Halaman

Senin, 24 Oktober 2016

Mengajar adalah Belajar

Terjun ke dunia baru bukanlah hal yang mudah bagi orang yang sulit untuk keluar dari zona nyaman seperti saya. Jangankan tentang dunia, tentang makanan pun saya sangat mudah setia pada suatu makanan dan enggan berpaling. Saya cenderung setia dan tidak mudah berpaling. Mungkin ini kabar baik untuk suami saya kelak (ciat). Bicara tentang kesetiaan, sebenarnya saya tidak sesetia itu. Saya hanya menyukai hal yang membuat saya nyaman. Jika nyaman, saya akan setia. Jika tidak, saya tinggalkan.
Perasaan seperti itu tenyata terbawa hingga saat saya memilih suatu pekerjaan. Jujur saja, masuk ke dunia ngajar mengajar bukanlah suatu kesengajaan bagi saya. Itu merupakan hal yang tidak disengaja. Berawal dari keinginan membantu seorang kakaknya teman, saya mulai belajar untuk mengajar di suatu tempat bimbel miliknya. Bukan bimbel kelas atas, tapi untuk permulaan tempat ini sangat menyenangkan. Lagipula dulu saya masih kuliah dan tujuan mengajar bagi saya bukanlah mencari uang, melainkan untuk mencari pengalaman dan mengisi waktu luang. Terlebih saya juga menyukai berinteraksi langsung dengan anak-anak. Jadi itu sangat menyenangkan. Singkat cerita, tanpa terasa sudah setahun saya mengajar di sana. Ternyata sungguh lumayan untuk menambah uang jajan. Terlebih sejak mengajar, saya jadi tidak pernah minta uang jajan lagi pada orang tua. Yha, the best feeling ever. Kemudian entah dari mana ada seseorang menghubungi saya dan meminta saya untuk mengajar di tempat bimbelnya. Kali ini tempat bimbel yang cukup terkenal sejak tahun 1982 (hayo tebak apa wkwk). Saya ingat tahunnya karena ada embel-embel tahun lahir tempat bimbel itu di password wifi-nya #uuppss. Saya sempat ragu, bukan karena kredibilitas tempat bimbel atau semacamnya, melainkan karena cara mengajar yang berbeda di sana. Di tempat bimbel saya yang pertama, metode belajar semi-privat. Satu tentor mendampingi beberapa anak untuk belajar. Namun, di tempat bimbel yang baru ini tentu saja metode belajarnya seperti di sekolah. Saya menerangkan di depan kelas dengan siswa yang duduk di depan saya. Saya menggantungkan permintaan tersebut selama satu minggu dengan konsekuensi orang tersebut akan merasa lelah menunggu jawaban saya lalu mencari tentor yang lain. Tapi ternyata memang benar kalau sudah rejeki gak akan ke mana. Orang tersebut menelpon saya lagi setelah satu minggu, lalu dengan mantap saya katakan "Iya saya bisa". Jujur saja saya tidak bisa, tapi akan saya coba. Saya terbiasa presentasi di depan teman-teman saat kuliah, bahkan di depan dosen. Jadi saya pikir, apa susahnya berbicara di depan kelas berisi siswa-siswa yang sedang haus akan ilmu pengetahuan itu?
Akhirnya saya pun mengambil kesempatan itu dengan mantap. Setelah dijalani, ternyata saya bisa. Saya mampu. Dan yang paling penting, saya mendapatkan tujuan utama saya dalam mengajar yaitu berinteraksi langsung dengan anak-anak. Menjalin ikatan secara pribadi agar tidak hanya sekadar menjadi seorang tentor bagi mereka, tapi juga menjadi teman untuk bercerita dan bercanda. Dari mereka saya bisa tahu dunia seperti apa yang sedang berkembang di masa sekarang. Dari mereka saya belajar apa yang tidak saya ketahui tentang anak-anak di masa kedewasaan saya. Setengah tahun berjalan, ada sesuatu yang membuat saya ingin pergi. Bukan dari dunia mengajar, tapi dari tempat saya mengajar. Ada sesuatu yang tidak bisa saya ceritakan, tapi cukup membuat saya kepikiran hampir sebulan. Efeknya, saya jadi merasa mengajar bukanlah passion saya. Saya sampai di tahap itu. Tahap di mana saya jenuh dan melupakan segala tujuan utama saya dalam mengajar. Yang saya tahu, saya lelah dan saya ingin berhenti. Seperti yang saya katakan di awal. Saya tidak sesetia itu. Jika nyaman, saya akan setia. Jika tidak nyaman, saya tinggalkan. Perasaan itu terus bergejolak hingga akhirnya saya memutuskan mengurangi jadwal dengan alasan sibuk skripsi (sebenarnya saya memang benar-benar sibuk skripsi dan merasa keteteran). Mengapa saya tidak berhenti saja? Alasannya satu. Saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang sudah dengan cuma-cuma Allah berikan. Saya hanya lelah. Saya butuh waktu untuk berpikir. Saya hanya butuh mengurangi aktivitas di dunia ini agar tidak terlalu jenuh. Dan saya melakukan itu. Dalam sebulan, saya hanya mengajar 4 sesi. Jumlah yang sangat sedikit, tapi perlahan itu membuat saya merasa nyaman kembali.
Skripsi selesai, gelar sudah didapat. Saya memutuskan untuk kembali aktif mengajar. Baik itu di tempat bimbel pertama maupun kedua. Saya merasa rindu. Rindu berinteraksi dengan anak-anak setiap hari. Rindu cerita-cerita alay mereka yang bisa membuat saya tertawa geli. Pernah suatu saat saya tertimpa masalah. Tidak nafsu makan atau melakukan apapun seharian. Tapi saya tidak bisa membatalkan jadwal mengajar dengan alasan demikian. Maka saya putuskan untuk tetap mengajar. Saat itu jadwal mengajar kelas 6 SD. Jagoan-jagoan cilik favorit saya selama di tempat bimbel. Ingin tahu apa yang terjadi? Tidak terjadi apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasa. Saya mengajar, mereka memahami. Biasa. Yang tidak biasa adalah saya menemukan kebahagiaan di sana. Mereka menyadarkan saya bahwa memang ada hal yang harus ditangisi, tapi tertawa itu lebih baik. Mereka tidak tahu seterlukanya saya hari itu, tapi sikap mereka seolah mengatakan "Ayolah kak, jangan dipikirin". Tingkahnya, canda tawanya, kepolosannya. Semuanya membuat saya bahagia kembali. Ajaib, hari itu mereka menjadi obat penawar kesedihan saya. Itulah yang saya rindukan. Itulah mengapa saya sering mengatakan bahwa mengajar adalah belajar.

Pekan lalu saya mengajar kelas 6 SD. Kelas yang selalu rusuh dan ramai, tapi masih bisa dikendalikan. Mereka lebih senang belajar dengan metode kuis dibandingkan saya mengoceh di depan kelas. Namun, dengan alasan etika mengajar yang sudah diatur dalam tempat bimbel itu, saya hanya bisa mengajak mereka bermain dalam kuis saat akhir pelajaran. Untung saja mereka mau mengerti. Hal itu sudah berjalan hampir satu semester, dan ada yang berbeda untuk kuis pekan lalu.
Saya meminta anak-anak untuk mengeluarkan selembar kertas lalu menuliskan nama mereka masing-masing. Kemudian saya meminta mereka untuk menuliskan motto hidup mereka di bawah namanya. Sebagian mengerti dengan perintah saya, sebagian lagi bingung.
"Kak, motto hidup itu apa?"
Saya tersenyum. Saya katakan saja bahwa motto hidup itu suatu kalimat positif yang membuat kalian semangat menjalani kehidupan. Memang terkadang agak sulit untuk menjelaskan hal-hal baru pada anak-anak. Tapi sepertinya mereka semua mengerti. Mereka mulai menyebut-nyebut motto hidupnya. Beberapa bergurau sambil menertawakan motto hidup teman di sebelahnya. Sungguh pemandangan yang sangat menyenangkan bagi saya. Kelas menjadi tenang saat saya membacakan soal kuis pertama.
Singkat cerita, kuis selesai dan saya pun menilai hasil kerja mereka sambil membaca apa yang mereka tuliskan pada bagian motto hidup. Saya tersenyum, tertawa, dan bahagia. Entah ini perasaan yang seperti apa. Tapi saya merasa menemukan kebahagiaan hanya dengan membaca motto hidup mereka masing-masing. Jangan anggap kalimat itu seindah puisi Chairil Anwar atau selugas kalimat Mario Teguh. Kalmat-kalimat itu hanya untaian kata yang cenderung nyeleneh tapi membuat saya bangga pada mereka. Anak sekecil mereka, sepolos mereka, ternyata memiliki hal-hal yang simpel yang cenderung aneh untuk semangat menjalani kehidupan.

Hilmi : "Tiada hari tanpa antimainstream"

Baginya hidup tidak boleh biasa saja. Karena yang biasa-biasa saja sering tidak dilihat katanya. "Itulah kenapa saya suka bawa milkshake ke kelas, karena yang lain gak ngelakuin itu kak".

Awri: "Bahagia setiap hari"

Si ceria Awri yang mau diledekin kayak gimana pun dia tetap tertawa. Pantas saja, ternyata motto hidupnya seperti itu.

Safira: "Tiada hari tanpa sahabat".

Si pendiam yang ternyata sangat menghargai kehadiran sahabat-sahabat di dekatnya.

Daffa: "Tak ada kehidupan tanpa manusia".

Saya tertawa membaca kalimat ini. Tapi siapa sangka maknanya begitu dalam. "Iyalah kak, simpel aja. Selama masih ada manusia saya mah semangat aja hidupnya".

Galin: Don't forget to stay awesome.

Si asik Galin yang nyontek motto hidupnya dari status BBM hehe. Baginya hidup itu harus luar biasa

Dirgham: "Love yourself"

Siswa favorit saya sejak dia mulai menanyakan hal-hal aneh tapi menyenangkan saat belajar. Sikap kritis yang santai dan tetap menghormati tentor. Si kepo ini gak punya motto hidup katanya. Dia bingung, akhirnya dia tulis judul lagu Justin Bieber. Tapi dalam imajinasi saya pasti dia akan bilang, "Gapapalah. Kalo bukan kita yang sayang diri kita sendiri, siapa lagi? Abang odong-odong di depan Indom*ret??"
Ok ok Dirgham ._. He always act like that and I still like him anyway.

Nasywan: "Tiada hari tanpa main". 

Terdengar main-main, tapi justru ini ciri khas kepolosan anak-anak. Mereka juga butuh waktu untuk main kan?

Daffanisa: "Can't live without Bangtan Boys and my parents"

Saya senang dia menambahkan "my parents" di akhir kalimatnya. Saya hanya gak bisa membayangkan apa jadinya kalau Bangtan Boys bubar. Wkwk

Inayah: A true friend is always there"

Satu lagi si pendiam di kelas. Entah mengapa saya merasakan makna medalam dari mottonya secara personal. She needs true friends. Hope you will find them :)

Zidane: "Tiada hari tanpa belajar, main, dan tidur".

Satu lagu motto yang mencirikan khas anak-anak. Baginya hidup itu harus seimbang antara belajar, main dan tidur.

Nabil: "Belajar senin--jumat".

Anak-anak yang lain tertawa membaca ini dan saya ikut tertawa. Tapi justru ini yang membuat dia spesial. Seorang anak yang tetap menjadi dirinya sendiri tanpa perlu menghiraukan apa kata orang lain. Selama ia tidak salah, bukan berarti orang lain benar kan?

Wafana: "A true friend is the greatest of all blessing"

Satu lagi motto tentang persahabatan. Baginya selama ia punya sahabat baik, tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.


Begitulah kepolosan anak-anak yang tertuang dalam motto hidup mereka masing-masing. Jauh di lubuk hati yang mendalam, mereka sangatlah polos. Tingkah kedewasaan akibat gadget atau media sosial? Itu lain cerita. Bagaimanapun juga mereka seperti selembar kertas putih yang siap dituliskan apa saja. Memang sudah sepatutnya peran orang tua menjaga mereka agar tidak ditulis dengan sembarang pena.
Jadi, mengapa saya masih memutuskan untuk mengajar sampai hari ini?
Karena bagi saya mengajar adalah belajar.
Salah satunya belajar untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Satu lagi kabar baik untuk suami saya kelak #Eaaaa


Akhir kata, pekerjaan yang paling baik bukanlah pekerjaan bergengsi dengan gaji milyaran, melainkan pekerjaan yang dikerjakan dengan hati dan penuh keikhlasan. Sudahlah, the key of happiness is kunci kebahagiaan kan??

Sekian.