Halaman

Selasa, 23 Desember 2014

Apakah Doi Tau Tentang Kamu?

Mulai sekarang, stop mengagung-agungkan atau rela melakukan apapun untuk orang yang kamu suka, KARENA doi ga pernah bener-bener tau tentang kamu
Apakah doi tau kalo:
kamu paling ga suka makan ketoprak pake bawang putih mentah karena baunya akan bertahan selama berjam-jam di mulut kamu
waktu kecil kamu paling ga bisa tidur kalo ga ada musik, sekarang kamu paling ga bisa tidur kalo ga ada kipas angin.
kamu ga suka makan sayur, tapi kamu masih suka banget banget banget sama brokoli.
kamu suka banget sama buntut ikan goreng, ikan apapun itu.
waktu lagi sakit kamu paling ga suka minum obat kapsul, bubuk, apalagi cair
kamu paling suka buah semangka dan rambutan, karena kalo udah ketemu dua buah itu kamu suka lupa sisain buat keluarga
kamu ga akan pernah mau disuruh masukin motor ke rumah kalo ga pas banget baru pulang kuliah
setiap lebaran ada kue wajib yang harus dibikin sendiri, yaitu kue biji ketapang
Apakah doi tau tentang itu semua? Tau semua kebiasaan kamu? Kalo enggak, think again!
Karena semua hal diatas cuma bisa dipahami dengan sebuah "pengamatan", ya pengamatan berhari-hari yang bikin orang itu hafal semua kebiasaan kamu tanpa harus kamu ceritain.
Pada akhirnya hanya ada satu manusia di dunia ini yang tau tentang semua itu, yaitu mamah. Ini hanya sekadar contoh betapa ribetnya mamah neriakin abang-abang ketoprak supaya jangan sampe lupa ketoprak buat saya jangan pake bawang putih, betapa riweuhnya mamah nyari-nyari tetangga buat service kipas angin waktu kipas angin di kamar saya rusak, betapa sabarnya mamah nyariin brokoli di tukang sayur cuma demi saya harus makan sayur, betapa terharunya setiap lagi makan ikan goreng mamah naro buntut ikan miliknya ke piring saya, betapa selektifnya mamah dalam pilih obat dari dokter supaya semua obat itu mau saya minum, betapa unyunya mamah bilang ga suka semangka atau rambutan karena takut batuk supaya saya bisa makan sepuasnya, betapa baiknya mamah langsung rapihin ruang tamu kalo saya pulang kuliah supaya bisa langsung masukin motor, betapa repotnya mamah hari gini masih aja berusaha bikin kue lebaran sendiri supaya saya bisa ikutan bikin, dan.................. masih banyak betapa-betapa yang lain yang mungkin ga akan cukup waktu satu hari buat menjelaskan itu semua.

Sekarang orang-orang udah tau semua kebiasaan saya itu, tapi bukan itu makna dari "mengenal". 
Mengenal bukan sekadar tau, tapi juga memahami
Cinta itu kepo, kalo ga kepo berarti ga cinta. 


Mulai sekarang, berfokuslah pada kebahagiaan orang yang telah benar-benar mengenalmu dan biarkan Allah yang urus mengenai siapa orang yang nanti akan benar-benar mengenalmu di masa depan. Karena bagaimanapun tidak ada yang cintanya kepadamu melebih cinta orang tua untukmu, kecuali orang itu benar-benar sayang padamu. 
-Redrose-


NB: Terinspirasi karena pagi-pagi dibeliin ketoprak tanpa pake bawang putih, "Ini ga pake bawang putih kok kak, makan ya". 

Rabu, 29 Oktober 2014

Lemon is Lemon

Hari Minggu pagi merupakan hari yang aneh untuk memulai aktifitas saat matahari belum sempurna menampakkan wajahnya. Aku tengah bersiap mengeluarkan motor dari garasi rumah hingga akhirnya suara dering telepon menghentikan gerakanku. Aku melepas kembali helm yang telah kupakai dan meletakannya di kaca spion motor.
"Halo, gue otw". Kataku langsung ketika mengangkat telepon
"Otw mana lo? Ga percaya gue". Suara pria dari seberang sana terdengar kesal
"Ih galak amat. Iya iya gue otw depan rumah. Sabar sih, acaranya juga jam 8 kan? Ini masih jam 6". Gerutuku tak kalah kesal
"Eng...........". Tak terdengar suara lagi dari orang itu, ia hanya terdengar menggumam
"Halo..". Kataku perlahan karena merasa heran ia terdiam
"Jangan marah ah, serem kamu". Terdengar tawa ringan mengiringi kalimatnya
"Hahahaha apaan deh lo. Yaudah gue mau berangkat nih. Tinggal keluar gerbang kok. Sabar yaaahh". Tanpa menunggu jawaban lagi, aku segera menutup sambungan telepon dan segera berangkat. Ohiya, yang menelpon tadi namanya Ken. Nama lengkapnya Dolken Wijaya. Dia buka orang Belanda, tapi orangtuanya sangat terobsesi dengan negara kincir angin tersebut, jadilah ia diberi nama orang Belanda. Ken adalah sahabatku sejak SMA. Hingga hari ini, bahkan saat kami sudah sama-sama meniti karir, kami masih sering berkomunikasi.  Dan aku?? Namaku Intan Karina. Kata ibuku aku harus menjadi seperti anak yang kuat dan cantik seperti intan. Begitulah. Untung saja aku tidak diberi nama Titanium.

Hari ini adalah hari pernikahan Dolken dengan kekasihnya di Kampus yang sudah ia pacari selama 4 tahun. Sejak kemarin sebenarnya ia sudah memintaku untuk menginap saja di rumahnya, tapi aku dengan keras menolak karena aku masih punya deadline paper hasil penelitian di Kalimantan bulan lalu. Jadi wajar saja jika di telepon tadi ia terdengar kesal karena aku belum juga sampai di rumahnya.

***

"Udah, udah ganteng itu. Iya kan tante?" Kataku sambil melirik ke Ibunya Ken ketika memasuki kamar rias pria di rumahnya.
"Iya Ken, wis ganteng toh le". Logat jawa ibunya Ken masih sangat kental meskipun sudah hampir 20 tahun tinggal di Jakarta.
"Eh ndo Intan kok baru dateng? Si Ken ini udah marah-marah mulu loh nungguin kamu dari tadi". Lanjut ibunya Ken ketika menyadari bahwa aku yang baru saja biacara.
"Hehe iya tante semalaman aku bikin paper penelitian, jadi baru tidur jam 3 pagi. Agak kesiangan deh. Maaf ya tante". Kataku sambil meletakkan tas di meja.
"Ya tante sih ga apa-apa. Si Ken ini loh yang bawel nungguin kamu".
"Ah Ken mah suka gitu. Bukannya bawel nungguin Citra, malah kesel nungguin saya". Kemudian kami tertawa bersama.
"Heeee sudah kalian ini kenapa jadi ketawa". Ken yang sejak tadi sibuk di depan kaca kini ikutan nimbrung.
"Iya maaf. Btw udah ganteng lo, ga usah ngaca terus. Kasian kacanya bosen". Kataku sambil menepuk pundaknya.
"Setelah 8 tahun kita temenan, baru hari ini lo bilang gue ganteng. Amazing". Ken tepuk tangan sejadi-jadinya.
"Idih, ini yang pertama dan terakhir. Karena setelah ini gue ga akan bisa bilang lo ganteng lagi kan".
"Loh kenapa?". Ken heran
"Karena nanti gue bakal diomelin Citra, istri lo. hahaha".
"hahaha ia juga ya. Gila cerdas lo cerdas!". Ken histeris
"Apasih Ken, udah ah gue mau dandan dulu. Ga liat apa gue masih pake baju tidur?". Saat berangkat dari rumah aku memang sengaja tidak berganti pakaian rapi karena kebaya yang akan kupakai hari ini sudah disiapkan oleh keluarga Ken. Aku menghadiri pernikahan Ken sebagai pihak dari keluarga. Ken memang bukan saudaraku, namun bersahabat selama 8 tahun membuat aku merasa keluarga Ken seperti keluargaku.

***

Hari minggu ini merupakan hari yang membahagiakan bagi Ken dan Citra. Setelah berpacaran selama 4 tahun, akhirnya Ken memberanikan diri untuk melamar Citra. Tentu saja itu juga dengan bantuan dari ide ajaibku. Jika tidak begitu, aku yakin Ken baru akan melamar Citra setelah negara api menyerang. Ken orang yang sangat cuek dengan apapun dan sangat tidak tahu malu. Tapi urusan lamar melamar, ia sangat payah. Untunglah kepayahan itu bisa berubah jadi prosesi pernikahan. Hari ini harusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi Ken. Iya seharusnya, sebelum....................

"Halo, Ken ini tante Maya. Mamanya Citra". Suara wanita setengah baya dari seberang sana terdengar diiringi isak tangis.
"Iya tante kenapa? Wajah ceria Ken yang sejak tadi kuajak bercanda agar tidak tegang tetiba berubah menjadi pucat".
Aku tidak tahu apa yang dikatakan tante Maya di telepon. Yang jelas sekarang Ken tersungkur di depanku, tertunduk dan matanya tak bisa berhenti meneteskan air mata. Ini bukan kali pertama aku melihatnya menangis, tapi kali ini berbeda.
"Ken, ada apa?".

***

1 bulan kemudian......

"Maaf setelah hari itu gue malah sibuk penelitian. Bukannya nemenin lo, tapi malah ninggalin". Kataku memulai pembicaraan yang sejak 10 menit yang lalu aku dan Ken hanya terdiam di sebuah cafe dekat kantornya. Kini Ken pun masih terdiam. Aku tidak tahu apakah itu karena ia masih terpukul dengan kematian Citra di hari pernikahannya atau karena ia memang marah padaku.
"Ken... lo marah?". Tanyaku kemudian
"Gue sayang sama Citra. Gue sayang dia". Ken mengucapkan hal itu dengan nada yang lemah. Dari raut wajahnya terlihat jelas ia sangat terpukul dengan hal itu. Tubuhnya lebih kurus sekarang. Apakah ia jadi tidak nafsu makan? Ah aku jadi merasa berdosa telah meninggalkan dia di masa-masa tersulitnya.
"Iya gue tau, Citra juga tau itu kok. Tau banget!".
"Kalo tau, kenapa dia pergi?".
"Ken, ga ada yang bisa menentang kematian. Lo dan gue juga akan meninggal nantinya. Ini bukan kemauan Citra".
"Tapi kenapa?" Ken menundukkan kepalanya di atas meja.
"Sampe kapan lo akan begini, Ken?".
Ken hanya terdiam.
"Jawab Ken, sampe kapan?". Tanyaku lagi dengan nada yang lebih tegas. Ken mengangkat kepalanya. Ia menatapku dengan air mata berlinang.
"Enggak! Ini bukan Ken. Lo siapa? gue ga kenal lo". Aku berdiri dari kursi. Melihat hal itu Ken terkejut dan ikut berdiri.
"Loh! lo kenapa deh Intan?'.
"Lo yang kenapa! Mana Ken yang dulu? Yang selalu ceria dan masa bodo dengan hal apapun. Mana? Mana Ken yang gue kenal? Yang selalu optimis dan bisa ambil hikmah dari semua kejadian. Mana?".
"Ah lo! Lo ga pernah tau kan rasanya ditinggal mati sama calon pengantin lo? Bahkan H- beberapa jam sebelum akad. Ga pernah kan? Jadi jangan sok tau gitu!". Ken malah lebih marah padaku.
"Apa kata lo? Ga pernah?"
"Iya!!". Jawab Ken singkat dengan tatapan yang agak sinis sekarang.
"Lo ga inget kejadian 2 tahun lalu? lo lupa? tega ya!!". Tanpa sadar aku meneteskan air mata.

***

Dua tahun yang lalu..............

"Jangan nangis terus, yang pergi yaudah jangan dipikirin lagi". Ken mengusap kepalaku sambil memberikan tisu. Aku memang sudah menangis lebih dari 1 jam di ruang tamu rumah Ken. Ini bukan tanpa alasan.
"Lo diem aja. Lo tau apa tentang perasaan gue? Udahlah diem aja". Kataku semampunya dengan sisa tenaga yang kupunya. Sejak kemarin aku tidak nafsu makan dan kerjaanku hanya menangis. Wajar. Iya wajar. Wanita mana yang bisa kuat melihat tunangannya selingkuh di H-1 bulan pernikahannya? Kurasa tidak ada yang kuat, termasuk diriku sendiri.
"Udah Intan, lo harus kuat. Kalo Haikal ninggalin lo, itu berarti dia bukan yang terbaik buat lo. Harusnya lo bersyukur belum sempet nikah sama dia. Coba kalo jadi nikah, euuuh lo akan menderita seumur hidup".
Aku tidak menggubrisnya, aku tetap saja menangis.
"Intan, jangan menyedihkan begini ah! Si Haikal aja belum tentu mikirin lo. Buktinya sampe hari ini dia ga minta maaf sama lo kan? Itu jahat! Udah gausah dipikirin".
"Iya dia jahat! Maka dari itu gue sedih. Sakit Ken. Sakit!".
"Iya gue ngerti perasaan lo. Tapi jangan ditangisin terus. Ga pantes. Ambil hikmahnya, jangan diratapin terus kesedihannya. Biarin Haikal ninggalin lo. Tapi masih ada orang tua lo dan masih ada keluarga gue yang sayang sama lo, masih ada gue juga yang ga akan pernah ninggalin lo. Lo tenangin diri ya, please gue ga tega ngeliat lo kaya gini terus".
"Trus sekarang gue harus apa?".
"Lo harus senyum. Ayo senyuuumm". Ken menarik pipiku ke kiri dan kanan membuatku terlihat aneh.
"Euuuh lepas, lepas. Bener ya lo ga akan ninggalin gue?" Aku menghapus air mataku dari kedua pipi.
"Iya beneran. Ga percaya amat si".
"Ah nanti kalo lo nikah pasti bakal ninggalin gue".
"hmmm itu sih tergantung istri gue ngebolehin gue deket sama cewe lain atau engga hahaha".
"Tuh kan!".
"Hehe enggak, bercanda. Walaupun gue nikah nanti, entah sama siapapun itu gue ga akan ninggalin lo kok. Lo kan sahabat gue yang tersayang, tapi gue lebih sayang istri gue haha". Ken tertawa senang sekali seolah menonton tayangan komedi. Ia menyadari tatapanku padanya sinis, seketika ia berhenti tertawa.
"Eng... Kenapa lo ngeliatin gue kaya gitu?". Tanya Ken heran.
"Ga kenapa-napa. Gue kangen bisa ketawa kaya gitu".
"NAH! Kangen kan? Yaudah yang pergi jangan dipikirin lagi. Sabodo ae lah. Lanjutin hidup lo Intan! Okey???". Ken mengepalkan tangannya bersemangat.
"Siap!".

***
Back.....

"Lo inget sekarang? Iya gue emang bukan ditinggal mati, tapi ditinggal demi cewek lain. Sekarang gue tanya, sakitan mana??? Setidaknya lo ditinggal dengan fakta bahwa Citra sangat sayang sama lo. Dia pergi bukan karena dia udah ga sayang sama lo, dia pergi bukan karena dia sayang sama cowok lain. Tapi gue??? Bayangin Ken! Sakitan mana?".
Ken duduk kembali di kursi. Ia terlihat tertunduk. Sedangkan aku berurai air mata. Luka dua tahun lalu yang selama ini berhasil tertutup karena semangat dari Ken, kini terbuka lagi. Perih lagi. Pemberi semangat itu kini justru memaksaku membuka luka lama.
"Dulu lo bilang buat ambil hikmahnya dan tetep lanjutin hidup. Gue lakuin itu Ken, gue lakuin! Tapi sekarang apa yang gue liat? Lo sendiri ga bisa nerapin hal itu. Payah!". Air mataku semakin tak terbendung lagi. Aku segera pergi meninggalkan Ken yang masih tertunduk lemah di Cafe.


***
Satu minggu kemudian.........

*Ting nong*
Jumat pagi pukul 9. Ken datang ke rumahku dengan membawa dua koper berukuran besar.
"Mau apa lo? Mau nginep di rumah gue? Ini rumah, bukan tempat pengungsian. Pulang sana!".
"Apa sih lo ga jelas. Gue mau pamit".
"Loh, pamit ke mana?".
"Gue mau lanjut S2 di Belanda. Alhamdulillah akhirnya keterima juga tahun ini".
"SERIUSSS??". Aku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, Ken dan keluarganya sangat terobsesi dengan negara tersebut. Dan Ken adalah anggota keluarga pertama yang akan menginjakan kaki di Belanda. Ini Amazing!
"Iyaaaaaaaaa". Teriak Ken dengan wajah sumringah
"Berapa lama di sana?".
"Hemm sekitar 2 tahun".
"DUA TAHUN???" Aku histeris
"Eh biasa aja kali, kenapa deh?".
"Itu lama banget ya!". Awalnya aku bahagia, tapi kini aku sedih. Dua tahun tidak bisa bertemu dengan Ken? Apa jadinya aku ini?
"Udah deh jangan sok sedih ga jelas. Mending sekarang lo anterin gue ke Bandara. Mama Papa gue udah nunggu tuh di mobil. Ayo anteeerr".
"Ogah ah! gue mau ngerjain paper!" Jawabku ketus.
"Idih temen lo bakal pergi jauh naik pesawat nih. Kalo pesawatnya kenapa-kenapa gimana? Jatoh di laut trus gue masuk ke daftar orang hilang, trus kita ga bisa ketemu lagi, trusss.....".
"Ehhh udah-udah, kok imajinasi lo nyeremin sih. Iya iya gue temenin. Ayo".


***

Dua tahun bukan hal yang singkat, apalagi jika dibebani dengan sebuah rindu. Selama dua tahun Ken kuliah S2 di Belanda, aku selalu saling berkirim e-mail dengannya setiap hari. Ken selalu menceritakan hal-hal baru yang ia dapat dari kampusnya. Dari kejadian menakjubkan sampai kejadian konyol sekalipun. Ken terlihat sangat bahagia di sana. Sesekali ia mengirimkan foto bersama teman-temannya. Akupun begitu, selama dua tahun ini banyak penelitian yang kulakukan dan aku selalu memaksa Ken untuk membaca paper yang baru saja aku publikasikan. Aku tau Ken tidak mengerti itu, tapi ia selalu berusaha mengerti. Minimal ia paham judul dari papernya saja, itu sudah sangat membanggakan.
Hingga pada suatu hari e-mail masuk tengah malam. Kebetulan aku masih terjaga karena memang tak bisa tidur sejak kemarin.

Ken ; "Intan, sekarang lo lagi sama siapa?".

Intan : "Hah? maksudnya?".

Ken : "Hmm maksudnya pacar, udah punya pacar baru?".

Intan : "Haha pacar itu apa?".

Ken : "Jadi masih sendiri?".

Intan : "Yaelah pake ditanya. Kenapa deh?".

Ken : "Jomblo?".

Intan : "Iya ih berisik!".

Ken : "Kasian udah 25 tahun masih jomblo"

Intan : "Apaan sih lo ga jelas".

Keesokan harinya...........

"Intan, ada tamu tuh". Kata mama ketika masuk ke kamarku.
"Siapa Ma?".
"Liat aja sendiri".
"Siapa deh?". Aku beranjak dari tempat tidur karena penasaran dengan tamu yang hadir dan segera menuju ke ruang tamu. Betapa terkejutnya aku melihat Ken bersama orang tuanya yang sedang duduk di sana. Ken!
"KEN!! Aaaaaaaaaa lo udah pulang???? Kok ga bilang-bilang?". Aku histeris sambil menghampiri mereka dan duduk di sofa.
"Tuh liat deh Ma, Pa, dia selebay itu kan ya. Yakin mau jadiin dia menantu?". Ken tidak menanggapi ucapanku barusan. Ia malah membicarakan hal aneh pada orang tuanya.
"Ha? Apa? Menantu? Emang om tante punya anak cowo yang lain?". Tanyaku heran
"Anak cowok lain yang mana to ndo Intan? Ya cuma Ken anak tante satu-satunya. Anak kesayangan". Ibunya Ken tersenyum-senyum tak jelas sambil terus mengusap-usap bahu Ken.
"Jadi maksudnya?". Aku semakin bingung. Tetiba rombongan keluarga Ken masuk ke ruang tamu membawa bawaan banyak sekali. Aku yakin itu bukan bawaan biasa. Penuh dengan hiasan. Ah apa ini? Lamaran? Di tengah kebingungan itu tetiba Ken memegang tanganku dan...
"Intan, will you marry me?".
"What? Will you apa? Marry itu apa?". Tanyaku sambil tersenyum meledek.
"Euuuh mulai deh lo! Romantis dikit napa!". Ken terlihat kesal. Sedangkan orang tua kami hanya tertawa.
"Ahahaha ini apa sih??". Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku hingga aku meneteskan air mata. Aku hanya bahagia, perasaan rindu selama dua tahun terjawab semua maknanya hari ini.
"Intan, serius dong. Ayolaaah". Ken semakin kesal.
"Ma, Pa, aku mau nikah. Boleh ga?" Aku melirik ke Mama Papa yang duduk di sampingku. Mereka berdua hanya mengangguk dan tersenyum. Dan ada senyuman lain lagi yang lebih sumringah. KEN!


THE END

Lemon is Lemon

Luka is Luka, yaudah emang namanya luka. Rasanya sakit. Tapi, bukan berarti ga bisa sembuh kan?

Jodoh is jodoh, yaudah emang namanya jodoh. Kalo jodoh emang ga akan kemana kan?

REDROSE @2014





Jumat, 10 Oktober 2014

UIBIOFEST2014 - Departemen Biologi UI

Departemen Biologi FMIPA UI proudly presents:
‪#‎UIBioFest2014‬ kembali hadir dengan konsep dan konten acara yang lebih baru, lebih seru, dan lebih keren juga tentunya.
Ada apa aja sih di #UIBioFest2014?


1. SEMINAR EKSPLORASI
Tema: Melestarikan Biodiversitas Indonesia
Seminar ini akan diisi dengan hasil eksplorasi di TN. Baluran Jawa Timur 3 BSO Biologi UI. Selain itu, akan ada presentasi dari 2 paper terpilih dari peserta Call for Paper.
Waktu : Sabtu, 8 November 2014
Tempat : Auditorium Lt. 6 Perpustakaan Pusat UI
CP Seminar Eksplorasi:
Emil (085780407887)
Ayu (083807991750)
CP Call for Paper :
Emil (085780407887)
Rini (085741369024)
2. OLIMPIADE BIOLOGI
Olimpiade biologi untuk SMP dan SMA se-JABODETABEK meliputi ujian tertulis, tes kemampuan praktikumorium, pengamatan lapangan, dan cerdas cermat.
Waktu : 1 dan 2 November 2014
Tempat : Gedung E Departemen Biologi UI
CP: Joni (083897786199)
3. PUBLIC COMPETITION
Bagi kalian yang jago poster dan jago fotografi, ini nih wadah yg tepat banget buat menyalurkan hobi dan dapet hadiah jutaan rupiah.
Tema : Mengungkap Biodiversitas Indonesia
CP: Ima Magisma (087885082324)
Dwi Septy A (087885082324)
4. AKUSTIK
Nah bagi yang punya bakat di bidang musik, boleh banget ikut lomba akustik. Terbuka untuk umum loh.
CP : Luci : 085715471219
Rizky : 085710792521
Rima : 085717109438
5. BADAK
Buat adik-adik yang masih TK dan SD, ada juga loh acara menarik buat kalian. Ada lomba mewarnai, lomba menggambar dan mewarnai dan ada juga Para Petualang Cilik (PPC). Kita akan sama-sama belajar biologi dengan cara yang menyenangkan.
CP lomba mewarnai dan menggambar+mewarnai : Ovy (085718535489)
CP PPC : Dhiamira (087889312544)
Semua pendaftaran acara sudah mulai sejak 15 September s.d. 18 Oktober 2014. Ayo tunggu apa lagi? Buruan daftar, hubungi CP masing-masing acara dan menangkan hadiah jutaan rupiah.
Info selengkapnya kunjungi www.uibiofest2014.blogspot.com
"Ungkap Keajaiban, Lestarikan Kehidupan, Salam Konservasi"
#UIBioFest2014

Rabu, 02 Juli 2014

Sambal Mangga Sore Hari

Sumber foto : http://tirakakakurukurukantapiasaurusya.wordpress.com/page/2/

Dia pikir siapa dia? Datang dan pergi seenaknya ke restoran ini tanpa membeli apapun seolah restoran ini milik nenek moyangnya. Heran, mengapa di era globalisasi seperti ini masih saja ada orang yang berpikiran picik seperti itu. Datang ke restoran dengan koneksi internet yang cepat demi wifi gratis. Huh kesal sekali aku dibuatnya. Aku tahu restoranku tidak terlalu ramai, dengan atau tanpa adanya dia pun tidak akan merugikanku. Tapi, apa dia tidak pernah tahu etika? Gemas jika membahasnya. Sudah tiga hari berturut-turut orang itu datang dan duduk dengan asik menatap layar laptopnya di restoranku tanpa membeli apapun. Hari ini aku tidak akan membiarkannya. Awas saja kau!

***

Jam makan siang berlalu. Jam dinding di restoranku menunjukkan jam 5 sore. Restoran kembali sepi. Restoranku biasanya memang hanya ramai saat jam makan siang dan makan malam. Maklum aku mendirikan restoran ini di wilayah perkantoran yang orang-orangnya kebanyakan hanya punya waktu makan saat siang dan malam. Namun, seperti yang telah aku bicarakan sebelumnya, akhir-akhir ini ada seseorang yang mulai mengusik ketenanganku di jam-jam sepi seperti ini. Yang ditunggu-tunggu datang.
"Selamat sore". Sapaku dengan ramah ketika membukakan pintu untuknya. Jika berdiri sejajae seperti ini tingginya tak jauh beda denganku, usianya juga sepertinya hampir sama. Pria muda dengan setelan kemeja ala pemuda. Hemm mungkin sekitar 23 tahun. 
"Pagi". Jawabnya singkat sambil sedikit senyum. Sedikit sekali.
Aku segera mengantarkannya ke meja di pojok ruangan dekat dengan piano.
"Silahkan duduk, mau pesan apa?". Tanyaku kemudian ketika ia duduk dan mengambil laptop dari tasnya. 
"Nanti saja". Pria itu menjawab tanpa melihat wajahku yang sudah semakin kesal dengan sikapnya.
"Oh baiklah". Jawabanku masih berusaha ramah. Belum jauh aku berjalan dari mejanya, pria itu memanggilku.
"Emm mbak, tunggu!". Ah dia pasti ingin memesan sesuatu. Kataku dalam hati dengan ekspresi gembira. Aku balik arah dan kembali menghampirinya.
"Sudah memutuskan untuk memesan?". Tanyaku dengan percaya diri dan senyum sumringah
"Emm tidak. Ini wifi-nya kok ga bisa yah?". Lagi-lagi ia bicara tanpa melihat wajah ceriaku yang seketika berubah muram kembali. Ia hanya fokus pada layar laptopnya sambil sesekali menekan tombol enter. Entah apa yang ia lakukan.
"Ooooo wifi, wifi ya Mas? Hemm wifi". Kataku dengan nada yang entah bagaimana aku menjelaskan nada bicara ini.
"Iya, kenapa yah? Kok ga bisa?". Kali ini ia menatapku. Dengan cepat aku memperbaiki posisi berdiri dan ekspresi wajahku yang penuh dengan senyuman licik.
"Emm itu mas, dari pagi tadi wifi di restoran ini emang lagi rusak alatnya. Lagi berusaha diperbaiki kok". Aku berusaha menjelaskan dengan wajah ramah. Wifi rusak? ahaha itu hanya akal-akalanku saja. Biar tahu rasa dia! Aku sudah merencanakan hal ini sejak kemarin. Tanpa sadar senyuman licik muncul lagi dari bibirku. Namun suara pria itu tiba-tiba memaksaku untuk senyum natural kembali.
"Hemm gitu yah". Ia menutup layar laptopnya.
"Iya gitu. Mendingan mas ke restoran lain aja deh yang wifi-nya lebih kenceng dan bebas dateng kapan aja tanpa harus pesen makanan. Eh.. maksud saya...". Tanpa sadar kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Tapi aku tidak melanjutkannya. Aku menutup mulut dengan map menu yang ku bawa.
"Eng itu mas maksud saya di restoran lain pelayanan wifi-nya pasti lebih bagus". Aku tertawa meringis, sedangkan pria itu hanya menatapku dengan ekspresi datar. Untuk beberapa saat ia mempertahankan ekspresinya sambil terus menatapku. Aku semakin merasa takut. Map menu yang awalanya hanya menutupi mulutku, kini naik ke atas hingga sekarang hanya mataku yang terlihat.
"Ke....kenapa kau menatapku seperti itu?". Kuberanikan bertanya walau dengan nada yang gagap.
"Tidak ada apa-apa". Singkat dan datar. Haft orang itu manusia bukan sih? Kataku dalam hati.
"Oiya!". Katanya kemudian mengagetkanku yang baru saja hendak menghela napas.
"Ya, ada apa?"
"Aku mau pesan steak ayam saus sambal mangga". Ia bicara sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ya Tuhan, akhirnya dia memesan sesuatu. Kataku sumringah dalam hati.
"Oke, minumnya apa?". Aku mencatat pesanannya di buku kecil yang kubawa.
"Orange juice aja". 
"Oke baik, silahkan ditunggu". Tanpa banyak aiueo lagi, aku segera berjalan menuju dapur. Samar-samar terdengar ia mengucapkan sesuatu yang membuat langkahku terhenti.
"Terima kasih".
"Untuk?". Tanyaku dengan heran sambil balik badan ke arahnya
"Ya untuk pelayanannya lah, itu wajar kan etika kepada pelayan?". Kini ia yang heran
"Hoooo iya kau benar! benar sekali". Aku tersenyum miris padanya dan langsung kembali balik badan berjalan menuju dapur. Ah aku bodoh sekali. Dia benar juga, memang wajar untuk mengucapkan terima kasih kepada pelayan. Memangnya aku berharap ia mengucapkan terima kasih untuk apa? Aaaahh Ara bodoh!


***

Sejak hari itu, ia selalu datang setiap jam 5 sore dan memesan makanan yang selalu sama, yaitu steak ayam saus sambal mangga dan Orange juice. Sempat aku merasa bersalah karena telah ceplas ceplos bicara padanya soal memesan makanan, tapi dengan cepat aku menepisnya. Bukannya ini yang aku inginkan? Aku tidak ingin pelangganku hanya memanfaatkan wifi restoranku saja. Dua minggu berlalu, ia masih setia datang ke restoranku setiap sore, sendirian. Hingga pada suatu malam ketika aku hendak menutup restoran, ia datang menghampiriku.

"Selamat malam, udah mau tutup yah?". Suaranya mengejutkanku.
"Eng.. iya mas. Baru aja saya kunci pintunya". Aku menunjukkan kunci bergantungkan gantungan bintang kecil di tangan kananku.
"Hemm baiklah. Kamu mau pulang?". Pria itu menghampiriku lebih dekat. Aku mundur selangkah.
"Iya".
"Naik mobil?"
"Iya. mobilku terpakir di garasi restoran". Aku menunjuk ke samping kiri tempat ia berdiri yang bersebelahan dengan garasi.
"Oke baik, hati-hati". Pria itu tersenyum manis sekali. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum lebar seperti itu.
"Terima kasih". Kataku kemudian langsung berjalan menuju garasi.
"Emm tunggu". Pria itu bicara lagi dan memaksaku untuk berhenti. Aku menoleh ke arahnya.
"Ya?".
"Kenalkan, namaku Hans". Ia mengulurkan tangannya mengajak bersamalaman.
"Oh, iya Hans. Saya Ara". Aku menjabat tangannya. 
"Sebenarnya..........". Hans tertunduk sebentar.
"Ya? Ada apa?" Tanyaku heran.
"Kau tahu mengapa aku selalu datang ke restoranmu?".
"Hooo itu? Ya pasti karena makanan di restoranku enak lah". Jawabku sambil tertawa.
"Kau yakin? Bahkan aku tidak suka makanan pedas. Restoranmu kan serba pedas makanannya. Kau tahu mengapa aku selalu memesan makanan yang sama? Karena menurutku sambal mangga di restoranmu yang paling tidak pedas diantara sambal yang lain".
"Hmm begitu. Jadi kalau bukan karena itu, karena apa?".
Hans terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya angkat bicara.
"Di awal kedatanganku ke restoranmu, aku sengaja tidak pernah memesan. Aku tahu kau pemilik restoran itu. Aku pikir lama-kelamaan kau akan jengkel dengan tingkahku. Dan ternyata aku benar. Kau mulai jengkel dan langsung turun tangan melayaniku secara pribadi beberapa hari kemudian". Hans terdiam lagi untuk beberapa saat. Aku masih tertegun dengan ceritanya tak bisa berkata apa-apa.
"Aku melakukan hal itu bukan tanpa alasan, aku hanya ingin mengobrol denganmu". Kini kata-kata Hans benar-benar membuatku makin tertegun. Tapi aku masih belum bisa bekata apa-apa, sementara Hans melanjutkan ceritanya.
"Entah mengapa sejak hari itu, setiap kali aku datang, pasti kau yang akan menghampiri mejaku. Ini benar-benar sesuai harapan. Aku.....".
"Cukup". Kataku menghentikan cerita Hans
"Hentikan, jangan dilanjutkan lagi. Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?". Aku menatap matanya dengan tajam. Wajah datarnya itu kini terlihat seperti orang yang menaruh harapan. Entah harapan apa dan kepada siapa.
"Aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu di restoran ini". Hans menatapku dengan sungguh-sungguh. Sementara aku hanya bisa tertunduk. Kami terdiam untuk beberapa saat. Semilir angin malam terasa dingin menerpa wajahku sekarang.
"Maaf, saya sudah menikah". Ucapku kemudian sambil menunjukkan cincin perak yang melingkari jari manis tangan kananku. Tanpa berani melihat wajah Hans, aku segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil dengan kecepatan standar. Dari kaca spion mobil dapat kulihat Hans masih setia berdiri di depan restoran dengan wajah penuh kekecewaan. Melihat hal itu membuatku menambah kecepatan laju mobilku.

THE END 

"Terkadang cinta memang datang terlambat. Tunggu, atau aku yang datang terlambat? Atau Ara yang terlalu cepat memutuskan? Entahlah. Sambal mangga itu terasa sangat pedas sekarang". -Hans

Selasa, 01 Juli 2014

Pesawat Pertama



Pagi-pagi sekali aku bergegas menuju bandara dengan mobil sedan putihku. Aku fokus di balik kemudi sambil sesekali melirik jam di tangan kiriku. Kurasa ini hal yang salah, karena setiap kali aku melirik jam tangan, aku akan semakin menambah kecepatan mobilku.
“Dua puluh menit lagi, apa bisa?”. Gumamku sendirian ketika terjebak macet di lampu merah. Tetiba teringat pesan dari Iwan semalam. Aku segera meraih handphone yang kuletakkan di jok samping.

“Assalamu’alaikum, Aku pamit ya. Besok akan pulang ke Kalimantan. Aku naik pesawat penerbangan pertama besok pagi, pukul  7.30 WIB. Doakan semoga selamat sampai tujuan. Aamiin. Wassalamu’alaikum”

Berkali-kali aku baca pesan dari Iwan tersebut hingga akhirnya suara klakson mobil di belakangku menyadarkan lamunanku. Hmm sudah hijau rupanya. Aku kembali melaju dengan kecepatan kencang, kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

***

Hal pertama yang kulakukan ketika menginjakkan kaki di bandara adalah melihat jam tangan.
“7. 25. Haft hanya tersisa 5 menit. Masih mungkinkah?”. Gumamku sendirian sambil berjalan cepat menuju gate in. Suasana bandara begitu ramai pagi ini. Terang saja begitu, 2 hari lagi masuk bulan Ramadhan. Pasti banyak orang yang ingin pergi ke kampung halaman, termasuk Iwan. Iwan adalah teman dekatku di kampus. Ya kami dekat. Namun, satu minggu yang lalu sesuatu terjadi di antara kami. Hal tersebut membuat kami tidak berkomunikasi hingga hari ini. Terakhir, pesan yang kemarin kubaca adalah pesan pamit darinya. Ini menyedihkan.
Aku msaih berlari dan terus berlari hingga akhirnya langkahku terhenti. Aku mengatur napasku yang terengah-engah sambil melihat ke sekeliling. Ramai. Ramai sekali. Banyak wajah-wajah asing di sini. Tak ada satupun wajah yang kukenal, lebih tepatnya yang kucari, Iwan.
7.35!
Aku semakin putus asa. Pesawatnya pasti sudah tinggal landas. Kurasakan lemas di sekujur tubuhku. Jika tidak sedang di tempat ramai, mungkin saat ini aku akan segera duduk tergeletak di lantai. Satu hal yang paling kusesali adalah mengapa semalam aku tidak langsung membalas pesannya? Bahkan untuk sekadar mengucapkan “Hati-hati di jalan” pun aku tak mampu.
Langkah kaki ini terasa semakin berat. Aku melangkah perlahan sambil berharap ada sesuatu yang membawaku pulang dengan cepat dari tempat memilukan ini. Dengan langkah gontai, tanpa sengaja tas kecil yang kubawa terjatuh ke lantai. Aku berusaha meraihnya dengan sisa tenaga yang kupunya. Namun seseorang telah mendahuluiku untuk mengambilnya.
“Kau?? Sedang apa kau di sini?”. Tanyaku heran ketika melihat pria berjaket coklat dengan sorotan mata yang kukenal berdiri di depanku sekarang.
“Aku? Harusnya aku yang bertanya. Sedang apa kau di sini? Mau pergi ke mana?”. Pria itu malah balik bertanya padaku dengan ekspresi yang tak kalah terkejutnya denganku.
“Jawab dulu pertanyaanku, Wan. Bukankah pesawatmu sudah tinggal landas sejak 10 menit yang lalu?”.
“Pesawatku?? Hooo iya memang sudah tinggal landas, tapi pesawatku bukan yang itu. Jadwalnya nanti jam 9.30 WIB”. Iwan menjelaskan sambil tertawa kecil.
“Tapi semalam kau bilang….. Pesawatmu itu jam… tapi semalam….”. Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku dengan benar. Air mata mulai menggenang di mataku.
“Hmm maaf aku membohongimu tentang itu. Sebenarnya….. ini”. Katanya tidak meneruskan apa yang ingin ia ucapkan. Ia memberikan sebuah tiket penerbangan padaku.
“Tiket? Tiket siapa?”. Tanyaku heran sambil menerima tiket tersebut dari tangannya.
“Untukmu. Kita berdua akan ke Kalimantan hari ini”. Iwan tersenyum manis padaku.
“Apa-apaan ini? Kau ini lupa atau apa? Bukankah kita…….”. Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Iwan sudah berbicara kembali.
“Rilla, meskipun semalam kau tidak membalas pesanku, aku yakin pagi ini kau pasti akan ke bandara untuk mengucapkan selamat tinggal padaku. Wah ternyata benar kan kau ke sini. Dan ide kebohongan itu sebenarnya adalah ide Ayah dan Ibumu. Mereka ingin memberikan kejutan padamu”. Kini senyum Iwan semakin melebar.
“Ayah dan Ibu? Kejutan? Jadi kita?”. Air mata yang sejak tadi menggenang sudah tak bisa tertahan lagi, kini aku berurai air mata sambil tersenyum bahagia.
“Hmm iya. Sesuai janjiku, aku akan kenalkan kau kepada orang tuaku di Kalimantan. Masalah keberangkatan sudah kuurus. Ayah dan Ibumu akan datang nanti ke sini membawakan pakaian untukmu. Jadi kau tidak usah khawatir. Cukup ikut saja denganku”.
“Wan, kau yakin dengan semua ini?”. Tanyaku sambil menunduk.
“Insya Allah yakin. Hingga hari ini, sejauh inilah usahaku untuk kita. Aku akan sisakan usahaku untuk menghadapi orang tuaku nanti. Kau juga terus berusaha ya, semangat Rilla”.

“Terima kasih, Wan. Insya Allah”. 


Kisah ini hanya imajinasi seorang redrose belaka yang terinspirasi dari kisah 'hampir' nyata seorang sahabat. Menulis itu kadang merangkai masa depan, bukan? Menulis itu harapan. -Redrose

Senin, 30 Juni 2014

1000 Bintang untuk 2014


"Sampai kapan kau akan berada di sini? Sudah malam dan udara semakin dingin, cepat masuk". Suara seorang pria tetiba memaksaku yang sedang menatap langit untuk menengok ke arahnya.
"Sebentar lagi". Jawabku singkat, kemudian kembali menatap langit.
"Memangnya apa yang kau lakukan? Menghitung bintang?".
"Iya". Jawabku singkat lagi. Kali ini tanpa menoleh ke arahnya.
"Yang benar saja". Pria itu tertawa kecil. Aku tidak menggubrisnya. Aku tetap fokus pada langit. Kemudian pria itu melanjutkan ucapannya.
"Sudah terhitung semua?".
"Belum". Kini jawabanku dengan nada yang kecewa. Aku menunduk sejenak dan kembali menatap langit.
"Ah kau ini aneh-aneh saja sih. Mau kuberitahu sesuatu?". Pria yang semula berdiri jauh dariku kini mulai mendekatiku.
"Apa?". Aku menatap matanya penuh harap.
"Lihat itu!". Ia menunjuk ke satu bintang yang paling bersinar di langit.
"Itu?" Aku ikut menunjuk.
"Iya aku lihat, lalu mengapa?". Tanyaku kemudian.
"Yang paling bersinar itu bukan bintang, tapi planet. Planet Venus". Ia menjelaskan sambil terus menunjuk ke arah Venus tersebut.
"Benarkah?. Pantas saja yang itu berbeda".
"Payah, begitu saja kau tidak tahu". Pria itu tertawa kecil lagi. Manis.
"Sudahlah, kau tidur saja sana. Tak usah menertawaiku". Aku mulai kesal.
"Baik, baik, aku tidak akan mengganggumu. Hanya ingin memberitahu, mungkin kau bisa jadikan Venus itu sebagai patokan untuk menghitung bintang. Selamat mencoba!". Pria itu berjalan menajuhiku menuju sebuah pondok kecil tempat ia menginap.
"Siapa dia?". Kataku dalam hati, Aku sudah berlibur di tempat ini selama 1 minggu, namun aku baru melihatnya malam ini. Pondok tempat ia menginap pun bersebelahan denganku, namun aku benar-benar baru melihatnya malam ini. Dan apa itu tadi? aku berbicara dengan orang asing? Sulit dipercaya. Aku tidak pernah suka hal tersebut sebelumnya. Aku lebih suka menutup diri. Sekarang pun aku liburan sendirian.

***

"Selamat pagi nona bintang". Suara pria itu membuyarkan keheninganku yang sejak pukul 5 tadi aku pertahankan di teras pondok. Ah orang itu mengapa selalu mengganggu kegiatanku?.
"Apa? Nona bintang?". Tanyaku heran.
"Kenapa? Ada yang salah?". Pria itu menghampiriku. Ia menggunakan setelan kaos dan celana training dengan handuk putih kecil mengalung di lehernya. Nampaknya ia akan berlari pagi.
"Namaku bintang. Panggil saja bintang, tidak perlu pakai nona". Jawabku dengan nada yang agak ketus.
"Waah keren sekali. Nona bintang penyuka bintang ternyata namanya bintang". Kini ia tertawa kecil lagi. Ah manis. Harus berapa kali aku mengakuinya?
"Euuhh sudahlah kau terlalu berlebihan, siapa namamu?".
"Namaku Venus". Jawabnya sambil mengulurkan tangannya.
"Venus? Kau serius?" Aku tidak langsung menyambut uluran tangannya yang mengajak bersalaman.
"Iya, kenapa? Ada yang aneh?". Pria itu mengangkat alisnya.
"Tidak". Jawabku singkat sambil membalas uluran tangannya dan kini kami berjabat tangan sejenak.
"Mau ikut lari pagi?". Pria itu menawarkan.
"Tidak, terima kasih".
"Hmm baiklah, aku duluan ya". Pria itu berlari kecil menjauhiku menuju bukit perkebunan teh di depan pondok penginapan kami.

***

Udara malam ini lebih dingin dari kemarin. Aku sudah memakai jaket dua lapis, namun tetap saja rasanya dingin ini terlalu menusuk. Mungkin karena tadi sore hujan, entahlah. Namun langit hari ini begitu cerah. Bintang di langit lebih banyak dari yang kemarin. Aku tidak ingin melewatkan momen ini. Akhirnya aku pakasakan menahan rasa dingin untuk berbaring di teras pondok. Dari sini aku bisa melihat hamparan bintang di langit dengan jelas.
"Masih berusaha menghitung bintang?". Untuk ketiga kalinya suara pria itu membuyarkan keheninganku. Namun memang sejak tadi itulah yang kutunggu. Sejak pagi tadi aku belum melihatnya kembali ke pondok. Aku tidak mengerti, namun aku memang menunggunya sejak tadi. 
"Masih". Ah aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada akhirnya jawabanku selalu terdengar ketus.
"Mau kubantu?". Tanyanya sambil ikut berbaring sekitar satu meter dariku. Aku menoleh ke arahnya yang kini mulai fokus menatap langit sambil menunjuk bintang.
"Bagaimana caranya?". Tanyaku kemudian.
"Sudah kubilang, jadikan aku sebagai patokan". Ia terkekeh kecil sambil menoleh ke arahku. Haft manis. 
"Maksudmu Venus?". Ucapanku menghentikan tawa kecilnya itu.
"Iyap". Ia tidak menoleh ke arahku sekarang. Ia kembali fokus ke langit.
"Aku sudah mencobanya semalam. Tapi tetap tidak bisa". Kataku dengan nada menggerutu.
"Payah. Pelan-pelan saja, lama-lama kau akan bisa". 
"Ah kau ini, mana bisa aku menghitung bintang sebanyak itu di langit? Bahkan langit pun sangat luas!". Kataku dengan nada kesal sambil terbangun dari baringanku kemudian duduk mmenunduk.
"Nah itu kau tahu! Mengapa masih kau lakukan?". Ia ikut terduduk dan mulai menatapku.
"Karena.... Ah sudahlah kau pulang sana!". Tanpa terasa aku meneteskan air mata ketika ingin menjawab. Terlebih ia menatapku seolah berkata "Kau kenapa?". Tak ingin berlama-lama akhirnya aku masuk ke pondok dan meninggalkan dirinya yang kebingungan sendirian di teras pondokku. 

***

Seperti biasa pagi ini aku melakukan meditasi ringan mencari keheningan di teras pondok penginapanku. Matahari masih bewarna oranye tersembul cantik dari balik bukit perkebunan teh. Hmm masih jam 6 pagi. Kataku dalam hati. Aku berjalan menuju teras pondok dan duduk di bale kayu yang ada di sana. Kudapati sesuatu yang aneh tergeletak di sana. Secarik kertas dan sebuah bintang yang terbuat dari kertas bewarna merah hitam. Dengan segera aku meraihnya dan membaca yang tertulis di sana.
"Aku tidak tahu mengapa kau begitu menyukai bintang dan sangat ingin menghitungnya meskipun kau tau itu tidak mungkin. Namun semalam aku berhasil menghitungnya. Dan kau tau ada berapa? 1000. Yeah! Kau boleh percaya atau tidak, yang jelas aku menjadikan diriku sebagai patokannya. Maksudku Venus. Hehe.
Oiya yang aku berikan ini bukan bintang, tapi Venus. Jika kau masih tidak percaya dengan hasil hitunganku, jadikan ia sebagai patokan. Selamat mencoba!". 

Kurasakan tetesan air mata mulai jatuh dari mataku. Perlahan, perlahan, kemudian semakin banyak yang terjatuh. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menuju pondok penginapannya. Kuketuk pintu pondok. Sekali, dua kali, tidak ada jawaban. Ketiga kalinya terdengar seseorang membuka kunci pintu dari dalam. Ah akhirnya. Kataku dalam hati.
"Selamat pagi teh, ada apa?". Seorang pria setengah baya menyambutku di depan pintu.
"Eng..... ini Pak, yang semalem nginep di sini mana ya? Namanya Venus. Lagi keluar ya?".
"Siapa atuh yang teteh maksud? Dari seminggu yang lalu teh pondok ini mah ga ada yang ngisi". Jawab pria setengah baya itu dengan lembut.
"Iyakah? Bapak yakin?". Tanyaku dengan nada tak percaya
"Yakin atuh teh, lah bapak kan yang jaga pondok ini". 
"Tapi pak kemarin ada.... hmmm itu ada yang.....". Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku segera pamit pada pria setengah baya tersebut dan berjalan dengan langkah yang lemas menuju podok penginapanku. Siapa dia? Pertanyaan itu berulang kali kutanyakan pada diriku sendiri. Pikiranku sudah terlampau jauh hingga berpikir pria manis itu adalah hantu. Ah yang benar saja ada hantu sebaik itu? Pikiranku berkecamuk hingga malam datang. 

Aku berbaring di teras pondok sambil memegang secarik kertas dan bintang kertas dari Venus. Kulihat langit seperti biasa masih penuh dengan bintang. Aku terfokus pada satu bintang paling terang, Venus!
Kusejajrkan bintang kertas tersebut dengan Venus di langit. "Baiklah, aku kan coba menjadikanmu sebagai patokan, Venus". Kataku dalam hati. Aku menghitung ke arah kana, kemudian ke kiri, begitu seterusnya tana melepaskan pandanganku dari langit. Tak menghiraukan dingin yang semakin menusuk, tak menghiraukan hewan sekecil apapun yang berlalu di dekatku. Fokusku hanya satu, menghitung bintang. DAPAT! Kataku spontan dengan nada yang cukup kencang.
"Kau benar Venus, jumlahnya ada 1000". Teriakku di malam yang sepi itu. Aku tertawa terharu sambil meneteskan air mata. Kurasakan semilir angin dingin menerpa wajahku. 
"Aku benar kan?". Suara itu tetiba terdengar dekat di telingaku. 
"Venus?". Kataku sambil memberanikan diri menoleh ke arah datangnya suara. Kuliat kini Venus berbaring di sebelahku dengan jarak yang lebih dekat dari sebelumnya. 
"Iya kau benar" kataku sambil tersenyum manis padanya.
Kemudian aku kembali menatap langit penuh bintang. Aku tahu jauh dari ujung langit sana, bintang-bintang itu melihatku sedang berbaring sendirian di sini. Ya, aku yakin itu. 


THE END

Kamis, 26 Juni 2014

Tiga Hari dibulan Juni

Perjalanan ini dimulai dengan sebuah ide sederhana, namun menghasilkan pengalaman yang tidak sederhana. Berawal dari kepedulian terhadap sesama, kemudian melahirkan kenangan berharga.
Tidak ada maksud lain selain "membantu"
Tidak ada tujuan lain selain "berbagi"
Meskipun terselip tujuan "liburan" di sana, namun kami harap liburan ini menjadi liburan yang bermanfaat. Baik itu untuk kami, maupun untuk anak-anak di Nangerang, Lebak, Banten. 

Untuk dapat sampai di tahap ini bukanlah perjalanan yang singkat. Banyak perencanaan-perencanaan yang telah dibuat dan cukup membuat pusing kepala. Namun kami tidak menyerah, bahkan ketika kami tahu PKM-M kami tidak lolos didanai, kami memutar otak agar menemukan jalan lain. Ya jalan lain. Jika kami tidak didanai, bukan berarti kami tidak bisa mendanai kan? 
Akhirnya kami memutuskan untuk bergerak dengan kemampuan yang kami miliki sendiri. Alasannya hanya satu, "Dengan atau tanpa PKM, kita bisa merealisasikan niat kita".
Ya, satu kalimat yang membuat saya pribadi menjadi kembali semangat. 

Empat bulan berlalu setelah pengumuman PKM tersebut, kami merasa sudah memiliki cukup dana untuk pergi ke Nangerang. Pertanyaan baru muncul. 
"Apa yang akan kita lakukan di sana?"
"Apa yang akan kita berikan pada mereka?"
"Apakah dananya cukup?"
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya sudah terjawab sejak jauh-jauh hari, namun entah mengapa ketika mendekati hari-H, semuanya menjadi terlihat lebih "menakutkan". Hingga akhirnya H-7 kami merasa kebingungan dengan persiapan yang belum rampung 100%, terutama persoalan buku BSE yang akan kami sumbangkan. Hal itu adalah yang paling penting dalam kegiatan kami, namun sampai hari itu belum juga kami temukan jalan keluarnya. Kendalanya satu, yaitu dana. Saya pribadi sempat pesimis dan menawarkan pilihan kepada teman-teman, "Apakah ingin kita tunda niat kita hingga tahun depan sampai dana kita cukup?". Hmm tidak ada jawaban ya atau tidak dari mereka. Saya hanya melihat mereka terdiam dan malah berusaha meyakinkan bahwa kita bisa jalankan niat itu tahun ini. Ya kita bisa! Saya melihat mereka mengatakan hal itu dalam diam dan senyumnya. Baiklah tidak pantas saya pesimis bila didampingi orang-orang optimis seperti mereka. Sampai akhirnya keoptimisan itu berbuah manis, ada sumbangan dana lebih. Alhamdulillah. Akhirnya kami memutuskan untuk mempersiapkan keperluan lain yang bisa kami siapkan terlebih dahulu. Persoalan buku BSE bagaimana?? Ternyata masih bermasalah meskipun dana dirasa cukup. Dalam waktu yang tersisa hanya 4 hari, kami tidak mungkin bisa cetak buku sebanyak itu. Kemudian seseorang dari kami menawarkan untuk membeli buku BSE saja secara online. Kami tidak banyak komentar, melainkan langsung mencari situs yang menyediakan buku BSE. Dapat!! Dua link coba kami hubungi, namun sayangnya masih ada kendala lain. Link pertama lokasi terlalu jauh, link kedua distributor tidak sedang berada di Depok. Haft, ya Allah saya panik, okeh kami panik. Semua persiapan lain sudah selesai, kecuali buku tersebut. H-3, saya harus apa?? Dengan sisa-sisa keoptimisan yang ada, saya membuka laptop dan mulai mencari-cari situs yang menyediakan buku BSE. Wah banyak di situs penjualan online (saya tidak bisa sebutkan namanya ya hehe). Ah tapi lokasinya terlalu jauh, yaitu di Papua dan Kalimantan. Terlalu tidak mungkin bisa sampai di Depok dalam satu hari. Semua link yang tersedia saya klik, hingga akhirnya saya menemukan link yang cukup menarik. Hal pertama yang saya lihat adalah LOKASI. Yeah Jakarta Timur! Dekat! Dengan cepat saya kirim pesan ke CP yang tercantum. Alhamdulillah direspon dengan cepat. Dengan obrolan-obrolan singkat akhirnya kami DEAL. Alhamdulillah. "Masalah buku selesai teman-teman, bukunya akan tiba di rumah besok (H-1)" Itu yang saya katakan dalam hati sambil mengetik pesan ucapan terima kasih pada distributor buku. 

HARI PERTAMA - 20 Juni 2014

Persiapan selesai, tinggal berangkat. Hari yang kami tunggu-tunggu pun datang. Kami berangkat dari Depok pukul 7 pagi dengan perjuangan yang cukup heroik juga di dalam kereta CL pagi itu. Saya akui perjalanan menuju Nangerang saat itu tidak terlalu lancar. Banyak kendala yang kami temui, namun kami bisa menyelesaikan kendala-kendala tersebut dengan baik. Hingga akhirnya kami tiba di Nangerang. Alhamdulillah bisa menginjakan kaki untuk ketiga kalinya di tempat ini. Tempat yang selama ini menjadi objek yang selalu dirindukan.


Setibanya di sana, kami disambut oleh Kang Wawan yaitu penanggung jawab dari MI Mathlaul Anwar di Nangerang. Kang Wawan memberikan kami tempat penginapan di daerah Gejrog, yaitu di dekat rumahnya. Sebuah tempat yang sangat menyenangkan suasananya. Dikelilingi hamparan sawah luas dan udara yang sangat sejuk. Ah, saya merindukan suasana subuh di sana. Sangat rindu. 



Setibanya di tempat penginapan, kami berbincang-bincang dengan Kang Wawan menjelaskan maksud dari kedatangan kami. Kang Wawan mengapresiasi niat kami. Beliau kemudian menceritakan kondisi MI Mathlaul Anwar yang akan segera dibangun secara permanen berkat bantuan PNPM. Alhamdulillah. Sebagai informasi, MI Mathlaul Anwar adalah satu-satunya MI yang ada di wilayah Nangerang. Kondisi bangunannya kurang layak untuk kegiatan belajar mengajar, yakni hanya terdiri dari dua kelas dan berdindingkan bilik. Maka dari itu, ketika kami mendengar kabar bahwa MI tersebut akan dibangun secara permanen, kami sangat bahagia. 


Kang Wawan juga menjelaskan bahwa kedatangan kami bertepatan dengan akan diselenggarakannya acara kenaikan kelas dan pengumuman kelulusan bagi kelas 6. Dalam acara tersebut semua siswa akan berpidato, setiap kelas akan tampil di atas panggung, yaitu menari dan paduan suara. Kang Wawan secara khusus meminta bantuan kami untuk membantu membimbing siswa-siswa yang akan tampil tersebut. Melatih nyanyi? Melatih tari? Bisalah ya, kami punya ahlinya di sini. hehe. Kami pun mengiyakan dan tidak sabar untuk segera bertemu siswa-siswi esok hari.

HARI KEDUA - 21 Juni 2014

Karena tidak ingin mengganggu kegiatan di MI terlalu banyak, akhirnya ada beberapa susunan acara dari kami yang diubah. Awalnya kami ingin mengajak siswa-siswi untuk bersih-bersih MI, menata ruang kelas, membuat herbarium sederhana, dan juga bermain origami. Namun demi kepentingan bersama, kami utamakan kegiatan menjadi kegiatan pelatihan pentas untuk hari Minggu dan bermain origami. Namun hal itu tidak sedikitpun mengurangi kebahagiaan kami. Kami sangat sangat sangat bahagia meskipun konsep acara berubah. Karena saat bersama siswa-siswi, rasanya sangat bahagia. Apalagi ketika melihat mereka tersenyum dengan mainan origami mereka. Kami kenalkan mereka pada si Emon, sang kodok kertas yang bisa bicara. Kami juga kenalkan mereka pada bintang, senjata ninja yang terbuat dari kertas. Kami kenalkan mereka pada burung-burung kertas yang cantik dan juga kelinci kertas yang imut. Mereka sangat bahagia dengan semua itu. Sambil bermain, beberapa dari mereka ada yang latihan tari dan paduan suara bersama kami. Mereka antusias untuk latihan, dan terlihat mereka lebih bersemangat sekarang. Kang Wawan mengatakan suara mereka masih berantakan. Iya, memang benar. Tapi entah mengapa bagi saya pribadi, mereka semua hebat. Terlepas dari suaranya yang berantakan itu, wajah-wajah semangat mereka membuat saya menyukai penampilan mereka. Seusai latihan, beberapa anak mengajak kami bermain binteng. Sebuah permainan yang biasa dikenal dengan permeinan Bentengan. Mereka semangat sekali berlari ke sana kemari dengan cepat tanpa kenal lelah. Ada juga yang bermain ular naga panjangnya.
Sungguh pemandangan yang menyenangkan.






HARI KETIGA - 22 Juni 2014

Hari perayaan kenaikan kelas pun datang. Kami bahagia sekaligus sedih. Karena hari ini juga kami harus pulang. Namun sebelum pulang kami harus menghadiri acara kenaikan kelas tersebut, kami tidak ingin melewati momen membanggakan itu bersama siswa-siswi MI Mathlaul Anwar. Pagi-pagi kami bersiap dengan barang bawaan kami yang akan kami sumbangkan dan dengan barang-barang kami yang akan kami bawa pulang. Sebelum berangkat ke MI, kami pamit pada ibunya Kang Wawan, mengucapkan terimakasih atas penginapan dan makanan lezat yang selalu hadir tepat waktu saat jam sarapan, makan siang dan makan malam. Hidangan sederhana yang membuat kami berenam kumpul bersama di satu tempat, bersenda gurau, dan menumpahkan keluh kesah jika ada. Ingin tahu suasananya? Saya pribadi tidak mengabadikan momen tersebut dalam sebuah foto, tapi diabadikan di sini (hati dan pikiran) Eaaaaaaaa.

Seusai pamit, kami berangkat menuju MI. Betapa terkejutnya kami ketika tiba di sana, ternyata kami disambut secara formal oleh Kang Wawan. Kami disediakan meja khusus bersanding dengan petinggi-petinggi Desa, MI dan juga guru-guru. Sungguh kesempatan yang sangat berharga dan tidak diduga-duga. 



Acara pun dimulai dengan beberapa sambutan dan penampilan siswa-siswi yang paduan suara. Siswa-siswi tampil dengan baik di atas panggung sana. Di tengah acara Kang Wawan sudah menyisipkan acara khusus untuk kami, yaitu simbolisasi pemberian buku dan alat peraga sekolah dari kami. Kami juga memberikan apresiasi kepada Asep sebagai siswa kelas 6 terbaik di MI.



Satu lagi kejutan yang tidak diduga, kami mendapatkan kenang-kenangan dari Kepala Sekolah MI Mathlaul Anwar, yaitu sebuah kain khas Suku Baduy. Masing-masing dari kami mendapatan satu. Alhamdulillah, terima kasih. Ini merupakan kejutan yang sangat membahagiakan.


Dan inilah potret-potret lain yang terjadi di sana dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin jika boleh satu kata, indah :D










Terima kasih kepada Aji Wicaksono, An Nisa Nurul Suci, Dwi Fauziyah Putri, Rachmat Hidayanto, dan Septy Maulidyawati  yang telah menamani perjalanan tiga hari di bulan Juni ini. Meskipun perjalanan panjang dan melelahkan, saya yakin kalian merasa sangat terbayar dengan kebahagiaan yang kita dapatkan di Nangerang. Tertawa bersama anak-anak, bermain, berbagi keceriaan bersama mereka. Memang tidak semua momen direkam dalam gambar, namun insyaAllah terekam rapi di sini (hati dan pikiran). Aamiin :)


Pada akhirnya cerita ini tidak bertujuan apapun selain berbagi cerita yang semoga dapat menginspirasi orang lain. Membantu membuka mata bahwa jauh di pelosok Indonesia sana masih ada pejuang-pejuang cilik Bangsa yang masih semangat untuk sekolah. Nangerang hanya satu daerah kecil dari banyaknya daerah pelosok lainnya. Nangerang ini hanya contoh yang diharapkan dapat menginspirasi kita semua untuk membantu daerah-daerah lainnya. 
Mereka memang jauh, namun mereka juga butuh perhatian.
Jika bukan kita para mahasiswa sebagai aset Bangsa, siapa lagi?
Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Tidak perlu materi besar untuk mulai membantu.
Kami pun hanya bermain dan berbagi kebahagiaan di sana serta menyumbangkan sesuatu yang tidak dalam jumlah banyak, namun hal itu sangat berarti bagi mereka, anak-anak desa yang penuh semangat. 

Kalimat pertama yang saya dengar dari seorang anak ketika menginjakkan kaki di Nangerang : "Kakak Mahasiswa". *Sambil tersenyum*
Terharu. Hanya itu yang bisa saya ungkapkan.

Selamat kepada 5 orang siswa-siswi yang telah lulus dari MI Mathlaul Anwar tahun ini. Semoga kalian bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Buktikan pada dunia bahwa kalian punya semangat belajar yang tinggi. Buktikan pada dunia bahwa kalian juga bisa menjadi orang yang sukses. 
Karena jarak bukanlah penghalang, yang terpenting adalah niat. Ada niat, pasti ada jalan. Semangaaaaatt :D 




Jumat, 21 Februari 2014

Cinta #Jilid1

Terinspirasi dari sebuah obrolan santai nan hangat bersama teman-teman dan kakak mentor hari ini mengenai cinta. 
Apa itu cinta? 
Seorang teman yang berkacamata mengatakan bahwa "cinta itu dekat, ada di mana-mana". Iya cinta memang dekat. Lalu apa itu cinta? Teman lain yang berjilbab biru menjawab, "cinta itu mendekatkan kita pada Allah", kemudian aku menambahkan berdasarkan kata seorang teman bahwa "jika cinta itu menjauhkan kita dari Allah, itu tidak bisa disebut cinta, melainkan nafsu". 
Tiga jawaban yang membuatku mengangguk-angguk tanda setuju. Tapi cukupkah cinta didefinisikan seperti itu? Rasanya tidak. Cinta, cinta, dan cinta. Apa itu cinta? Di kepala seorang mahasiswa yang hampir setiap hari bercanda mengenai cinta, rasanya butuh literatur lebih untuk mengetahui arti sebenarnya dari cinta. Di tengah perdebatan yang diiringi senyuman-senyuman "mencurigakan"  dari kami itu, seseorang membantu meluruskan. Yap kakak mentor. Yeay. Berdasarkan buku yang beliau baca, (re: Serial Cinta) cinta adalah memberi. Hemm hanya satu kata, yaitu MEMBERI. Aku masih bingung dengan kata memberi yang didefinisikan sebagai cinta tersebut. Tapi dibandingkan dengan definisi yang sebelumnya, satu kata tersebut sudah bisa mewakili jawaban atas pertanyaan apa itu cinta. Sampai akhirnya dikatakan "Cinta adalah kata tanpa benda". Aku berpikir sejenak, "ah benar juga, aku tidak pernah melihat wujud cinta". Mungkin jika aku ibaratkan cinta itu seperti angin, bisa dibayangkan bahwa kita bisa merasakan hembusan angin tapi tidak bisa melihat wujud angin. Kita bisa merasakan kehadiran angin dengan melihat pohon-pohon yang "bergerak" karena hembusannya. Begitukah cinta? Bisakah aku merasakan kehadiran cinta dengan melihat sesuatu yang "bergerak" karena hembusannya? Apa yang harus kulihat untuk bisa mengetahui keberadaan cinta? Entahlah, mari kembali ke definisi cinta adalah memberi. Cinta adalah memberi, dan mencintai adalah sebuah keputusan. Artinya, para pecinta sejati tidak suka berjani, tapi mereka akan menyusun rencana untuk memberi. Karena orang yang memutuskan untuk mencintai artinya siap untuk memberi. Ah hembusan angin di siang yang sejuk diiringi kalimat-kalimat itu membuat kami (lagi-lagi) tersenyum penuh arti sekaligus masih penuh tanya. Jadi, cinta itu apa?
Kebingungan itu berkurang ketika dikatakan bahwa cinta itu ada tiga jenis. Apa saja?
Yang pertama adalah CINTA MISI, artinya cinta yang bertujuan untuk tujuan yang lebih besar, dalam hal ini membantu orang lain. Cinta ini hanya ingin memberi tanpa harap kembali. Dicontohkan jika ada seorang teman yang mengalami kesulitan dalam belajar, kita memiliki keinginan untuk membantunya agar ia bisa menjadi lebih baik. Yeay aku mengerti yang ini. Cinta yang kedua adalah CINTA MUSLAHAT. Jika dipersingkat, cinta jenis ini adalah cinta yang ada untuk kepentingan bersama, memberikan keuntungan untuk banyak orang. Dicontohkan seorang pegawai bank yang memberikan cintanya kepada customer dengan cara tersenyum ramah dan memberikan pelayanan sepenuh hati agar image perusahaannya baik dan customer merasa nyaman. (Jadi kalo disenyumin sama satpam BSM di MIPA jangan pada ke-ge-eran yaaa haha). Hmm cinta yang ini juga aku mulai mengerti. Terakhir, jenis cinta yang ketiga adalah CINTA JIWA. Cinta ini yang definisinya agak sulit. Dikatakan bahwa cinta ini membutuhkan "sinyal-sinyal" antar dua orang, dua jiwa. Artinya memiliki chemistry. Hemm sepertinya untuk cinta yang satu ini tidak perlu dicontohkan. Senyuman kami yang (lagi-lagi) penuh arti rasanya sudah menunjukkan bahwa kami paham. Jadi, cinta itu ada tiga jenis. Wah aku baru tahu. Dan selanjutnya aku akan belajar "memilah-milah" cinta. Eaaaa haha.
Sudah, sudah... Sepertinya sejak tadi yang kita bahas adalah cinta kepada manusia. Bagaimana jika kita beralih ke Cinta terhadap Allah sang pemilik cinta? Kadang kita terlalu sibuk memikirkan cinta kita terhadap orang lain, jiwa lain yang membuat kita jatuh cinta. Tapi kita lupa untuk mencintai Zat yang memiliki cinta tersebut, yaitu Allah. Sebuah teguran yang halus namun mengena di hati. Ah kemana saja aku selama ini? Coba saja seberapa sering kita bercerita pada sahabat bahwa "aku cinta dia", tapi pernahkah kita bercerita bahwa "aku cinta Allah"? Aku tahu, terkadang cinta itu tidak perlu diucapkan. Tapi yakinkah kita telah melakukan perbuatan yang menandakan kecintaan kita kepada Allah? Aku kembali merenung di malam yang tanpa bintang ini. Semudah itu melupakan cinta kepada Allah, padahal cinta yang hakiki adalah cinta kepada Allah. Bahkan semua hal yang kita cintai itu bukankah harus berdasarkan cinta karena Allah?
Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang semakin banyak ditanyakan, semakin aku menemukan jawaban yang membuatku menyimpulkan bahwa aku masih sangat tidak baik dalam hal ini. Sedih, takut, merasa berdosa. PASTI. Terimakasih masih memberiku kesempatan untuk menyadari kesalahan itu. Insya Allah tidak hanya disadari, tapi juga diperbaiki. Aamiin :)


Sebelum perbincangan siang itu berakhir, diceritakan juga mengenai The Power of Love. Sebuah cerita yang menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta.Maaf sebelumnya jika cerita yang kutulis tidak terlalu sama dengan cerita aslinya (maklum hubungannya dengan daya ingat). Intinya begini, dikisahkan ada seorang  Putra Mahkota yang malas dan tidak ingin menjadi seorang raja. Bahkan dia tidak memiliki jiwa seorang raja. Sampai akhirnya sang ayah (Raja) khawatir dengan putranya itu. Kemudian sang raja memiliki ide untuk  mengundang beberapa perempuan ke istana dengan harapan ada salah satu perempuan yang dicintai oleh anaknya. Berhasil, ternyata Putra Mahkota mencintai salah satu dari mereka. Tapi ada skenario cantik dibalik semua ini. Sang Raja mengatakan pada perempuan yang terpilih tersebut bahwa jika Putra Mahkota menyatakan cinta kepadanya, katakan padanya seperti ini (kurang lebih begini yang aku ingat) "Aku tidak pantas untukmu. Aku hanya pantas untuk seorang raja".
Kalimat tersebut ternyata berdampak sangat besar pada Putra Mahkota. Ia menjadi sosok yang rajin. Ia bertekad keras untuk menjadi seorang raja. Bahkan kini ia memiliki jiwa-jiwa seorang raja. Hingga akhirnya ia menjadi seorang raja. Bisa dilihat betapa ajaibnya sesuatu bernama cinta itu. Cinta bisa mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dari cerita tersebut, cinta bisa mengubah seseorang menjadi lebih baik.

Kisah ini mengingatkanku kepada ucapanku beberapa waktu yang lalu. Aku pernah mengatakan pada sesorang bahwa "Aku tidak akan mengubahmu, aku hanya akan membantumu menemukan alasan agar kau mau berubah menjadi lebih baik". Dibalik kalimat itu sebenarnya tersirat sebuah keinginan yang hari ini akan kuubah menjadi tersurat.
"Aku tidak punya hak atas dirimu. Yang harus mengubah dirimu adalah kau sendiri yang memiliki jiwa dan raga itu. Aku hanya akan membantumu menemukan alasan untuk berubah. Kau ingin tahu apa alasan itu? Alasan itu adalah cinta. Kuharap suatu hari nanti ada cinta yang bisa membuatmu berubah menjadi lebih baik. Hingga hari ini aku bertekad untuk membantumu menemukan alasan itu dan berharap kau bisa merasakan kehadiran cinta yang akan membuatmu berubah".

Cinta, cinta, cinta.
Cinta itu fitrah
Cinta bisa mengubah segalanya
Cinta tidak pernah salah
Tapi hati-hati terhadap cinta yang membutakan
Dan mulailah lebih mencintai Allah Sang pemilik cinta yang sesungguhnya



Tulisan kali ini berdasarkan cerita yang dikutip dari buku berjudul"Serial Cinta" karangan Bapak Anis Mata


  Sampai bertemu di Cinta #Jilid2 pekan depan. Insya Allah :)





Senin, 20 Januari 2014

Smile VS Tears

"Sedang apa kau di sana?". Tanya Sora tiba-tiba mengagetkanku yang tengah asyik di depan laptopnya.
"Ah tidak, tidak sedang apa-apa". Jawabku santai sambil masih terus fokus ke layar laptop.
"Sudah jangan fokus di depan laptop terus, bosan aku melihatnya. Lagipula sejak kapan kau serius begitu dengan laptopku? Ayo ikut denganku". Dengan cepat Sora menarik tanganku tanpa memberikan kesempatan untuk mematikan laptop.
"Eeehhh kita mau ke mana?". 
Sora tidak menjawab sama sekali. Ia terus saja menarik tanganku menuju ke luar rumahnya. Aku pun tidak ingin bertanya lagi. Kuikuti saja kemana langkahnya pergi.
"Lihat!!". Sora menunjuk ke arah langit. Aku mengernyitkan dahi dan mengedipkan mata berkali-kali berusaha melihat apa yang ditunjuk Sora dengan jelas.
"Eng.........pelangi??" Tanyaku dengan nada heran
"Iya, cantik kan??". Sora terlihat sangat riang.
"Hmm biasa saja". Jawabku singkat.
"Kau......." Tiba-tiba ekspresi Sora berubah.
"Kenapa kau sora?". Tanyaku heran lagi
"Rama, kau........". Sora kembali tidak bisa melanjutkan kata-katanya dan sekarang ia menangis. Aku kebingungan tapi tetap tidak bisa berkata apa-apa. Sora menangis sambil terus menatapku, seolah air mata itu jatuh karenaku. Hmmm sepertinya itu memang benar. Tapi kenapa?
"Sora ada apa denganmu?". Tanyaku sekali lagi.
"Pulang sana". Dengan cepat Sora kembali masuk ke rumahnya dan segera menutup pintu. Aku hanya terpaku melihat tingkahnya yang aneh itu. Tanpa banyak bicara lagi aku pun segera pergi.


***

Tiga hari berselang setelah kejadian itu Sora tidak pernah ada kabar. Banyak pesan telah kukirimkan padanya namun tak kunjung dibalas. Semarah itukah Sora? Hanya karena pelangi? Ah kekanak-kanakan sekali. Aku sudah mengenalnya selama 5 tahun. Namun sikap aneh seperti ini baru muncul sekarang. Pagi ini tiba-tiba pesanku dibalas olehnya, tapi isinya....... "Kapan kau akan mulai tertarik dengan semua ceritaku?".
Hee??? Apa lagi ini? Ada apa dengan Sora? aaaaarrggghhh 

"Sora, sepertinya kita harus bicara, temui aku di kafe biasa jam 7 malam nanti" *Sent*


***

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Aku masih duduk di tempat yang kujanjikan pada Sora sebelumnya. Namun ia tak kunjung datang. Ah gadis itu menyebalkan sekali. Umpatku dalam hati. Waktu terus berjalan. Kini jam tanganku menunjukkan pukul 10 malam. Sora belum juga datang. Aku kesal, hingga akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahku.
"Hanya 3 jam batas kesabaranmu?".
Awalnya aku akan marah-marah ketika ia datang karena terlambat. Namun ucapannya itu membuatku mengurungkan niat untuk marah.
"Sora, akhirnya kau datang". Aku berusaha tersenyum.
"Hanya 3 jam batas kesabaranmu?". 
Ah ia mengulangi pertanyaan itu lagi. Apa maksudnya? Lalu ada apa dengan ekspresi wajahnya itu? Menyeramkan sekali. Sepertinya ia sangat marah padaku? Tapi kenapa???? 
"Batas kesabaran? Apa maksudmu Sora?". Kuberanikan bertanya sambil mempersilakannya duduk. 
"Tidak usah, aku pulang saja". Tanpa sempat aku menanggapi ucapannya, ia segera berjalan keluar dari kafe.
"Kau ini kenapa Sora?? Jangan seperti ini??!!" Aku berteriak sejadi-jadinya. Kini semua orang yang ada di kafe tersebut melihat ke arahku. Ah bodoh. Mereka semua menatapku dengan heran. Baiklah aku tidak peduli, lagipula siapa mereka? Sekarang Sora lebih penting dari apapun bagiku. Aku segera mengejar Sora. Kulihat di tempat parkir, ia tidak ada. Kemana dia? Hemm aku baru ingat mobil Sora sedang di bengkel. Aku segera berlari ke tepi jalan, berharap masih ada Sora menunggu taksi di sana. Namun tetap tidak ada. Kucoba hubungi teleponnya, tidak aktif. Aaarrggghhh!!!!

***

Pagi yang menyakitkan untuk jiwa yang sedang kebingungan sepertiku. Hujan sejak pagi tadi enggan berhenti. Matahari pun seolah malas untuk keluar dari sarangnya. Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 10 pagi, namun suasananya seperti jam 6 pagi. Eeeuuuhhh -,-
Aku kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. Tidak ada jadwal kuliah di Hari Minggu, yaiyalah. senangnya..... Namun tiba-tiba suara dering telepon menghancurkan kebahagiaanku untuk kembali tidur.
"Hallo". Jawabku ketus
"Ah iya tante? Di mana? Iya aku ke sana".
Ada apa lagi ini?? Batinku

***

Aku terkejut bukan main mendengar kabar dari Tante Maya, yang tak lain adalah Ibu dari Sora. Ia mengatakan Sora dirawat di rumah sakit. Sungguh ini kali pertama aku melihat Sora terbaring lemah di tempat tidur. Selama ini ia selalu ceria dan tidak pernah terlihat lemah. Tubuhnya seolah memiliki cadangan energi yang banyak. Namun yang kulihat hari ini sangat berbeda. Selang infus terpasang di kedua tangannya. Wajah Sora begitu pucat. Kupandangi dia yang sedang tertidur lelap dari samping tempat tidur sambil berharap ia akan terbangun. Setelah beberapa menit tidak ada perubahan, ia tetap tertidur. Hingga akhirnya Tante Maya memangajakku untuk bicara di taman rumah sakit.
“Sora tidak pernah menceritakan hal ini padamu?”. Tanya tante maya yang kini duduk di sampingku.
“Cerita tentang apa?”. Aku heran
“Tentang penyakitnya”. Tante Maya kemudian tertunduk
“Penyakit? Penyakit apa? Bahkan Sora jarang sekali mengeluh sakit padaku”.
“Hemm sebenarnya Sora mengidap penyakit Leukimia. Dan ia telah mengetahuinya sejak setahun yang lalu. Saat itu penyakitnya masih stadium satu. Tapi sekarang……”. Tante Maya tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kini ia hanya bisa menangis. Aku yang baru mengetahui hal itu hanya bisa terpaku. Aku pun tak bisa berkata apa-apa. Bagaimana bisa anak seceria itu menjadi sarang penyakit mematikan semisal Leukimia? Ah Sora, mengapa kau tidak pernah mengatakan hal ini padaku?

***

“Kau sudah bangun Sora?”. Tanyaku padanya ketika memasuki kamar inapnya di rumah sakit itu.
“Untuk apa kau ke sini?”. Sora terlihat tidak senang dengan kehadiranku.
“Aku…. Aku ingin menjengukmu. Tidak bolehkah?”. Aku masih berusaha bersikap biasa-biasa saja seolah kami tidak pernah bertengkar sebelumnya.
“Sejak kapan kau peduli denganku?”. Sora mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia enggan menatapku.
“Sora, jangan seperti ini. Jika ada yang ingin kau katakan, katakanlah. Jangan marah padaku tanpa alasan yang jelas”.
“Tanpa alasan yang jelas katamu? Ah bahkan sepertinya kau masih belum menyadarinya”. Kini Sora menatapku. Namun matanya meneteskan air mata.
“Menyadari apa?”.
“Sudahlah, tinggalkan aku. Aku sedang ingin sendiri”. Sora memejamkan matanya berpura-pura ingin tidur agar aku pergi. Namun aku tidak akan pergi sebelum semuanya jelas.
“Emmm Sora, menganai penyakitmu itu. Mengapa kau tidak memberitahukannya padaku?”. Kulihat Sora kembali membuka matanya. Namun ia tidak bicara. Ia hanya menatapku sambil menangis. Wajah pucat ditambah tangisannya itu membuat aku merasa ingin memeluknya. Gadis yang biasanya ceria itu sangat terlihat berbeda sekarang. Ada apa denganmu Sora? Batinku.
“Darimana kau tahu soal penyakitku?”.
“Dari Ibumu”.
“Ah aku sudah menduganya”.
“Apa maksudmu?”.
“Sebenarnya aku sudah berusaha memberitahumu sejak satu tahun yang lalu. Saat pesta perayaan tahun baru”.
“Lalu mengapa tidak kau beritahu?”.
“Sudah. Tapi kau tidak menyadarinya. Bahkan setahun berlalu, kau masih tidak menyadarinya”. Kini Sora menangis lagi.
“Apa maksudmu Sora?”.

***
Satu tahun yang lalu…………………

“Kapan kau akan mematikan laptopmu? Bergabunglah bersama kami, ini tahun baru. Tidak bisakah kau luangkan waktu untuk keluargamu sebentar saja?”.  Sora menghampiriku sambil membawa beberapa jagung manis yang sepertinya akan ia bakar. Tahun ini untuk pertama kalinya Sora merayakan tahun baru bersama keluargaku. Lebih tepatnya keluarga Sora dengan keluargaku.
“Iya sebentar lagi”.
“Ah dasar keras kepala”.
“Kau duluan saja Sora”.
“hemm oiya, ini”. Sora menyerahkan flasdisk miliknya kepadaku”.
“Apa ini?”. Tanyaku heran
Flasdisk”.
“Iya tahu, maksudku….”.
“Ada satu file di sana untuk kau buka. Tapi jangan dibuka malam ini, besok saja”.
“File apa? Waaah kau memberiku gambar-gambar aneh yaa??” Tanyaku sambil tersenyum jail.

“Nyeh, jangan samakan aku denganmu. Sudah copy saja dulu ke laptopmu, besok kau akan mengetahuinya”.
“Ah merepotkan sekali kau ini. Tidakkah kau lihat aku sedang sibuk dengan urusanku”.
“Hih yasudah tidak usah”. Sora menarik kembali flasdisk miliknya dari tanganku
“Begitu saja marah, kemarikan flasdisk-nya”.
“Kuharap ini bisa mengubah segalanya”. Kata Sora sambil menyerahkan kembali flasdisk-nya padaku.
“Eeeeeeuuhh kata-katamu mengerikan sekali”.
“Nyeh, kau ini. Selalu saja bercanda”.
***
File itu………”. Gumamku
“Kau sudah ingat?”.
“Ya aku ingat”.
“Kau sudah membukanya?”.
“Emmmm belum, maaf aku lupa”.
“Ah aku sudah menduganya”.
“Aku kan buka sekarang”. Aku mengeluarkan laptop dari dalam tasku. Namun Suara Sora menghentikan gerak tanganku untuk menyalakan laptop.
“Sudah terlambat. Itu untuk satu tahun yang lalu, bukan sekarang. Tidak lama lagi aku akan mati. Jadi kurasa file itu sudah tidak berguna”.
“Sora kau tidak bisa bicara seperti itu. Mati? Yang benar saja. Kau akan hidup lebih lama lagi”.
“Jangan perlakukan aku seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa seperti itu. Aku paham betul penyakit apa yang sedang aku idap sekarang”.
“Tapi……”
“Pergilah”. Sora kembali memasang wajah sinisnya. Namun aku tidak menghiraukan perintahnya. Aku tetap menyalakan laptop-ku.
“Percuma, kumohon pergilah” Kata Sora dengan nada dingin
“Tapi aku…..”
“Pergiii!!!!”. Ini pertama kalinya Sora berteriak marah padaku. Dahulu ia tidak pernah bersikap seperti ini. Aku selalu membuatnya kesal, namun ia masih menghadapinya dengan senyuman. Sora yang kulihat sekarang sangatlah berbeda. Aku tidak berani membantahnya lagi, aku pun segera pergi meninggalkan Sora sendirian di sana.

 ***

Setibanya di rumah aku langsung mencari file yang setahun lalu pernah aku pindahkan ke laptopku. Ah sial aku lupa memindahkannya ke folder apa. Bahkan aku tidak ingat nama file itu apa. Kubuka setiap file yang terasa asing bagiku. Tidak ada, bukan ini. Lalu yang mana??? Tiba-tiba teringat kata-kata Sora saat itu "Kuharap ini bisa mengubah segalanya". Hemm mungkinkah?? Perlahan kuketik kalimat itu di kotak search. Loading beberapa saat dan, benar. Sora, kau ini memang aneh. Masa iya nama file sepanjang itu. Aku tertawa kecil sebentar. Kemudian kubuka file itu. Sempat dibuat kesal karena not responding. Setelah beberapa saat akhirnya file itu terbuka. Sekilas lebih terlihat seperti surat, tak ada judul di sana. Surat??


Selamat tahun baru 2017 Rama.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, aku hanya akan mengatakan itu di malam tahun baru. Namun sepertinya tahun ini akan sedikit berbeda. Sebelumnya terima kasih telah mengundang keluargaku untuk merayakan tahun baru bersama keluargamu. Aku tidak menyangka persahabatan kita akan sejauh ini. 
Persahabatan, hemmm
Tidak terasa ya sudah lima tahun kita selalu bersama. Entah sudah berapa banyak cerita yang kudengar darimu, berapa banyak lagu yang kudengar darimu, dan entah berapa banyak aku menasehatimu. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Itu sangatlah lama, ya sangat lama. Sangat lama untuk memahami satu sama lain. Tapi, entah mengapa aku merasa hingga detik ini kau masih belum bisa memahamiku. Entahlah. 
Percaya atau tidak, aku pernah berniat untuk pergi jauh darimu. Dan itu tidak hanya sekali. Sudah berkali-kali aku ingin menjauh, namun berkali-kali juga aku kembali. Alasanku kembali hanya satu, aku peduli padamu. Entah sejak kapan aku menjadi orang yang sangat peduli. Aku peduli dengan semua ceritamu, peduli dengan kisah hidupmu, peduli dengan keseharianmu, dan peduli dengan apapun yang kau lakukan. Itulah alasanku untuk kembali. Lalu apa alasanku untuk menjauh? Kurasa sudah saatnya aku mengatakannya padamu. 
Begini, kita dipertemukan dengan karakter yang sangat jauh berbeda namun cocok. Maksudnya apa? Maksudnya adalah, aku merupakan pendengar yang baik dan kau pencerita yang baik. Alhasil aku selalu bisa menjadi pendengar yang baik untuk semua ceritamu. Aku senang, aku bahagia ada seseorang yang percaya menceritakan segala hal kepadaku. Namun, semakin lama aku semakin merasakan ada "ketidakadilan" di sini. Jika aku selalu mendengar ceritamu, kapan kau akan mulai mendengar ceritaku? Aku selalu berusaha memahami duniamu, tapi kapan kau akan berusaha memahami duniaku? Setiap kali aku bercerita, selalu saja tanggapan "melenceng" yang aku dapatkan, bahkan terkesan kau tidak tertarik. Namun aku berusaha sabar. Sempat aku berpikir, mungkin beginilah cara hidup persahabatan kita. Aku tidak bisa mengubahnya. Jika aku memaksa, persahabatan itu akan mati. Maka dari itu aku selalu menahan diri untuk marah padamu, atau untuk sekedar mengatakan "Cobalah sedikit peduli dengan kehidupanku". Semua itu tidak aku lakukan karena aku tidak ingin persahabatan ini mati.
Lalu, mengapa hari ini aku mengatakan semua itu padamu? 
Hemm aku rasa tak lama lagi persahabatan kita juga akan mati. Satu minggu yang lalu aku divonis menderita penyakit Leukimia. Hidupku sudah tidak lama lagi, Rama. Tidak lama lagi. Mungkin setahun, atau dua tahun? Hemm atau mungkin tiga tahun? Entahlah. Sebenarnya masih ada kesempatan untuk sembuh dengan jalan operasi, namun kemungkinannya sangat kecil. Maaf aku bukannya pesimis, tapi seharusnya kau tahu bahwa aku adalah orang yang tidak bisa membedakan antara pesimis, optimis, dan realistis.
Aku harap ceritaku yang panjang lebar ini bisa membuat matamu sedikit terbuka atau setidaknya menyadari bahwa aku juga ingin didengar, aku ingin duniaku juga menarik untukmu, aku ingin...... ah sudahlah, lama kelamaan ini terdengar PAMRIH. Bukan imbalan seperti yang kuinginkan dari persahabatan, tapi...... bukankah memang itu yang harus kau lakukan di dalam persahabatan? Tidakkah kau merasa persahabatan kita ini persahabatan satu arah??? Ah bahkan saat menulis kalimat tersebut, terlintas dalam benakku untuk menjauh lagi darimu. Namun ada sesuatu dalam hatiku yang tiba-tiba mengatakan "Jangan". Kutanyakan mengapa? Kau masih peduli dengannya yang tidak memedulikanmu? Kemudian Ia menjawab "Tidak, aku tidak peduli padanya. Sekarang aku menyayanginya". 

Aaaaarrggghhhh Tidak, aku benar-benar tidak bisa pergi darimu. Karena rasa sayang ini telah melebihi rasa benciku padamu. Mungkin penyakit ini adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku benar-benar pergi darimu. Kuharap dengan sisa waktu yang kupunya, kau bisa mengubah sikapmu sedikiiiiiitt saja untukku. Hanya itu yang aku inginkan sekarang, hanya itu. 

Kuharap ini bisa mengubah segalanya................................................

Dari orang yang selalu menutup telinga ketika orang lain menggunjingmu,
Sora Alia


Aku tidak bisa menahan air mataku. Kini aku hanya menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Tanpa pikir panjang aku segera menuju ke rumah sakit. Langkahku terburu-buru namun gontai. Dengan terengah-engah aku terus berlari di koridor rumah sakit untuk bisa sampai di kamar Sora dengan cepat. Setibanya di depan pintu, aku berhenti sejenak untuk mengatur napas. Setelah kurasa membaik, kubuka pintu kamar Sora perlahan. Hemmm Sora tidak sendirian di sana. Ada seorang pria yang sepertinya kukenal sedang menyuapinya bubur. 
Angga? sedang apa dia di sini? Batinku. Angga adalah teman kami satu fakultas. Setahuku ia memang cukup dekat dengan Sora, tapi melihatnya menyuapi Sora makan bubur itu membuatku kesal. Aku tetap masuk menghampiri Sora. Keduanya terlihat biasa saja dengan kehadiranku.
"Sora, aku ingin bicara padamu". Kataku perlahan
"Bicara apa lagi?". Nada bicara Sora masih tidak senang padaku.
"Sebelumnya bisakah Angga keluar dari sini?" Pintaku sambil menatap Angga dengan sinis.
"Aku akan tetap di sini, bicara saja". Angga balik menatapku dengan sinis.
"Beraninya kau mengatakan itu, keluar kataku sekarang!!". Aku mulai tidak bisa menahan emosi
"Cukup Rama, biarkan Angga di sini". Tatapan Sora kini tidak sinis lagi, nada bicaranya pun melemah. Wajahnya terlihat semakin pucat.
"Tapi Sora...... ah baiklah".
"Kau sudah membacanya?". Tiba-tiba Sora bertanya sambil tersenyum. Ah terima kasih Tuhan aku tidak melihat wajah sinisnya lagi.
"Hemm iya. Sora maafkan aku. Tapi ada hal yang harus kau ketahui. Selama ini sebenarnya aku peduli padamu, aku peka dengan semua ceritamu. Hanya saja aku bukan orang yang pandai berekspresi. Aku tidak tahu bagaimana cara menunjukkan kepedulian itu padamu. Jadi aku rasa kau salah faham. Ah tidak, kau tidak sepenuhnya salah faham. Aku memang pria yang jahat. Jika kau bilang aku tidak memahamimu, sepertinya itu benar. Kau selalu terlihat ceria di hadapanku, dan bodohnya aku selalu mengira kau baik-baik saja. Padahal kau terluka, ya terluka karena sikapku. Aku memang benar-benar kurang memahamimu. Aku menyeseal, maafkan aku Sora. Aku..........". Belum selesai aku bicara, Sora memotong pembicaraanku dengan nada yang lemah sambil tersenyum.

"Sudah cukup Rama, aku sudah terlalu banyak mendengar ceritamu. Dan aku rasa ini adalah cerita terakhirmu yang akan kudengar, indah sekali. Sudah cukup, hanya itu yang aku ingin dengar sejak lima tahun yang lalu. Aku tahu sekarang, kau tidak sejahat yang orang-orang bilang kepadaku. Aku benar, kau itu pria yang baik. Aku tidak menyesal telah menyayangimu". Kata-kata itu dikatakan Sora diakhiri dengan air mata yang jatuh mengalir di pipinya. Tunggu, ada yang lain mengalir di wajahnya. Kini darah segar keluar dari hidungnya.

"Sora, kau baik-baik saja?". Tanyaku panik. Angga segera keluar kamar untuk memanggil dokter. Kulihat Sora menatapku dengan pandangan kosong namun masih menitikan air mata. Tangan kanannya terlihat memegangi dadanya. Ia terlihat sesak napas. Wajahnya emakin pucat. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain memegangi tangannya. Tak berapa lama kemudian tim dokter datang. Terpaksa aku melepaskan genggaman tangaku dengan Sora. Orang tua Sora menangis melihat kondisi Sora sekarang. Suasana di kamar ini sangat mencekam sekarang. Aku merasa gelap, gelap, dan gelap.


***

"Sampai kapan kau akan tetap di sini?". Tanya Angga yang sejak tadi memang berdiri di sampingku. Lebih tepatnya berdiri di samping makam Sora. 
"Bahkan aku belum sempat mengatakan pada Sora bahwa aku juga menyayanginya". Mataku masih memandangi makam Sora tanpa menghiraukan pertanyaan dari Angga.
"Sora tidak sebodoh yang kau kira, tanpa kau ucapkan pun ia pasti tahu bahwa kau juga menyayanginya. Kau pikir apa yang membuatnya bertahan hingga lebih dari lima tahun bersamamu? Ya keyakinan itu. Keyakinan bahwa sebeneranya kau juga menyayanginya".  Setelah mengatakan itu Angga melenggang pergi meninggalkanku.
"Tunggu". Teriakku pada Angga.
"Apa lagi?" Angga kembali menoleh ke arahku.
"Sedekat apa kau dengan Sora? Mengapa sepertinya kau sangat memahaminya?".
"Tenang saja, hubungan kami tidak sedekat hubungan kalian. Kau pikir kepada siapa ia menceritakan semua hal aneh tentangmu? Tapi hanya sebatas itu, Sora sangat setia dengan cintanya. Cintanya padamu". 
"Benarkah? Jadi Sora curhat padamu tentangku?".
"Hmm".
"Tapi....."
"Tapi apa?".
"Apakah kau menyukai Sora?".
"Kalau aku bilang iya pun sudah tidak ada artinya lagi".
"Maksudmu kau menyukainya?".
"Hmmm.. Iya. sayangnya ia lebih menyayangimu. Kulihat keseriusan terhadapmu dimatanya. Jadi aku tidak pernah mau mengakui perasaan ini". 
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Angga. Aku tidak memiliki keberanian menatap Angga. Aku hanya tertunduk.

"Seharusnya Sora bisa bahagia denganmu, tidak usah menyayangi orang sepertiku". Gumamku lemah.
"Kau ini bodoh atau apa? Susah payah Sora mengatur rasa sakit dan cintanya karenamu, sekarang kau seenaknya mengatakan seperti itu? Ah bahkan aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali senyumannya itu melawan air matanya karenamu".
"Tapi aku memang salah, aku......".
"Sudahlah, Sora tidak akan senang melihatmu merasa bersalah seperti ini. Tidakkah kau ingat kata-kata terakhirnya padamu? Ia tidak menyesal telah menyayangimu".
Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku lagi sekarang. 

"Baiklah Rama, senang bisa berbincang dengan orang yang selama ini namanya selalu disebut dalam setiap cerita Sora kepadaku. Kuharap tidak ada Sora Sora lain di dunia ini. Jika kau tidak bisa berubah untuk Sora, berubahlah untuk yang lain".
Angga kemudian pergi meninggalkanku sendirian yang masih terpaku di samping makam Sora.


THE END