelah kejadian itu Sora tidak pernah ada kabar. Banyak pesan telah kukirimkan padanya namun tak kunjung dibalas. Semarah itukah Sora? Hanya karena pelangi? Ah kekanak-kanakan sekali. Aku sudah mengenalnya selama 5 tahun. Namun sikap aneh seperti ini baru muncul sekarang. Pagi ini tiba-tiba pesanku dibalas olehnya, tapi isinya....... "Kapan kau akan mulai tertarik dengan semua ceritaku?".
Hee??? Apa lagi ini? Ada apa dengan Sora? aaaaarrggghhh 

"Sora, sepertinya kita harus bicara, temui aku di kafe biasa jam 7 malam nanti" *Sent*


***

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Aku masih duduk di tempat yang kujanjikan pada Sora sebelumnya. Namun ia tak kunjung datang. Ah gadis itu menyebalkan sekali. Umpatku dalam hati. Waktu terus berjalan. Kini jam tanganku menunjukkan pukul 10 malam. Sora belum juga datang. Aku kesal, hingga akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahku.
"Hanya 3 jam batas kesabaranmu?".
Awalnya aku akan marah-marah ketika ia datang karena terlambat. Namun ucapannya itu membuatku mengurungkan niat untuk marah.
"Sora, akhirnya kau datang". Aku berusaha tersenyum.
"Hanya 3 jam batas kesabaranmu?". 
Ah ia mengulangi pertanyaan itu lagi. Apa maksudnya? Lalu ada apa dengan ekspresi wajahnya itu? Menyeramkan sekali. Sepertinya ia sangat marah padaku? Tapi kenapa???? 
"Batas kesabaran? Apa maksudmu Sora?". Kuberanikan bertanya sambil mempersilakannya duduk. 
"Tidak usah, aku pulang saja". Tanpa sempat aku menanggapi ucapannya, ia segera berjalan keluar dari kafe.
"Kau ini kenapa Sora?? Jangan seperti ini??!!" Aku berteriak sejadi-jadinya. Kini semua orang yang ada di kafe tersebut melihat ke arahku. Ah bodoh. Mereka semua menatapku dengan heran. Baiklah aku tidak peduli, lagipula siapa mereka? Sekarang Sora lebih penting dari apapun bagiku. Aku segera mengejar Sora. Kulihat di tempat parkir, ia tidak ada. Kemana dia? Hemm aku baru ingat mobil Sora sedang di bengkel. Aku segera berlari ke tepi jalan, berharap masih ada Sora menunggu taksi di sana. Namun tetap tidak ada. Kucoba hubungi teleponnya, tidak aktif. Aaarrggghhh!!!!

***

Pagi yang menyakitkan untuk jiwa yang sedang kebingungan sepertiku. Hujan sejak pagi tadi enggan berhenti. Matahari pun seolah malas untuk keluar dari sarangnya. Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 10 pagi, namun suasananya seperti jam 6 pagi. Eeeuuuhhh -,-
Aku kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. Tidak ada jadwal kuliah di Hari Minggu, yaiyalah. senangnya..... Namun tiba-tiba suara dering telepon menghancurkan kebahagiaanku untuk kembali tidur.
"Hallo". Jawabku ketus
"Ah iya tante? Di mana? Iya aku ke sana".
Ada apa lagi ini?? Batinku

***

Aku terkejut bukan main mendengar kabar dari Tante Maya, yang tak lain adalah Ibu dari Sora. Ia mengatakan Sora dirawat di rumah sakit. Sungguh ini kali pertama aku melihat Sora terbaring lemah di tempat tidur. Selama ini ia selalu ceria dan tidak pernah terlihat lemah. Tubuhnya seolah memiliki cadangan energi yang banyak. Namun yang kulihat hari ini sangat berbeda. Selang infus terpasang di kedua tangannya. Wajah Sora begitu pucat. Kupandangi dia yang sedang tertidur lelap dari samping tempat tidur sambil berharap ia akan terbangun. Setelah beberapa menit tidak ada perubahan, ia tetap tertidur. Hingga akhirnya Tante Maya memangajakku untuk bicara di taman rumah sakit.
“Sora tidak pernah menceritakan hal ini padamu?”. Tanya tante maya yang kini duduk di sampingku.
“Cerita tentang apa?”. Aku heran
“Tentang penyakitnya”. Tante Maya kemudian tertunduk
“Penyakit? Penyakit apa? Bahkan Sora jarang sekali mengeluh sakit padaku”.
“Hemm sebenarnya Sora mengidap penyakit Leukimia. Dan ia telah mengetahuinya sejak setahun yang lalu. Saat itu penyakitnya masih stadium satu. Tapi sekarang……”. Tante Maya tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kini ia hanya bisa menangis. Aku yang baru mengetahui hal itu hanya bisa terpaku. Aku pun tak bisa berkata apa-apa. Bagaimana bisa anak seceria itu menjadi sarang penyakit mematikan semisal Leukimia? Ah Sora, mengapa kau tidak pernah mengatakan hal ini padaku?

***

“Kau sudah bangun Sora?”. Tanyaku padanya ketika memasuki kamar inapnya di rumah sakit itu.
“Untuk apa kau ke sini?”. Sora terlihat tidak senang dengan kehadiranku.
“Aku…. Aku ingin menjengukmu. Tidak bolehkah?”. Aku masih berusaha bersikap biasa-biasa saja seolah kami tidak pernah bertengkar sebelumnya.
“Sejak kapan kau peduli denganku?”. Sora mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia enggan menatapku.
“Sora, jangan seperti ini. Jika ada yang ingin kau katakan, katakanlah. Jangan marah padaku tanpa alasan yang jelas”.
“Tanpa alasan yang jelas katamu? Ah bahkan sepertinya kau masih belum menyadarinya”. Kini Sora menatapku. Namun matanya meneteskan air mata.
“Menyadari apa?”.
“Sudahlah, tinggalkan aku. Aku sedang ingin sendiri”. Sora memejamkan matanya berpura-pura ingin tidur agar aku pergi. Namun aku tidak akan pergi sebelum semuanya jelas.
“Emmm Sora, menganai penyakitmu itu. Mengapa kau tidak memberitahukannya padaku?”. Kulihat Sora kembali membuka matanya. Namun ia tidak bicara. Ia hanya menatapku sambil menangis. Wajah pucat ditambah tangisannya itu membuat aku merasa ingin memeluknya. Gadis yang biasanya ceria itu sangat terlihat berbeda sekarang. Ada apa denganmu Sora? Batinku.
“Darimana kau tahu soal penyakitku?”.
“Dari Ibumu”.
“Ah aku sudah menduganya”.
“Apa maksudmu?”.
“Sebenarnya aku sudah berusaha memberitahumu sejak satu tahun yang lalu. Saat pesta perayaan tahun baru”.
“Lalu mengapa tidak kau beritahu?”.
“Sudah. Tapi kau tidak menyadarinya. Bahkan setahun berlalu, kau masih tidak menyadarinya”. Kini Sora menangis lagi.
“Apa maksudmu Sora?”.

***
Satu tahun yang lalu…………………

“Kapan kau akan mematikan laptopmu? Bergabunglah bersama kami, ini tahun baru. Tidak bisakah kau luangkan waktu untuk keluargamu sebentar saja?”.  Sora menghampiriku sambil membawa beberapa jagung manis yang sepertinya akan ia bakar. Tahun ini untuk pertama kalinya Sora merayakan tahun baru bersama keluargaku. Lebih tepatnya keluarga Sora dengan keluargaku.
“Iya sebentar lagi”.
“Ah dasar keras kepala”.
“Kau duluan saja Sora”.
“hemm oiya, ini”. Sora menyerahkan flasdisk miliknya kepadaku”.
“Apa ini?”. Tanyaku heran
Flasdisk”.
“Iya tahu, maksudku….”.
“Ada satu file di sana untuk kau buka. Tapi jangan dibuka malam ini, besok saja”.
“File apa? Waaah kau memberiku gambar-gambar aneh yaa??” Tanyaku sambil tersenyum jail.

“Nyeh, jangan samakan aku denganmu. Sudah copy saja dulu ke laptopmu, besok kau akan mengetahuinya”.
“Ah merepotkan sekali kau ini. Tidakkah kau lihat aku sedang sibuk dengan urusanku”.
“Hih yasudah tidak usah”. Sora menarik kembali flasdisk miliknya dari tanganku
“Begitu saja marah, kemarikan flasdisk-nya”.
“Kuharap ini bisa mengubah segalanya”. Kata Sora sambil menyerahkan kembali flasdisk-nya padaku.
“Eeeeeeuuhh kata-katamu mengerikan sekali”.
“Nyeh, kau ini. Selalu saja bercanda”.
***
File itu………”. Gumamku
“Kau sudah ingat?”.
“Ya aku ingat”.
“Kau sudah membukanya?”.
“Emmmm belum, maaf aku lupa”.
“Ah aku sudah menduganya”.
“Aku kan buka sekarang”. Aku mengeluarkan laptop dari dalam tasku. Namun Suara Sora menghentikan gerak tanganku untuk menyalakan laptop.
“Sudah terlambat. Itu untuk satu tahun yang lalu, bukan sekarang. Tidak lama lagi aku akan mati. Jadi kurasa file itu sudah tidak berguna”.
“Sora kau tidak bisa bicara seperti itu. Mati? Yang benar saja. Kau akan hidup lebih lama lagi”.
“Jangan perlakukan aku seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa seperti itu. Aku paham betul penyakit apa yang sedang aku idap sekarang”.
“Tapi……”
“Pergilah”. Sora kembali memasang wajah sinisnya. Namun aku tidak menghiraukan perintahnya. Aku tetap menyalakan laptop-ku.
“Percuma, kumohon pergilah” Kata Sora dengan nada dingin
“Tapi aku…..”
“Pergiii!!!!”. Ini pertama kalinya Sora berteriak marah padaku. Dahulu ia tidak pernah bersikap seperti ini. Aku selalu membuatnya kesal, namun ia masih menghadapinya dengan senyuman. Sora yang kulihat sekarang sangatlah berbeda. Aku tidak berani membantahnya lagi, aku pun segera pergi meninggalkan Sora sendirian di sana.

 ***

Setibanya di rumah aku langsung mencari file yang setahun lalu pernah aku pindahkan ke laptopku. Ah sial aku lupa memindahkannya ke folder apa. Bahkan aku tidak ingat nama file itu apa. Kubuka setiap file yang terasa asing bagiku. Tidak ada, bukan ini. Lalu yang mana??? Tiba-tiba teringat kata-kata Sora saat itu "Kuharap ini bisa mengubah segalanya". Hemm mungkinkah?? Perlahan kuketik kalimat itu di kotak search. Loading beberapa saat dan, benar. Sora, kau ini memang aneh. Masa iya nama file sepanjang itu. Aku tertawa kecil sebentar. Kemudian kubuka file itu. Sempat dibuat kesal karena not responding. Setelah beberapa saat akhirnya file itu terbuka. Sekilas lebih terlihat seperti surat, tak ada judul di sana. Surat??


Selamat tahun baru 2017 Rama.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, aku hanya akan mengatakan itu di malam tahun baru. Namun sepertinya tahun ini akan sedikit berbeda. Sebelumnya terima kasih telah mengundang keluargaku untuk merayakan tahun baru bersama keluargamu. Aku tidak menyangka persahabatan kita akan sejauh ini. 
Persahabatan, hemmm
Tidak terasa ya sudah lima tahun kita selalu bersama. Entah sudah berapa banyak cerita yang kudengar darimu, berapa banyak lagu yang kudengar darimu, dan entah berapa banyak aku menasehatimu. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Itu sangatlah lama, ya sangat lama. Sangat lama untuk memahami satu sama lain. Tapi, entah mengapa aku merasa hingga detik ini kau masih belum bisa memahamiku. Entahlah. 
Percaya atau tidak, aku pernah berniat untuk pergi jauh darimu. Dan itu tidak hanya sekali. Sudah berkali-kali aku ingin menjauh, namun berkali-kali juga aku kembali. Alasanku kembali hanya satu, aku peduli padamu. Entah sejak kapan aku menjadi orang yang sangat peduli. Aku peduli dengan semua ceritamu, peduli dengan kisah hidupmu, peduli dengan keseharianmu, dan peduli dengan apapun yang kau lakukan. Itulah alasanku untuk kembali. Lalu apa alasanku untuk menjauh? Kurasa sudah saatnya aku mengatakannya padamu. 
Begini, kita dipertemukan dengan karakter yang sangat jauh berbeda namun cocok. Maksudnya apa? Maksudnya adalah, aku merupakan pendengar yang baik dan kau pencerita yang baik. Alhasil aku selalu bisa menjadi pendengar yang baik untuk semua ceritamu. Aku senang, aku bahagia ada seseorang yang percaya menceritakan segala hal kepadaku. Namun, semakin lama aku semakin merasakan ada "ketidakadilan" di sini. Jika aku selalu mendengar ceritamu, kapan kau akan mulai mendengar ceritaku? Aku selalu berusaha memahami duniamu, tapi kapan kau akan berusaha memahami duniaku? Setiap kali aku bercerita, selalu saja tanggapan "melenceng" yang aku dapatkan, bahkan terkesan kau tidak tertarik. Namun aku berusaha sabar. Sempat aku berpikir, mungkin beginilah cara hidup persahabatan kita. Aku tidak bisa mengubahnya. Jika aku memaksa, persahabatan itu akan mati. Maka dari itu aku selalu menahan diri untuk marah padamu, atau untuk sekedar mengatakan "Cobalah sedikit peduli dengan kehidupanku". Semua itu tidak aku lakukan karena aku tidak ingin persahabatan ini mati.
Lalu, mengapa hari ini aku mengatakan semua itu padamu? 
Hemm aku rasa tak lama lagi persahabatan kita juga akan mati. Satu minggu yang lalu aku divonis menderita penyakit Leukimia. Hidupku sudah tidak lama lagi, Rama. Tidak lama lagi. Mungkin setahun, atau dua tahun? Hemm atau mungkin tiga tahun? Entahlah. Sebenarnya masih ada kesempatan untuk sembuh dengan jalan operasi, namun kemungkinannya sangat kecil. Maaf aku bukannya pesimis, tapi seharusnya kau tahu bahwa aku adalah orang yang tidak bisa membedakan antara pesimis, optimis, dan realistis.
Aku harap ceritaku yang panjang lebar ini bisa membuat matamu sedikit terbuka atau setidaknya menyadari bahwa aku juga ingin didengar, aku ingin duniaku juga menarik untukmu, aku ingin...... ah sudahlah, lama kelamaan ini terdengar PAMRIH. Bukan imbalan seperti yang kuinginkan dari persahabatan, tapi...... bukankah memang itu yang harus kau lakukan di dalam persahabatan? Tidakkah kau merasa persahabatan kita ini persahabatan satu arah??? Ah bahkan saat menulis kalimat tersebut, terlintas dalam benakku untuk menjauh lagi darimu. Namun ada sesuatu dalam hatiku yang tiba-tiba mengatakan "Jangan". Kutanyakan mengapa? Kau masih peduli dengannya yang tidak memedulikanmu? Kemudian Ia menjawab "Tidak, aku tidak peduli padanya. Sekarang aku menyayanginya". 

Aaaaarrggghhhh Tidak, aku benar-benar tidak bisa pergi darimu. Karena rasa sayang ini telah melebihi rasa benciku padamu. Mungkin penyakit ini adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku benar-benar pergi darimu. Kuharap dengan sisa waktu yang kupunya, kau bisa mengubah sikapmu sedikiiiiiitt saja untukku. Hanya itu yang aku inginkan sekarang, hanya itu. 

Kuharap ini bisa mengubah segalanya................................................

Dari orang yang selalu menutup telinga ketika orang lain menggunjingmu,
Sora Alia


Aku tidak bisa menahan air mataku. Kini aku hanya menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Tanpa pikir panjang aku segera menuju ke rumah sakit. Langkahku terburu-buru namun gontai. Dengan terengah-engah aku terus berlari di koridor rumah sakit untuk bisa sampai di kamar Sora dengan cepat. Setibanya di depan pintu, aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. Setelah kurasa membaik, kubuka pintu kamar Sora perlahan. Hemmm Sora tidak sendirian di sana. Ada seorang pria yang sepertinya kukenal sedang menyuapinya bubur. 
Angga? sedang apa dia di sini? Batinku. Angga adalah teman kami satu fakultas. Setahuku ia memang cukup dekat dengan Sora, tapi melihatnya menyuapi Sora makan bubur itu membuatku kesal. Aku tetap masuk menghampiri Sora. Keduanya terlihat biasa saja dengan kehadiranku.
"Sora, aku ingin bicara padamu". Kataku perlahan
"Bicara apa lagi?". Nada bicara Sora masih tidak senang padaku.
"Sebelumnya bisakah Angga keluar dari sini?" Pintaku sambil menatap Angga dengan sinis.
"Aku akan tetap di sini, bicara saja". Angga balik menatapku dengan sinis.
"Beraninya kau mengatakan itu, keluar kataku sekarang!!". Aku mulai tidak bisa menahan emosi
"Cukup Rama, biarkan Angga di sini". Tatapan Sora kini tidak sinis lagi, nada bicaranya pun melemah. Wajahnya terlihat semakin pucat.
"Tapi Sora...... ah baiklah".
"Kau sudah membacanya?". Tiba-tiba Sora bertanya sambil tersenyum. Ah terima kasih Tuhan aku tidak melihat wajah sinisnya lagi.
"Hemm iya. Sora maafkan aku. Tapi ada hal yang harus kau ketahui. Selama ini sebenarnya aku peduli padamu, aku peka dengan semua ceritamu. Hanya saja aku bukan orang yang pandai berekspresi. Aku tidak tahu bagaimana cara menunjukkan kepedulian itu padamu. Jadi aku rasa kau salah faham. Ah tidak, kau tidak sepenuhnya salah faham. Aku memang pria yang jahat. Jika kau bilang aku tidak memahamimu, sepertinya itu benar. Kau selalu terlihat ceria di hadapanku, dan bodohnya aku selalu mengira kau baik-baik saja. Padahal kau terluka, ya terluka karena sikapku. Aku memang benar-benar kurang memahamimu. Aku menyeseal, maafkan aku Sora. Aku..........". Belum selesai aku bicara, Sora memotong pembicaraanku dengan nada yang lemah sambil tersenyum.

"Sudah cukup Rama, aku sudah terlalu banyak mendengar ceritamu. Dan aku rasa ini adalah cerita terakhirmu yang akan kudengar, indah sekali. Sudah cukup, hanya itu yang aku ingin dengar sejak lima tahun yang lalu. Aku tahu sekarang, kau tidak sejahat yang orang-orang bilang kepadaku. Aku benar, kau itu pria yang baik. Aku tidak menyesal telah menyayangimu". Kata-kata itu dikatakan Sora diakhiri dengan air mata yang jatuh mengalir di pipinya. Tunggu, ada yang lain mengalir di wajahnya. Kini darah segar keluar dari hidungnya.

"Sora, kau baik-baik saja?". Tanyaku panik. Angga segera keluar kamar untuk memanggil dokter. Kulihat Sora menatapku dengan pandangan kosong namun masih menitikan air mata. Tangan kanannya terlihat memegangi dadanya. Ia terlihat sesak napas. Wajahnya emakin pucat. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain memegangi tangannya. Tak berapa lama kemudian tim dokter datang. Terpaksa aku melepaskan genggaman tangaku dengan Sora. Orang tua Sora menangis melihat kondisi Sora sekarang. Suasana di kamar ini sangat mencekam sekarang. Aku merasa gelap, gelap, dan gelap.


***

"Sampai kapan kau akan tetap di sini?". Tanya Angga yang sejak tadi memang berdiri di sampingku. Lebih tepatnya berdiri di samping makam Sora. 
"Bahkan aku belum sempat mengatakan pada Sora bahwa aku juga menyayanginya". Mataku masih memandangi makam Sora tanpa menghiraukan pertanyaan dari Angga.
"Sora tidak sebodoh yang kau kira, tanpa kau ucapkan pun ia pasti tahu bahwa kau juga menyayanginya. Kau pikir apa yang membuatnya bertahan hingga lebih dari lima tahun bersamamu? Ya keyakinan itu. Keyakinan bahwa sebeneranya kau juga menyayanginya".  Setelah mengatakan itu Angga melenggang pergi meninggalkanku.
"Tunggu". Teriakku pada Angga.
"Apa lagi?" Angga kembali menoleh ke arahku.
"Sedekat apa kau dengan Sora? Mengapa sepertinya kau sangat memahaminya?".
"Tenang saja, hubungan kami tidak sedekat hubungan kalian. Kau pikir kepada siapa ia menceritakan semua hal aneh tentangmu? Tapi hanya sebatas itu, Sora sangat setia dengan cintanya. Cintanya padamu". 
"Benarkah? Jadi Sora curhat padamu tentangku?".
"Hmm".
"Tapi....."
"Tapi apa?".
"Apakah kau menyukai Sora?".
"Kalau aku bilang iya pun sudah tidak ada artinya lagi".
"Maksudmu kau menyukainya?".
"Hmmm.. Iya. sayangnya ia lebih menyayangimu. Kulihat keseriusan terhadapmu dimatanya. Jadi aku tidak pernah mau mengakui perasaan ini". 
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Angga. Aku tidak memiliki keberanian menatap Angga. Aku hanya tertunduk.

"Seharusnya Sora bisa bahagia denganmu, tidak usah menyayangi orang sepertiku". Gumamku lemah.
"Kau ini bodoh atau apa? Susah payah Sora mengatur rasa sakit dan cintanya karenamu, sekarang kau seenaknya mengatakan seperti itu? Ah bahkan aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali senyumannya itu melawan air matanya karenamu".
"Tapi aku memang salah, aku......".
"Sudahlah, Sora tidak akan senang melihatmu merasa bersalah seperti ini. Tidakkah kau ingat kata-kata terakhirnya padamu? Ia tidak menyesal telah menyayangimu".
Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku lagi sekarang. 

"Baiklah Rama, senang bisa berbincang dengan orang yang selama ini namanya selalu disebut dalam setiap cerita Sora kepadaku. Kuharap tidak ada Sora Sora lain di dunia ini. Jika kau tidak bisa berubah untuk Sora, berubahlah untuk yang lain".
Angga kemudian pergi meninggalkanku sendirian yang masih terpaku di samping makam Sora.


THE END

Minggu, 19 Januari 2014

T_T



"Lawan dari cinta bukanlah benci. Maka dari itu yang mematikan cinta bukan benci, tapi yang mematikan cinta adalah ketidakpedulian alias pengabaian". 

#Mario Teguh