Pagi-pagi sekali aku bergegas menuju bandara dengan mobil sedan putihku. Aku fokus di balik kemudi sambil sesekali melirik jam di tangan kiriku. Kurasa ini hal yang salah, karena setiap kali aku melirik jam tangan, aku akan semakin menambah kecepatan mobilku.
“Dua puluh menit lagi, apa bisa?”. Gumamku sendirian
ketika terjebak macet di lampu merah. Tetiba teringat pesan dari Iwan semalam. Aku
segera meraih handphone yang
kuletakkan di jok samping.
“Assalamu’alaikum,
Aku pamit ya. Besok akan pulang ke Kalimantan. Aku naik pesawat penerbangan
pertama besok pagi, pukul 7.30 WIB.
Doakan semoga selamat sampai tujuan. Aamiin. Wassalamu’alaikum”
Berkali-kali aku baca pesan dari Iwan tersebut
hingga akhirnya suara klakson mobil di belakangku menyadarkan lamunanku. Hmm
sudah hijau rupanya. Aku kembali melaju dengan kecepatan kencang, kali ini
lebih kencang dari sebelumnya.
***
Hal pertama yang kulakukan ketika menginjakkan kaki
di bandara adalah melihat jam tangan.
“7. 25. Haft hanya tersisa 5 menit. Masih
mungkinkah?”. Gumamku sendirian sambil berjalan cepat menuju gate in. Suasana
bandara begitu ramai pagi ini. Terang saja begitu, 2 hari lagi masuk bulan Ramadhan.
Pasti banyak orang yang ingin pergi ke kampung halaman, termasuk Iwan. Iwan
adalah teman dekatku di kampus. Ya kami dekat. Namun, satu minggu yang lalu
sesuatu terjadi di antara kami. Hal tersebut membuat kami tidak berkomunikasi
hingga hari ini. Terakhir, pesan yang kemarin kubaca adalah pesan pamit
darinya. Ini menyedihkan.
Aku msaih berlari dan terus berlari hingga akhirnya
langkahku terhenti. Aku mengatur napasku yang terengah-engah sambil melihat ke
sekeliling. Ramai. Ramai sekali. Banyak wajah-wajah asing di sini. Tak ada
satupun wajah yang kukenal, lebih tepatnya yang kucari, Iwan.
7.35!
Aku semakin putus asa. Pesawatnya pasti sudah
tinggal landas. Kurasakan lemas di sekujur tubuhku. Jika tidak sedang di tempat
ramai, mungkin saat ini aku akan segera duduk tergeletak di lantai. Satu hal
yang paling kusesali adalah mengapa semalam aku tidak langsung membalas
pesannya? Bahkan untuk sekadar mengucapkan “Hati-hati di jalan” pun aku tak
mampu.
Langkah kaki ini terasa semakin berat. Aku melangkah
perlahan sambil berharap ada sesuatu yang membawaku pulang dengan cepat dari
tempat memilukan ini. Dengan langkah gontai, tanpa sengaja tas kecil yang
kubawa terjatuh ke lantai. Aku berusaha meraihnya dengan sisa tenaga yang
kupunya. Namun seseorang telah mendahuluiku untuk mengambilnya.
“Kau?? Sedang apa kau di sini?”. Tanyaku heran
ketika melihat pria berjaket coklat dengan sorotan mata yang kukenal berdiri di
depanku sekarang.
“Aku? Harusnya aku yang bertanya. Sedang apa kau di
sini? Mau pergi ke mana?”. Pria itu malah balik bertanya padaku dengan ekspresi
yang tak kalah terkejutnya denganku.
“Jawab dulu pertanyaanku, Wan. Bukankah pesawatmu
sudah tinggal landas sejak 10 menit yang lalu?”.
“Pesawatku?? Hooo iya memang sudah tinggal landas,
tapi pesawatku bukan yang itu. Jadwalnya nanti jam 9.30 WIB”. Iwan menjelaskan
sambil tertawa kecil.
“Tapi semalam kau bilang….. Pesawatmu itu jam… tapi
semalam….”. Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku dengan benar. Air mata mulai
menggenang di mataku.
“Hmm maaf aku membohongimu tentang itu.
Sebenarnya….. ini”. Katanya tidak meneruskan apa yang ingin ia ucapkan. Ia
memberikan sebuah tiket penerbangan padaku.
“Tiket? Tiket siapa?”. Tanyaku heran sambil menerima
tiket tersebut dari tangannya.
“Untukmu. Kita berdua akan ke Kalimantan hari ini”.
Iwan tersenyum manis padaku.
“Apa-apaan ini? Kau ini lupa atau apa? Bukankah
kita…….”. Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Iwan sudah berbicara
kembali.
“Rilla, meskipun semalam kau tidak membalas pesanku,
aku yakin pagi ini kau pasti akan ke bandara untuk mengucapkan selamat tinggal
padaku. Wah ternyata benar kan kau ke sini. Dan ide kebohongan itu sebenarnya
adalah ide Ayah dan Ibumu. Mereka ingin memberikan kejutan padamu”. Kini senyum
Iwan semakin melebar.
“Ayah dan Ibu? Kejutan? Jadi kita?”. Air mata yang
sejak tadi menggenang sudah tak bisa tertahan lagi, kini aku berurai air mata
sambil tersenyum bahagia.
“Hmm iya. Sesuai janjiku, aku akan kenalkan kau
kepada orang tuaku di Kalimantan. Masalah keberangkatan sudah kuurus. Ayah dan Ibumu akan datang nanti ke sini membawakan pakaian untukmu. Jadi kau tidak
usah khawatir. Cukup ikut saja denganku”.
“Wan, kau yakin dengan semua ini?”. Tanyaku sambil
menunduk.
“Insya Allah yakin. Hingga hari ini, sejauh inilah usahaku
untuk kita. Aku akan sisakan usahaku untuk menghadapi orang tuaku nanti. Kau
juga terus berusaha ya, semangat Rilla”.
“Terima kasih, Wan. Insya Allah”.
Kisah ini hanya imajinasi seorang redrose belaka yang terinspirasi dari kisah 'hampir' nyata seorang sahabat. Menulis itu kadang merangkai masa depan, bukan? Menulis itu harapan. -Redrose
Tidak ada komentar:
Posting Komentar