Hari Minggu pagi merupakan hari yang aneh untuk memulai aktifitas saat matahari belum sempurna menampakkan wajahnya. Aku tengah bersiap mengeluarkan motor dari garasi rumah hingga akhirnya suara dering telepon menghentikan gerakanku. Aku melepas kembali helm yang telah kupakai dan meletakannya di kaca spion motor.
"Halo, gue otw". Kataku langsung ketika mengangkat telepon
"Otw mana lo? Ga percaya gue". Suara pria dari seberang sana terdengar kesal
"Ih galak amat. Iya iya gue otw depan rumah. Sabar sih, acaranya juga jam 8 kan? Ini masih jam 6". Gerutuku tak kalah kesal
"Eng...........". Tak terdengar suara lagi dari orang itu, ia hanya terdengar menggumam
"Halo..". Kataku perlahan karena merasa heran ia terdiam
"Jangan marah ah, serem kamu". Terdengar tawa ringan mengiringi kalimatnya
"Hahahaha apaan deh lo. Yaudah gue mau berangkat nih. Tinggal keluar gerbang kok. Sabar yaaahh". Tanpa menunggu jawaban lagi, aku segera menutup sambungan telepon dan segera berangkat. Ohiya, yang menelpon tadi namanya Ken. Nama lengkapnya Dolken Wijaya. Dia buka orang Belanda, tapi orangtuanya sangat terobsesi dengan negara kincir angin tersebut, jadilah ia diberi nama orang Belanda. Ken adalah sahabatku sejak SMA. Hingga hari ini, bahkan saat kami sudah sama-sama meniti karir, kami masih sering berkomunikasi. Dan aku?? Namaku Intan Karina. Kata ibuku aku harus menjadi seperti anak yang kuat dan cantik seperti intan. Begitulah. Untung saja aku tidak diberi nama Titanium.
Hari ini adalah hari pernikahan Dolken dengan kekasihnya di Kampus yang sudah ia pacari selama 4 tahun. Sejak kemarin sebenarnya ia sudah memintaku untuk menginap saja di rumahnya, tapi aku dengan keras menolak karena aku masih punya deadline paper hasil penelitian di Kalimantan bulan lalu. Jadi wajar saja jika di telepon tadi ia terdengar kesal karena aku belum juga sampai di rumahnya.
"Udah, udah ganteng itu. Iya kan tante?" Kataku sambil melirik ke Ibunya Ken ketika memasuki kamar rias pria di rumahnya.
"Iya Ken, wis ganteng toh le". Logat jawa ibunya Ken masih sangat kental meskipun sudah hampir 20 tahun tinggal di Jakarta.
"Eh ndo Intan kok baru dateng? Si Ken ini udah marah-marah mulu loh nungguin kamu dari tadi". Lanjut ibunya Ken ketika menyadari bahwa aku yang baru saja biacara.
"Hehe iya tante semalaman aku bikin paper penelitian, jadi baru tidur jam 3 pagi. Agak kesiangan deh. Maaf ya tante". Kataku sambil meletakkan tas di meja.
"Ya tante sih ga apa-apa. Si Ken ini loh yang bawel nungguin kamu".
"Ah Ken mah suka gitu. Bukannya bawel nungguin Citra, malah kesel nungguin saya". Kemudian kami tertawa bersama.
"Heeee sudah kalian ini kenapa jadi ketawa". Ken yang sejak tadi sibuk di depan kaca kini ikutan nimbrung.
"Iya maaf. Btw udah ganteng lo, ga usah ngaca terus. Kasian kacanya bosen". Kataku sambil menepuk pundaknya.
"Setelah 8 tahun kita temenan, baru hari ini lo bilang gue ganteng. Amazing". Ken tepuk tangan sejadi-jadinya.
"Idih, ini yang pertama dan terakhir. Karena setelah ini gue ga akan bisa bilang lo ganteng lagi kan".
"Loh kenapa?". Ken heran
"Karena nanti gue bakal diomelin Citra, istri lo. hahaha".
"hahaha ia juga ya. Gila cerdas lo cerdas!". Ken histeris
"Apasih Ken, udah ah gue mau dandan dulu. Ga liat apa gue masih pake baju tidur?". Saat berangkat dari rumah aku memang sengaja tidak berganti pakaian rapi karena kebaya yang akan kupakai hari ini sudah disiapkan oleh keluarga Ken. Aku menghadiri pernikahan Ken sebagai pihak dari keluarga. Ken memang bukan saudaraku, namun bersahabat selama 8 tahun membuat aku merasa keluarga Ken seperti keluargaku.
Hari minggu ini merupakan hari yang membahagiakan bagi Ken dan Citra. Setelah berpacaran selama 4 tahun, akhirnya Ken memberanikan diri untuk melamar Citra. Tentu saja itu juga dengan bantuan dari ide ajaibku. Jika tidak begitu, aku yakin Ken baru akan melamar Citra setelah negara api menyerang. Ken orang yang sangat cuek dengan apapun dan sangat tidak tahu malu. Tapi urusan lamar melamar, ia sangat payah. Untunglah kepayahan itu bisa berubah jadi prosesi pernikahan. Hari ini harusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi Ken. Iya seharusnya, sebelum....................
"Halo, Ken ini tante Maya. Mamanya Citra". Suara wanita setengah baya dari seberang sana terdengar diiringi isak tangis.
"Iya tante kenapa? Wajah ceria Ken yang sejak tadi kuajak bercanda agar tidak tegang tetiba berubah menjadi pucat".
Aku tidak tahu apa yang dikatakan tante Maya di telepon. Yang jelas sekarang Ken tersungkur di depanku, tertunduk dan matanya tak bisa berhenti meneteskan air mata. Ini bukan kali pertama aku melihatnya menangis, tapi kali ini berbeda.
"Ken, ada apa?".
***
1 bulan kemudian......
"Maaf setelah hari itu gue malah sibuk penelitian. Bukannya nemenin lo, tapi malah ninggalin". Kataku memulai pembicaraan yang sejak 10 menit yang lalu aku dan Ken hanya terdiam di sebuah cafe dekat kantornya. Kini Ken pun masih terdiam. Aku tidak tahu apakah itu karena ia masih terpukul dengan kematian Citra di hari pernikahannya atau karena ia memang marah padaku.
"Ken... lo marah?". Tanyaku kemudian
"Gue sayang sama Citra. Gue sayang dia". Ken mengucapkan hal itu dengan nada yang lemah. Dari raut wajahnya terlihat jelas ia sangat terpukul dengan hal itu. Tubuhnya lebih kurus sekarang. Apakah ia jadi tidak nafsu makan? Ah aku jadi merasa berdosa telah meninggalkan dia di masa-masa tersulitnya.
"Iya gue tau, Citra juga tau itu kok. Tau banget!".
"Kalo tau, kenapa dia pergi?".
"Ken, ga ada yang bisa menentang kematian. Lo dan gue juga akan meninggal nantinya. Ini bukan kemauan Citra".
"Tapi kenapa?" Ken menundukkan kepalanya di atas meja.
"Sampe kapan lo akan begini, Ken?".
Ken hanya terdiam.
"Jawab Ken, sampe kapan?". Tanyaku lagi dengan nada yang lebih tegas. Ken mengangkat kepalanya. Ia menatapku dengan air mata berlinang.
"Enggak! Ini bukan Ken. Lo siapa? gue ga kenal lo". Aku berdiri dari kursi. Melihat hal itu Ken terkejut dan ikut berdiri.
"Loh! lo kenapa deh Intan?'.
"Lo yang kenapa! Mana Ken yang dulu? Yang selalu ceria dan masa bodo dengan hal apapun. Mana? Mana Ken yang gue kenal? Yang selalu optimis dan bisa ambil hikmah dari semua kejadian. Mana?".
"Ah lo! Lo ga pernah tau kan rasanya ditinggal mati sama calon pengantin lo? Bahkan H- beberapa jam sebelum akad. Ga pernah kan? Jadi jangan sok tau gitu!". Ken malah lebih marah padaku.
"Apa kata lo? Ga pernah?"
"Iya!!". Jawab Ken singkat dengan tatapan yang agak sinis sekarang.
"Lo ga inget kejadian 2 tahun lalu? lo lupa? tega ya!!". Tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Dua tahun yang lalu..............
"Jangan nangis terus, yang pergi yaudah jangan dipikirin lagi". Ken mengusap kepalaku sambil memberikan tisu. Aku memang sudah menangis lebih dari 1 jam di ruang tamu rumah Ken. Ini bukan tanpa alasan.
"Lo diem aja. Lo tau apa tentang perasaan gue? Udahlah diem aja". Kataku semampunya dengan sisa tenaga yang kupunya. Sejak kemarin aku tidak nafsu makan dan kerjaanku hanya menangis. Wajar. Iya wajar. Wanita mana yang bisa kuat melihat tunangannya selingkuh di H-1 bulan pernikahannya? Kurasa tidak ada yang kuat, termasuk diriku sendiri.
"Udah Intan, lo harus kuat. Kalo Haikal ninggalin lo, itu berarti dia bukan yang terbaik buat lo. Harusnya lo bersyukur belum sempet nikah sama dia. Coba kalo jadi nikah, euuuh lo akan menderita seumur hidup".
Aku tidak menggubrisnya, aku tetap saja menangis.
"Intan, jangan menyedihkan begini ah! Si Haikal aja belum tentu mikirin lo. Buktinya sampe hari ini dia ga minta maaf sama lo kan? Itu jahat! Udah gausah dipikirin".
"Iya dia jahat! Maka dari itu gue sedih. Sakit Ken. Sakit!".
"Iya gue ngerti perasaan lo. Tapi jangan ditangisin terus. Ga pantes. Ambil hikmahnya, jangan diratapin terus kesedihannya. Biarin Haikal ninggalin lo. Tapi masih ada orang tua lo dan masih ada keluarga gue yang sayang sama lo, masih ada gue juga yang ga akan pernah ninggalin lo. Lo tenangin diri ya, please gue ga tega ngeliat lo kaya gini terus".
"Trus sekarang gue harus apa?".
"Lo harus senyum. Ayo senyuuumm". Ken menarik pipiku ke kiri dan kanan membuatku terlihat aneh.
"Euuuh lepas, lepas. Bener ya lo ga akan ninggalin gue?" Aku menghapus air mataku dari kedua pipi.
"Iya beneran. Ga percaya amat si".
"Ah nanti kalo lo nikah pasti bakal ninggalin gue".
"hmmm itu sih tergantung istri gue ngebolehin gue deket sama cewe lain atau engga hahaha".
"Tuh kan!".
"Hehe enggak, bercanda. Walaupun gue nikah nanti, entah sama siapapun itu gue ga akan ninggalin lo kok. Lo kan sahabat gue yang tersayang, tapi gue lebih sayang istri gue haha". Ken tertawa senang sekali seolah menonton tayangan komedi. Ia menyadari tatapanku padanya sinis, seketika ia berhenti tertawa.
"Eng... Kenapa lo ngeliatin gue kaya gitu?". Tanya Ken heran.
"Ga kenapa-napa. Gue kangen bisa ketawa kaya gitu".
"NAH! Kangen kan? Yaudah yang pergi jangan dipikirin lagi. Sabodo ae lah. Lanjutin hidup lo Intan! Okey???". Ken mengepalkan tangannya bersemangat.
"Siap!".
"Lo inget sekarang? Iya gue emang bukan ditinggal mati, tapi ditinggal demi cewek lain. Sekarang gue tanya, sakitan mana??? Setidaknya lo ditinggal dengan fakta bahwa Citra sangat sayang sama lo. Dia pergi bukan karena dia udah ga sayang sama lo, dia pergi bukan karena dia sayang sama cowok lain. Tapi gue??? Bayangin Ken! Sakitan mana?".
Ken duduk kembali di kursi. Ia terlihat tertunduk. Sedangkan aku berurai air mata. Luka dua tahun lalu yang selama ini berhasil tertutup karena semangat dari Ken, kini terbuka lagi. Perih lagi. Pemberi semangat itu kini justru memaksaku membuka luka lama.
"Dulu lo bilang buat ambil hikmahnya dan tetep lanjutin hidup. Gue lakuin itu Ken, gue lakuin! Tapi sekarang apa yang gue liat? Lo sendiri ga bisa nerapin hal itu. Payah!". Air mataku semakin tak terbendung lagi. Aku segera pergi meninggalkan Ken yang masih tertunduk lemah di Cafe.
*Ting nong*
Jumat pagi pukul 9. Ken datang ke rumahku dengan membawa dua koper berukuran besar.
"Mau apa lo? Mau nginep di rumah gue? Ini rumah, bukan tempat pengungsian. Pulang sana!".
"Apa sih lo ga jelas. Gue mau pamit".
"Loh, pamit ke mana?".
"Gue mau lanjut S2 di Belanda. Alhamdulillah akhirnya keterima juga tahun ini".
"SERIUSSS??". Aku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, Ken dan keluarganya sangat terobsesi dengan negara tersebut. Dan Ken adalah anggota keluarga pertama yang akan menginjakan kaki di Belanda. Ini Amazing!
"Iyaaaaaaaaa". Teriak Ken dengan wajah sumringah
"Berapa lama di sana?".
"Hemm sekitar 2 tahun".
"DUA TAHUN???" Aku histeris
"Eh biasa aja kali, kenapa deh?".
"Itu lama banget ya!". Awalnya aku bahagia, tapi kini aku sedih. Dua tahun tidak bisa bertemu dengan Ken? Apa jadinya aku ini?
"Udah deh jangan sok sedih ga jelas. Mending sekarang lo anterin gue ke Bandara. Mama Papa gue udah nunggu tuh di mobil. Ayo anteeerr".
"Ogah ah! gue mau ngerjain paper!" Jawabku ketus.
"Idih temen lo bakal pergi jauh naik pesawat nih. Kalo pesawatnya kenapa-kenapa gimana? Jatoh di laut trus gue masuk ke daftar orang hilang, trus kita ga bisa ketemu lagi, trusss.....".
"Ehhh udah-udah, kok imajinasi lo nyeremin sih. Iya iya gue temenin. Ayo".
Dua tahun bukan hal yang singkat, apalagi jika dibebani dengan sebuah rindu. Selama dua tahun Ken kuliah S2 di Belanda, aku selalu saling berkirim e-mail dengannya setiap hari. Ken selalu menceritakan hal-hal baru yang ia dapat dari kampusnya. Dari kejadian menakjubkan sampai kejadian konyol sekalipun. Ken terlihat sangat bahagia di sana. Sesekali ia mengirimkan foto bersama teman-temannya. Akupun begitu, selama dua tahun ini banyak penelitian yang kulakukan dan aku selalu memaksa Ken untuk membaca paper yang baru saja aku publikasikan. Aku tau Ken tidak mengerti itu, tapi ia selalu berusaha mengerti. Minimal ia paham judul dari papernya saja, itu sudah sangat membanggakan.
Hingga pada suatu hari e-mail masuk tengah malam. Kebetulan aku masih terjaga karena memang tak bisa tidur sejak kemarin.
Ken ; "Intan, sekarang lo lagi sama siapa?".
Intan : "Hah? maksudnya?".
Ken : "Hmm maksudnya pacar, udah punya pacar baru?".
Intan : "Haha pacar itu apa?".
Ken : "Jadi masih sendiri?".
Intan : "Yaelah pake ditanya. Kenapa deh?".
Ken : "Jomblo?".
Intan : "Iya ih berisik!".
Ken : "Kasian udah 25 tahun masih jomblo"
Intan : "Apaan sih lo ga jelas".
Keesokan harinya...........
"Intan, ada tamu tuh". Kata mama ketika masuk ke kamarku.
"Siapa Ma?".
"Liat aja sendiri".
"Siapa deh?". Aku beranjak dari tempat tidur karena penasaran dengan tamu yang hadir dan segera menuju ke ruang tamu. Betapa terkejutnya aku melihat Ken bersama orang tuanya yang sedang duduk di sana. Ken!
"KEN!! Aaaaaaaaaa lo udah pulang???? Kok ga bilang-bilang?". Aku histeris sambil menghampiri mereka dan duduk di sofa.
"Tuh liat deh Ma, Pa, dia selebay itu kan ya. Yakin mau jadiin dia menantu?". Ken tidak menanggapi ucapanku barusan. Ia malah membicarakan hal aneh pada orang tuanya.
"Ha? Apa? Menantu? Emang om tante punya anak cowo yang lain?". Tanyaku heran
"Anak cowok lain yang mana to ndo Intan? Ya cuma Ken anak tante satu-satunya. Anak kesayangan". Ibunya Ken tersenyum-senyum tak jelas sambil terus mengusap-usap bahu Ken.
"Jadi maksudnya?". Aku semakin bingung. Tetiba rombongan keluarga Ken masuk ke ruang tamu membawa bawaan banyak sekali. Aku yakin itu bukan bawaan biasa. Penuh dengan hiasan. Ah apa ini? Lamaran? Di tengah kebingungan itu tetiba Ken memegang tanganku dan...
"Intan, will you marry me?".
"What? Will you apa? Marry itu apa?". Tanyaku sambil tersenyum meledek.
"Euuuh mulai deh lo! Romantis dikit napa!". Ken terlihat kesal. Sedangkan orang tua kami hanya tertawa.
"Ahahaha ini apa sih??". Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku hingga aku meneteskan air mata. Aku hanya bahagia, perasaan rindu selama dua tahun terjawab semua maknanya hari ini.
"Intan, serius dong. Ayolaaah". Ken semakin kesal.
"Ma, Pa, aku mau nikah. Boleh ga?" Aku melirik ke Mama Papa yang duduk di sampingku. Mereka berdua hanya mengangguk dan tersenyum. Dan ada senyuman lain lagi yang lebih sumringah. KEN!
"Halo, gue otw". Kataku langsung ketika mengangkat telepon
"Otw mana lo? Ga percaya gue". Suara pria dari seberang sana terdengar kesal
"Ih galak amat. Iya iya gue otw depan rumah. Sabar sih, acaranya juga jam 8 kan? Ini masih jam 6". Gerutuku tak kalah kesal
"Eng...........". Tak terdengar suara lagi dari orang itu, ia hanya terdengar menggumam
"Halo..". Kataku perlahan karena merasa heran ia terdiam
"Jangan marah ah, serem kamu". Terdengar tawa ringan mengiringi kalimatnya
"Hahahaha apaan deh lo. Yaudah gue mau berangkat nih. Tinggal keluar gerbang kok. Sabar yaaahh". Tanpa menunggu jawaban lagi, aku segera menutup sambungan telepon dan segera berangkat. Ohiya, yang menelpon tadi namanya Ken. Nama lengkapnya Dolken Wijaya. Dia buka orang Belanda, tapi orangtuanya sangat terobsesi dengan negara kincir angin tersebut, jadilah ia diberi nama orang Belanda. Ken adalah sahabatku sejak SMA. Hingga hari ini, bahkan saat kami sudah sama-sama meniti karir, kami masih sering berkomunikasi. Dan aku?? Namaku Intan Karina. Kata ibuku aku harus menjadi seperti anak yang kuat dan cantik seperti intan. Begitulah. Untung saja aku tidak diberi nama Titanium.
Hari ini adalah hari pernikahan Dolken dengan kekasihnya di Kampus yang sudah ia pacari selama 4 tahun. Sejak kemarin sebenarnya ia sudah memintaku untuk menginap saja di rumahnya, tapi aku dengan keras menolak karena aku masih punya deadline paper hasil penelitian di Kalimantan bulan lalu. Jadi wajar saja jika di telepon tadi ia terdengar kesal karena aku belum juga sampai di rumahnya.
***
"Udah, udah ganteng itu. Iya kan tante?" Kataku sambil melirik ke Ibunya Ken ketika memasuki kamar rias pria di rumahnya.
"Iya Ken, wis ganteng toh le". Logat jawa ibunya Ken masih sangat kental meskipun sudah hampir 20 tahun tinggal di Jakarta.
"Eh ndo Intan kok baru dateng? Si Ken ini udah marah-marah mulu loh nungguin kamu dari tadi". Lanjut ibunya Ken ketika menyadari bahwa aku yang baru saja biacara.
"Hehe iya tante semalaman aku bikin paper penelitian, jadi baru tidur jam 3 pagi. Agak kesiangan deh. Maaf ya tante". Kataku sambil meletakkan tas di meja.
"Ya tante sih ga apa-apa. Si Ken ini loh yang bawel nungguin kamu".
"Ah Ken mah suka gitu. Bukannya bawel nungguin Citra, malah kesel nungguin saya". Kemudian kami tertawa bersama.
"Heeee sudah kalian ini kenapa jadi ketawa". Ken yang sejak tadi sibuk di depan kaca kini ikutan nimbrung.
"Iya maaf. Btw udah ganteng lo, ga usah ngaca terus. Kasian kacanya bosen". Kataku sambil menepuk pundaknya.
"Setelah 8 tahun kita temenan, baru hari ini lo bilang gue ganteng. Amazing". Ken tepuk tangan sejadi-jadinya.
"Idih, ini yang pertama dan terakhir. Karena setelah ini gue ga akan bisa bilang lo ganteng lagi kan".
"Loh kenapa?". Ken heran
"Karena nanti gue bakal diomelin Citra, istri lo. hahaha".
"hahaha ia juga ya. Gila cerdas lo cerdas!". Ken histeris
"Apasih Ken, udah ah gue mau dandan dulu. Ga liat apa gue masih pake baju tidur?". Saat berangkat dari rumah aku memang sengaja tidak berganti pakaian rapi karena kebaya yang akan kupakai hari ini sudah disiapkan oleh keluarga Ken. Aku menghadiri pernikahan Ken sebagai pihak dari keluarga. Ken memang bukan saudaraku, namun bersahabat selama 8 tahun membuat aku merasa keluarga Ken seperti keluargaku.
***
Hari minggu ini merupakan hari yang membahagiakan bagi Ken dan Citra. Setelah berpacaran selama 4 tahun, akhirnya Ken memberanikan diri untuk melamar Citra. Tentu saja itu juga dengan bantuan dari ide ajaibku. Jika tidak begitu, aku yakin Ken baru akan melamar Citra setelah negara api menyerang. Ken orang yang sangat cuek dengan apapun dan sangat tidak tahu malu. Tapi urusan lamar melamar, ia sangat payah. Untunglah kepayahan itu bisa berubah jadi prosesi pernikahan. Hari ini harusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi Ken. Iya seharusnya, sebelum....................
"Halo, Ken ini tante Maya. Mamanya Citra". Suara wanita setengah baya dari seberang sana terdengar diiringi isak tangis.
"Iya tante kenapa? Wajah ceria Ken yang sejak tadi kuajak bercanda agar tidak tegang tetiba berubah menjadi pucat".
Aku tidak tahu apa yang dikatakan tante Maya di telepon. Yang jelas sekarang Ken tersungkur di depanku, tertunduk dan matanya tak bisa berhenti meneteskan air mata. Ini bukan kali pertama aku melihatnya menangis, tapi kali ini berbeda.
"Ken, ada apa?".
***
1 bulan kemudian......
"Maaf setelah hari itu gue malah sibuk penelitian. Bukannya nemenin lo, tapi malah ninggalin". Kataku memulai pembicaraan yang sejak 10 menit yang lalu aku dan Ken hanya terdiam di sebuah cafe dekat kantornya. Kini Ken pun masih terdiam. Aku tidak tahu apakah itu karena ia masih terpukul dengan kematian Citra di hari pernikahannya atau karena ia memang marah padaku.
"Ken... lo marah?". Tanyaku kemudian
"Gue sayang sama Citra. Gue sayang dia". Ken mengucapkan hal itu dengan nada yang lemah. Dari raut wajahnya terlihat jelas ia sangat terpukul dengan hal itu. Tubuhnya lebih kurus sekarang. Apakah ia jadi tidak nafsu makan? Ah aku jadi merasa berdosa telah meninggalkan dia di masa-masa tersulitnya.
"Iya gue tau, Citra juga tau itu kok. Tau banget!".
"Kalo tau, kenapa dia pergi?".
"Ken, ga ada yang bisa menentang kematian. Lo dan gue juga akan meninggal nantinya. Ini bukan kemauan Citra".
"Tapi kenapa?" Ken menundukkan kepalanya di atas meja.
"Sampe kapan lo akan begini, Ken?".
Ken hanya terdiam.
"Jawab Ken, sampe kapan?". Tanyaku lagi dengan nada yang lebih tegas. Ken mengangkat kepalanya. Ia menatapku dengan air mata berlinang.
"Enggak! Ini bukan Ken. Lo siapa? gue ga kenal lo". Aku berdiri dari kursi. Melihat hal itu Ken terkejut dan ikut berdiri.
"Loh! lo kenapa deh Intan?'.
"Lo yang kenapa! Mana Ken yang dulu? Yang selalu ceria dan masa bodo dengan hal apapun. Mana? Mana Ken yang gue kenal? Yang selalu optimis dan bisa ambil hikmah dari semua kejadian. Mana?".
"Ah lo! Lo ga pernah tau kan rasanya ditinggal mati sama calon pengantin lo? Bahkan H- beberapa jam sebelum akad. Ga pernah kan? Jadi jangan sok tau gitu!". Ken malah lebih marah padaku.
"Apa kata lo? Ga pernah?"
"Iya!!". Jawab Ken singkat dengan tatapan yang agak sinis sekarang.
"Lo ga inget kejadian 2 tahun lalu? lo lupa? tega ya!!". Tanpa sadar aku meneteskan air mata.
***
Dua tahun yang lalu..............
"Jangan nangis terus, yang pergi yaudah jangan dipikirin lagi". Ken mengusap kepalaku sambil memberikan tisu. Aku memang sudah menangis lebih dari 1 jam di ruang tamu rumah Ken. Ini bukan tanpa alasan.
"Lo diem aja. Lo tau apa tentang perasaan gue? Udahlah diem aja". Kataku semampunya dengan sisa tenaga yang kupunya. Sejak kemarin aku tidak nafsu makan dan kerjaanku hanya menangis. Wajar. Iya wajar. Wanita mana yang bisa kuat melihat tunangannya selingkuh di H-1 bulan pernikahannya? Kurasa tidak ada yang kuat, termasuk diriku sendiri.
"Udah Intan, lo harus kuat. Kalo Haikal ninggalin lo, itu berarti dia bukan yang terbaik buat lo. Harusnya lo bersyukur belum sempet nikah sama dia. Coba kalo jadi nikah, euuuh lo akan menderita seumur hidup".
Aku tidak menggubrisnya, aku tetap saja menangis.
"Intan, jangan menyedihkan begini ah! Si Haikal aja belum tentu mikirin lo. Buktinya sampe hari ini dia ga minta maaf sama lo kan? Itu jahat! Udah gausah dipikirin".
"Iya dia jahat! Maka dari itu gue sedih. Sakit Ken. Sakit!".
"Iya gue ngerti perasaan lo. Tapi jangan ditangisin terus. Ga pantes. Ambil hikmahnya, jangan diratapin terus kesedihannya. Biarin Haikal ninggalin lo. Tapi masih ada orang tua lo dan masih ada keluarga gue yang sayang sama lo, masih ada gue juga yang ga akan pernah ninggalin lo. Lo tenangin diri ya, please gue ga tega ngeliat lo kaya gini terus".
"Trus sekarang gue harus apa?".
"Lo harus senyum. Ayo senyuuumm". Ken menarik pipiku ke kiri dan kanan membuatku terlihat aneh.
"Euuuh lepas, lepas. Bener ya lo ga akan ninggalin gue?" Aku menghapus air mataku dari kedua pipi.
"Iya beneran. Ga percaya amat si".
"Ah nanti kalo lo nikah pasti bakal ninggalin gue".
"hmmm itu sih tergantung istri gue ngebolehin gue deket sama cewe lain atau engga hahaha".
"Tuh kan!".
"Hehe enggak, bercanda. Walaupun gue nikah nanti, entah sama siapapun itu gue ga akan ninggalin lo kok. Lo kan sahabat gue yang tersayang, tapi gue lebih sayang istri gue haha". Ken tertawa senang sekali seolah menonton tayangan komedi. Ia menyadari tatapanku padanya sinis, seketika ia berhenti tertawa.
"Eng... Kenapa lo ngeliatin gue kaya gitu?". Tanya Ken heran.
"Ga kenapa-napa. Gue kangen bisa ketawa kaya gitu".
"NAH! Kangen kan? Yaudah yang pergi jangan dipikirin lagi. Sabodo ae lah. Lanjutin hidup lo Intan! Okey???". Ken mengepalkan tangannya bersemangat.
"Siap!".
***
Back....."Lo inget sekarang? Iya gue emang bukan ditinggal mati, tapi ditinggal demi cewek lain. Sekarang gue tanya, sakitan mana??? Setidaknya lo ditinggal dengan fakta bahwa Citra sangat sayang sama lo. Dia pergi bukan karena dia udah ga sayang sama lo, dia pergi bukan karena dia sayang sama cowok lain. Tapi gue??? Bayangin Ken! Sakitan mana?".
Ken duduk kembali di kursi. Ia terlihat tertunduk. Sedangkan aku berurai air mata. Luka dua tahun lalu yang selama ini berhasil tertutup karena semangat dari Ken, kini terbuka lagi. Perih lagi. Pemberi semangat itu kini justru memaksaku membuka luka lama.
"Dulu lo bilang buat ambil hikmahnya dan tetep lanjutin hidup. Gue lakuin itu Ken, gue lakuin! Tapi sekarang apa yang gue liat? Lo sendiri ga bisa nerapin hal itu. Payah!". Air mataku semakin tak terbendung lagi. Aku segera pergi meninggalkan Ken yang masih tertunduk lemah di Cafe.
***
Satu minggu kemudian.........*Ting nong*
Jumat pagi pukul 9. Ken datang ke rumahku dengan membawa dua koper berukuran besar.
"Mau apa lo? Mau nginep di rumah gue? Ini rumah, bukan tempat pengungsian. Pulang sana!".
"Apa sih lo ga jelas. Gue mau pamit".
"Loh, pamit ke mana?".
"Gue mau lanjut S2 di Belanda. Alhamdulillah akhirnya keterima juga tahun ini".
"SERIUSSS??". Aku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, Ken dan keluarganya sangat terobsesi dengan negara tersebut. Dan Ken adalah anggota keluarga pertama yang akan menginjakan kaki di Belanda. Ini Amazing!
"Iyaaaaaaaaa". Teriak Ken dengan wajah sumringah
"Berapa lama di sana?".
"Hemm sekitar 2 tahun".
"DUA TAHUN???" Aku histeris
"Eh biasa aja kali, kenapa deh?".
"Itu lama banget ya!". Awalnya aku bahagia, tapi kini aku sedih. Dua tahun tidak bisa bertemu dengan Ken? Apa jadinya aku ini?
"Udah deh jangan sok sedih ga jelas. Mending sekarang lo anterin gue ke Bandara. Mama Papa gue udah nunggu tuh di mobil. Ayo anteeerr".
"Ogah ah! gue mau ngerjain paper!" Jawabku ketus.
"Idih temen lo bakal pergi jauh naik pesawat nih. Kalo pesawatnya kenapa-kenapa gimana? Jatoh di laut trus gue masuk ke daftar orang hilang, trus kita ga bisa ketemu lagi, trusss.....".
"Ehhh udah-udah, kok imajinasi lo nyeremin sih. Iya iya gue temenin. Ayo".
***
Dua tahun bukan hal yang singkat, apalagi jika dibebani dengan sebuah rindu. Selama dua tahun Ken kuliah S2 di Belanda, aku selalu saling berkirim e-mail dengannya setiap hari. Ken selalu menceritakan hal-hal baru yang ia dapat dari kampusnya. Dari kejadian menakjubkan sampai kejadian konyol sekalipun. Ken terlihat sangat bahagia di sana. Sesekali ia mengirimkan foto bersama teman-temannya. Akupun begitu, selama dua tahun ini banyak penelitian yang kulakukan dan aku selalu memaksa Ken untuk membaca paper yang baru saja aku publikasikan. Aku tau Ken tidak mengerti itu, tapi ia selalu berusaha mengerti. Minimal ia paham judul dari papernya saja, itu sudah sangat membanggakan.
Hingga pada suatu hari e-mail masuk tengah malam. Kebetulan aku masih terjaga karena memang tak bisa tidur sejak kemarin.
Ken ; "Intan, sekarang lo lagi sama siapa?".
Intan : "Hah? maksudnya?".
Ken : "Hmm maksudnya pacar, udah punya pacar baru?".
Intan : "Haha pacar itu apa?".
Ken : "Jadi masih sendiri?".
Intan : "Yaelah pake ditanya. Kenapa deh?".
Ken : "Jomblo?".
Intan : "Iya ih berisik!".
Ken : "Kasian udah 25 tahun masih jomblo"
Intan : "Apaan sih lo ga jelas".
Keesokan harinya...........
"Intan, ada tamu tuh". Kata mama ketika masuk ke kamarku.
"Siapa Ma?".
"Liat aja sendiri".
"Siapa deh?". Aku beranjak dari tempat tidur karena penasaran dengan tamu yang hadir dan segera menuju ke ruang tamu. Betapa terkejutnya aku melihat Ken bersama orang tuanya yang sedang duduk di sana. Ken!
"KEN!! Aaaaaaaaaa lo udah pulang???? Kok ga bilang-bilang?". Aku histeris sambil menghampiri mereka dan duduk di sofa.
"Tuh liat deh Ma, Pa, dia selebay itu kan ya. Yakin mau jadiin dia menantu?". Ken tidak menanggapi ucapanku barusan. Ia malah membicarakan hal aneh pada orang tuanya.
"Ha? Apa? Menantu? Emang om tante punya anak cowo yang lain?". Tanyaku heran
"Anak cowok lain yang mana to ndo Intan? Ya cuma Ken anak tante satu-satunya. Anak kesayangan". Ibunya Ken tersenyum-senyum tak jelas sambil terus mengusap-usap bahu Ken.
"Jadi maksudnya?". Aku semakin bingung. Tetiba rombongan keluarga Ken masuk ke ruang tamu membawa bawaan banyak sekali. Aku yakin itu bukan bawaan biasa. Penuh dengan hiasan. Ah apa ini? Lamaran? Di tengah kebingungan itu tetiba Ken memegang tanganku dan...
"Intan, will you marry me?".
"What? Will you apa? Marry itu apa?". Tanyaku sambil tersenyum meledek.
"Euuuh mulai deh lo! Romantis dikit napa!". Ken terlihat kesal. Sedangkan orang tua kami hanya tertawa.
"Ahahaha ini apa sih??". Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku hingga aku meneteskan air mata. Aku hanya bahagia, perasaan rindu selama dua tahun terjawab semua maknanya hari ini.
"Intan, serius dong. Ayolaaah". Ken semakin kesal.
"Ma, Pa, aku mau nikah. Boleh ga?" Aku melirik ke Mama Papa yang duduk di sampingku. Mereka berdua hanya mengangguk dan tersenyum. Dan ada senyuman lain lagi yang lebih sumringah. KEN!
THE END
Lemon is Lemon
Luka is Luka, yaudah emang namanya luka. Rasanya sakit. Tapi, bukan berarti ga bisa sembuh kan?
Jodoh is jodoh, yaudah emang namanya jodoh. Kalo jodoh emang ga akan kemana kan?
REDROSE @2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar