Halaman

Kamis, 11 Februari 2016

Januari

[Sumber foto: justwaluyo.blogspot.com]


Maret 2018

Kota Bandung masih sama seperti biasanya, ramai lancar dengan kesejukan yang bersahaja. Pagi ini adalah pagi pertamaku disambut mentari dari ufuk timur Kota Pasundan ini.

Bandung.
Sebuah keputusan terbesar yang pernah kuputuskan dalam hidup selama 24 tahun. Berhijrah. Lalu mengapa Bandung? Entahlah. Mungkin karena aku terlalu mengagumi sosok Ridwan Kamil yang sangat eksis di Media Sosial itu, atau mungkin karena pesona Bandung yang terkenal dengan para mojang dan jajakanya yang menawan. Entah. Yang pasti di sinilah aku hari ini. Di sebuah rumah kontrakan sederhana berbekal uang gajiku saat bekerja di sebuah Lembaga Penelitian di Jakarta selama dua tahun terakhir.

“Hallo, iya Mah aku udah di Bandung. Baru tiba semalam”. Orang pertama yang menghubungiku di Bandung adalah ibuku. Orang yang paling melarang kepergianku namun tidak bisa berbuat apa-apa ketika anak bungsunya ini memohon dengar air mata berurai di pipi.
“Kirimin alamat kontrakan kamu ya, tiap minggu Papah dan Mamah akan berkujung ke sana”. Suaranya terdengar biasa saja, tapi aku bisa merasakan aura khawatir yang sangat besar di hatinya.
“Iya iya, kabari aja setiap mamah mau ke sini ya”.
“Oiya, tadi ada Adrian ke rumah”.
“Iyakah? Trus mamah bilang apa?”. Seketika keringat dingin mengucur disekujur tubuhku.
“Mamah bilang kamu pindah ke Bandung lah”.

***
Januari 2016

Warna langit kota Depok sangat tidak bersahabat hari ini. Terlalu gelap untuk ukuran jam 1 siang. Terlalu kelam untuk hati yang tengah temaram. Bagaimana tidak temaram, di semester mendekati akhir ini aku justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Yak, aku tidak lulus mata kuliah wajib di kampus. Matilah. Bebanku semakin bertambah saja di tahun terakhir nanti.

“Udahlah Han, jangan dipikirin terus. Semester depan bisa lu perbaiki lagi kan. Ayolah nikmatin liburan dulu”.  Stella datang membawakan es teh ke mejaku. Kantin hari ini tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang makan dan sekumpulan anak-anak fakultas sebelah yang bermain gitar sambil menyanyi di pojokan kantin.
“Hmm entahlah gue bisa menikmati liburan atau enggak nanti. Gak mood banget nih”.
“Jangan gitu, lebay ah. Semangat dong. Dunia belum kiamat kali kalau lo gak lulus satu mata kuliah”.
“Bukan itu. Ah sok tau as always nih Stella”. Aku meneguk es teh yang ternyata rasanya sudah tidak dingin lagi. Kulirik hingga ke dasar gelas, tak ada satupun es batu yang tersisa di sana Semuanya sudah mencair. Seketika aku menghela napas dan bergumam sendirian. “Haft, bahkan es teh aja bikin bête”.
“Dih lo kenapa sih sebenernya Hana?”. Stella dengan wajah kesalnya yang khas mulai kebingungan karena tingkahku.
“Gak ada apa-apa. Sudah, lupakan saja”.
“Alay lo. Bodo ah. Sekarang dengerin gue. Kania ngajak kita liburan ke Malang, lo mau ikut gak?”. Sosok wanita di hadapanku sekarang ini adalah pecinta traveling dan lihatlah wajahnya sekarang. Dia sumringah sekali ketika membahas tentang liburan ke Malang. Padahal semenit yang lalu wajahnya merengut kesal. Ah, andai dia tahu betapa menyebalkannya ekspresi wajah kesalnya itu.
“Malang? Kapan? Bertiga aja? Naik apa?”. Tanyaku dengan nada datar.
“Uceeet nanya mele. Iya, minggu depan, berempat, naik mobil Adrian. Tuh jawaban atas semua pertanyaan lo”. Stella tertawa puas di akhir kalimatnya
“Wait, berempat? Naik mobil Adrian? Jangan bilang orang keempatnya itu Adrian??”. Tanyaku penasaran.
“Betul sekalih nyonya es teh”.
“Hmm lo yang ngajak Adrian?”.
“Enggaklah, gue mana berani. Kania tuh yang ngajak doi. Jadi gimana? Lo ikut kan?”. Stella menatapku dengan tatapan penuh harap.
“Hmm gue pikir-pikir dulu”.
“Dih kok gitu? Tumben banget. Biasanya diajak kemanapun hayo hayo aja lo”.
“Terserah gue lah. Lagian biasanya kan kita pergi bertiga doang. Tapi ini berempat”.
“Emang kenapa kalo berempat? Lo ada masalah sama Adrian? Kan dia temen deket kita juga”.
“Gak, gak ada apa-apa. Cuma heran aja kok”.
“Yaelaaah gak usah heran kali. Lo kan tau sendiri Adrian lagi PDKT sama Kania”.

Deg……….
Pernah merasakan bumi berhenti berputar dan seolah kakimu tak menapak dengan tanah? Itu yang aku rasakan sekarang. Mengambang. Lalu pikiranku melayang entah kemana. Ternyata kecurigaanku akhir-akhir ini benar.  
Stella, Kania, dan aku. Kami bertiga adalah sahabat karib sejak awal masuk kuliah. Karakter kami berbeda-beda, bahkan sangat berbeda. Aku cenderung pendiam walau sebenarnya aku yang paling sering menjadi bahan bully-an mereka. Aku tidak pandai mengungkapkan pendapat karena aku terlalu takut untuk bicara. Aku selalu merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi, bersama Stella dan Kania, aku bisa melakukan banyak hal. Stella, wanita dengan nama yang sama dengan produk pengharum ruangan ini lebih abstrak kepribadiannya. Bicaranya sering ngelantur alias senang membuat lelucon. Cenderung cuek dengan segala pandangan orang lain tentangnya yang mengatakan bahwa dia alay dan sering tidak jelas. Dia terlihat sangat menikmati kepribadian anehnya itu. Tapi justru itulah yang menjadikan Stella sosok yang menyenangkan buatku. Walau dialah yang paling sering mem-bully aku dengan segala lelucon anehnya itu. Terakhir tapi tetap yang terbaik, Kania. Orang pertama yang menyapaku saat aku tengah kebingungan di tengah hamparan mahasiswa baru di Balairung UI. Orang pertama yang membuatku berani tersenyum lebar pada sosok yang baru kukenal. Malaikat tanpa sayap yang Tuhan kirimkan untuk membantuku melewati masa-masa orientasi kampus yang membuat dadaku sesak. Ya, Kania adalah orangnya. Kepribadiannya mendekati sempurna jika dibandingkan denganku. Akademis, organisasi, pergaulan? Jangan ditanya. Dia ahli dalam segala bidang. Dibandingkan dengan aku dan Stella, Kania adalah mahasiswa yang popular di Fakultas. Siapa yang tidak kenal Kania? Tidak ada. Hampir semua mahasiswa di Fakultas kami mengenalnya. Terlebih setelah ia menjabat sebagai wakil ketua BEM Fakultas. Haft, aku menjadi seperti butiran debu jika dibandingkan dengannya. Tapi Kania tidak pernah sombong, ia tak pernah merasa tinggi. Itulah yang aku suka darinya. Satu-satunya hal yang tidak kusuka darinya hanyalah kesibukannya yang melebihi kesibukan Presiden Indonesia.

Hampir empat tahun berlalu, persahabatan kami semakin erat. Tapi sebenarnya hatiku merasa terjerat. Rasanya seperti mulai ada jarak antara kami, terutama dengan Kania. APakah karena Kania terlalu sibuk? Kurasa tidak.

“Hubungan lu sama Sammy gimana? Ada perkembangan?”. Tanyaku pada Kania yang tengah asyik di depan laptopnya.
“Perkembangan apaan? Udah putus mah putus aja, apalagi yang mau dikembangin? Mendingan kita nanem kembang. Wangi. Yuk! Yuk!”. Jawab Kania asal.
“Dih seriusan gue nanyanya. Abisnya keliatannya dia masih hubungin lu terus tuh”.
“Biarin aja. Ntar juga dia capek sendiri. Udah putus 3 tahun loh ini. Tahun depan juga dia capek palingan”.
“Emang lu udah gak sayang lagi sama dia?”.
“Hemm gimana ya? Entahlah”.
“Atau lu lagi sayang sama orang lain?”.
“Hmm yang ini sulit sekali pertanyaannya”. Kania menatapku dengan serius. Padahal sejak tadi ia fokus pada layar laptopnya.
“Kenapa?”.
“Sepertinya memang iya”. Jawab Kania mantap.
“Iya apa?”.
“Iya, gue lagi sayang sama orang lain”. Lalu Kania menundukkan kepalanya.
“Siapa?”. Tanyaku dengan nada yang semakin penasaran.
“Belum waktunya gue ceritain”. Kania pun tertawa sejadi-jadinya. Ia tak menghiraukan ekspresi wajahku yang mulai merasa memang ada sesuatu yang terjadi di antara Kania dan Adrian. Hari itu aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku terlalu sedih untuk membayangkan segala kemungkinan buruk yang terjadi.
Tuhan, ada apa denganku? Mengapa rasanya sakit mengetahui bahwa orang yang kusayangi juga ada yang menyayangi? Terlebih ia adalah sahabatku sendiri. Aku harus apa? Jika memang aku dan Adrian tidak ditakdirkan untuk bersama, lalu apa maksud dari segala kedekatanku dengan Adrian selama hampir 4 tahun ini? Atau, mengapa Kau pertemukan aku dengannya 25 Januari 2012 lalu?


25 Januari 2012

Hujan di Bulan Januari selalu mendapat gelar paling awet sepanjang tahun. Sejak subuh hujan enggan mereda hingga jam 7 pagi seperti ini pun matahari enggan menampakkan sinarnya. Suara hujan yang terdengar samar-samar ini membuatku enggan beranjak dari kasur. Tapi suara Ibu yang melengking memaksaku untuk segera bangun dan bergegas memakai seragam. Try Out Ujian Nasional pertama yang membuatku mulai merasa tengah menjadi siswa kelas 12 semester akhir. Akhirnya dengan segala niat yang berusaha kukumpulkan, akupun berangkat ke SMA 1 tempat diselenggarakannya Try Out gabungan. Setibanya di sana, aku kebingungan. Sekolah ini lebih luas dibandingkan dengan sekolah ku di SMA 3. Gedungnya lebih tinggi dan lebih rumit. Keputusan yang sangat salah untuk berangkat sendirian tanpa berbarengan dengan teman sekelasku. Ah. Aku menggerutu sendirian di tengah lapangan. Aku harus ke mana?
“Hallo, siswi SMA 3 ya?”. Tetiba suara seorang pria terdengar dari belakangku.
“Ah hah? Kok tahu”. Jawabku sedikit gelagapan.
“Hehe itu kana da tulisannya di batik lo”. Kata pria itu menunjuk ke arah batik yang kukenakan.
“He he he iya bener juga”. Aku baru sadar kalau seragam yang harus digunakan pada Try Out ini adalah batik sekolah masing-masing.
“Hoo berarti lo anak SMA 1 ya?”. Lanjutku kemudian sambil menunjuk ke arah batiknya. Pria yang tingginya sekitar 170 cm itu tampak manis dengan kacamata dan rambut pendek yang sedikit ikal. Kulitnya putih dan caranya menggunakan seragam rapi sekali.
“Iyalah haha”. Dia menjawab diiringi tawa yang sumringah. Manis sekali. Ah bicara apa aku ini.
“Ah iya kebetulan gue menemukan penghuni sekolah ini. Ruangan B23 itu di sebelah mana deh? Dari tadi gue muter-muter gak ketemu”.
“Nah justru karena itu gue nyamperin lo”.
“Hah? Maksudnya?”. Tanyaku heran.
“Muka lo kaya orang kebingungan dari tadi gue perhatiin. Bukannya nanya orang malah berdiri di sini. Kan aneh”.
“Hehehe begitulah gue. Pemalu”. Jawabku tertunduk.
“Oke oke. Sini gue anter ke ruang B23. Kebetulan gue juga dapet ruangan di sana kok. Jadi, kalo angka depannya 2, itu artinya ruangan itu ada di lantai 2”.
“Hoo gitu, pantesan gue kan tadi Cuma muter-muter di lantai 1. Haft, sekolah lo terlalu luas sih”. Aku menghela napas.
“Sekolah lo kali yang terlalu sempit. #eh candaaa”.
“Ah sial”
“Udah yuk buruan ke ruangannya. Udah mau mulai nih. Nanti kita telat”. Kami pun berjalan menuju ke ruangan B23. Di tengah perjalanan aku tak berani memulai percakapan lagi. Pria itu pun hanya fokus pada jalan yang ada di depannya. Sesekali wanita-wanita yang satu sekolah dengannya tersenyum ke arahnya. Tak heran, pria itu sangat manis dan nyaris sempurna.
“Nah, ini dia ruangan kita. Silahkan cari tempat duduk lo”.
“Hmm oke. Makasih”.
“Ya ayo anak-anak segera duduk di kursi masing-masing ya. Try out akan segera dimulai”. Terdengar suara pengawas dari dalam kelas yang ternyata sudah datang terlebih dahulu. Sebelum ke tempat duduk, aku menoleh ke arahnya.
“Nama lo siapa?”.
“Adrian Pratama. Panggil aja Adrian. Lo?”.
“Gue Hana Nabila. Hana”.
“Sip salam kenal, semangat Try Out-nya!”.

Lalu kami pun berjalan menuju tempat duduk kami masing-masing. Adrian duduk di deretan bangku paling depan, sedangkan aku dideretan tengah. Dari tempat ini aku bisa melihat dengan jelas ekspresi seriusnya saat mengerjakan soal. Seketika aku tidak fokus mengerjakan soal Try Out ini. Ah sial.
Dua jam berlalu. Try Out mata pelajaran pertama selesai. Itu artinya sekarang waktunya istirahat. Kucoba menghubungi temanku yang satu SMA, tapi tidak ada yang berhasil. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kelas. Lagi pula Ibu membuatkanku bekal makan siang. Jadi aku tidak akan kelaparan di sini. Ternyata ada orang lain yang tidak keluar kelas. Kulihat ia merogoh tasnya dalam-dalam seperti mencari sesuatu. Sedetik kemudian sudah ada kotak makan di tangannya. Tetiba ia menoleh ke arahnku dan mendapatiku tengah memandangi tingkahnya. Dengan cepat aku segera menunduk pura-pura sibuk membuka kotak bekalku.

“Wah bawa bekal juga. Makan bareng deh yuk. Boleh duduk di sini?”. Adrian menghapiriku.
“Boleh boleh. Hmm jarang loh gue liat cowok bawa bekal makan siang”.
“Gue mah beda. Pasti di sekolah lo ga ada ya. Cowok ana SMA 1 mah beda, Han”. Katanya dilanjutkan dengan tertawa puas.
“Mulai deh banding-bandingin sekolah lagi”. Gerutuku kesal
“Sorry, bercanda. Gue emang selalu bawa bekal. Nyokap rajin masak pagi soalnya. Ga enak kan kalo ga dibawa. Lagian lebih sehat juga masakan rumahan. Ya gak?”.
“Hem gitu. Sepakat!”. Jawabku singkat.
“Eh lo mau kuliah di mana nanti?”. Deg! Pertanyaan yang paling aku hindari sejak aku dinyatakan naik ke kelas 12.
“Entah”. Jawabku asal.
“Loh kok gitu? Payah nih gak punya masa depan”. Ah siapa sih orang ini? Tadi pagi ramahnya minta ampun, sekarang berani-beraninya mengatakan hal menyakitkan seperti itu.
“Loh kok lo malah gitu. Suka-suka gue lah”.
“Hana, denger yah. Jadi manusia itu harus punya planning”. Ucapnya tegas sambil menatap mataku. “Bahkan, dari lo bangun tidur sampe nanti tidur lagi pun, itu semua harus udah terencana di otak lo. Gak ada tuh istilah kebetulan”. Lanjutnya masih dengan tatapan yang serius. Aku hanya bisa terdiam lalu tertunduk.
“Emang lo mau kuliah di mana?”. Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Di Universitas Indonesia. Universitas impian sejak SMP”.
“Hoo kalo gitu gue juga mau masuk UI”. Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Dih kok ngikutin gue?”.
“Siapa yang ngikutin lo. Emangnya di dunia ini Cuma lo siswa yang universitas impiannya di UI?”.
“Eng…… ga juga sih. Tapi kan tadi lo bilang ga tau mau kuliah di mana. Trus tiba-tiba mau masuk UI pas gue bilang gue mau masuk sana. Emangnya UI itu universitas impian lo juga?”.
“Kemarin bukan, hari ini iya”.
“Wah. Gue speechless nih”. Adrian tertawa lepas sambil menatapku yang tengah tertawa entah lepas atau apa. “Yaudah, semangat ya kita”. Lanjutnya kemudian setelah tawanya terhenti.

Kita? Ah apa maksudnya? Please jangan terbawa perasaan. Itu hal yang wajar. Namun perasaan tetaplah perasaan. Suatu hal gaib yang tidak pernah bisa dibohongi. Rasanya aku seperti menemukan cahaya baru. Cahaya yang mulai mempelihatkan jalanku menuju suatu tempat yang selama ini mereka bilang masa depan.
Detik berganti menjadi menit kemudian bergeser terus menerus menembus batas hari. Pertemuan pertamaku dengan Adrian hanya berakhir pada perbincangan makan siang. Pada Try Out hari kedua aku tidak melihat keberadaan Adrian barang secuil pun. Bangku tempatnya duduk kemarin pun kosong. Aku harus mencari tahu kemana? Tidak tahu. Aku hanya berusaha mencuri dengar dari beberapa wanita yang satu sekolah dengannya. Tapi tetap tidak kutemukan jawaban mengapa Adrian tidak hadir hari ini. Cahaya itu tak menampakkan sinarnya hari ini, bahkan mungkin untuk selamanya. Tidak akan pernah lagi.


6 Agustus 2012

Kaki mungilku melangkah pelan dari Stasiun Pondok Cina. Kereta yang baru saja kunaiki membunyikan klakson tanda bahwa akan segera berangkat kembali. Aku menoleh ke belakang. Dalam hati kukatakan “Aku ingin pulang saja”.  Tapi kakiku tetap melangkah ke depan hingga akhirnya kini aku berdiri tepat di depan Balairung UI. Aku menghela napas sejenak. Terlalu ramai dengan mahasiswa baru di sini, aku salah satunya. Kucoba melihat ke sekeliling mencoba mencari wajah yang kukenal, tapi tidak ada. Kupejamkan mata untuk menguatkan hati agar aku tetap bertahan karena aku sudah sejauh ini, aku sudah berhasil tiba di sini. Universitas yang seketika menjadi universitas impianku dalam waktu hitungan detik. Seketika terngiang ucapan Adrian beberapa bulan lalu “Semangat ya kita”. Aku tersenyum dan bergumam sendirian “Iya gue semangat, dan hari ini gue ada di sini. Lo juga pasti di sini kan?”. Masih dengan mata yang terpejam, kunikmati gumaman penuh kenangan itu. Hingga tetiba ada sebuah benturan keras kurasakan menghantam bahu kananku.
“Aww!! Aku langsung membuka mataku sambil memegangi bahu kananku yang sakit karena ditabrak seseorang.
“Aduh sorry banget. Gak sengaja. Gue lagi buru-buru”. Seorang pria dengan paras yang tak asing bagiku itu menangkupkan kedua tangannya untuk meminta maaf padaku. Sedangkan aku hanya bisa terpaku. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Aku kenal wajah ini. Kulit putihnya, rambut ikalnya, kacamatanya. Aku kenal semua. “Adrian”. Batinku
“Ad……”. Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, pria itu langsung pergi dengan tergesa-gesa menuju kerumunan mahasiswa baru yang dresscode-nya sama denganku. Aku memandanginya dari kejauhan sambil menerka-nerka apakah benar kami satu jurusan atau ia hanya salah dresscode. Tapi, bukan itu yang mengganggu pikiranku sekarang. Aku hanya tidak mengerti mengapa Adrian tidak mengenaliku?

Akhirnya waktu menjawab segala pertanyaan yang menghantuiku selama ini. Pria itu memang benar Adrian. Dan benar ia memang satu jurusan denganku. Lalu bagaimana ia bisa tidak mengenaliku? Itu yang masih menjadi misteri. Satu jurusan dengan Adrian membuatku memiliki kesempatan untuk mengenalinya lebih dekat. Walau Adrian terlihat sangat lupa denganku, aku tidak berusaha membangkitkan kenangan yang selama ini selalu aku simpan. Kami berkenalan layaknya orang yang baru saja bertemu. Kami pun semakin dekat hingga semester akhir. Tapi kami tidak hanya berdua, Adrian juga dekat dengan Stella dan Kania. Sahabatku sejak awal masuk kuliah. Ya, mereka adalah sahabat-sahabat terbaikku, tak terkecuali Adrian. Kami hanya sahabat. Tidak lebih.

Sekarang….

“Lo udah sampe Bandung?”. Suara Stella dari seberang sana membuatku tersenyum sumringah pada pagi kedua di Bandung ini.
“Udeeeeh dari kemariiin. Telat lu nanyanya”.
“Yaelaah maaf deh maaf. Kemarin kan gue sibuk sama acara akikahan Rama. Ga sempet liat HP malah. Syukur deh kalo udah sampe ya. Gimana Bandung? Nyaman di sana?”.
“Hoiya ya kemarin rama diakikah. Lancar acaranya? Suami lo pulang dong kemarin?”.
“Dih malah nanyain yang lain. Bandung aja dulu itu gimana? Betah gak lo?”.
“Betah kok. Kan dari dulu gue emang mau tinggal di sini. Jadi, lancar ga acaranya? Suami lo pulang kan?”.
“Alhamdulillah kalo gitu. Kalo gak betah buruan balik ke Jakarta ya haha. Acara akikah Rama lancar kok. Suami gue pulang, dia izin satu minggu. Dari Kalimantan langsung ke Jakarta kemarin”.
“Wah bagus bagus. Awas aja kalo dia ga pulang, gue cincang-cincang dia haha”.
“Lah ngapa jadi lo yang sewot. Selow lah, untuk urusan keluarga insya Allah dia selalu utamakan. Oiya, ngomong-ngomong soal suami gue itu, gue juga mau kabarin kalo mulai bulan depan gue mau pindah ke Kalimantan. Dia akan dapet dinas tetap di sana. Gak pindah-pindah kota lagi, jadi kami pikir lebih baik sekalian tinggal di sana aja biar Rama ga ditinggalin terus”.
“Duuuh kenapa jadi pada pindah-pindah gini sih?”.
“Dih lo yang mulai duluan sih pindah ke Bandung, gue kan latahan jadi gak betah di Jakarta juga”.
“Sudahlah. Emang lebih baik lo ikut pindah sama suami lo kan daripada LDR-an terus”.
“Yoih. Yaudah ya Rama udah bangun nih. Rewel. Gue tutup dulu. Betah-betah ya di Bandung. Kalo lagi gak sibuk ngobrol-ngobrol lagi nanti”.
“Oke. Salam buat Rama dan suami lo ya. Bye”.
Stella memang sudah menikah sejak satu tahun yang lalu dengan seorang senior dari fakultas sebelah. Suaminya selalu mendapat dinas ke luar kota sehingga jarang di rumah. Jadi, sebenarnya aku senang ketika mereka memutuskan untuk pindah agar selalu serumah. Walaupun aku juga sedih karena itu artinya jarak aku dengan Stella akan semakin jauh saja. Bandung-Kalimantan. Jauh sekali.
Kuletakan ponsel di atas tempat tidur yang sejak kemarin belum sempat kurapikan. Aku segera berganti pakaian untuk menuju kantorku yang baru. Kantor yang sama sekali tak ada kaitannya dengan bidang kuliahku bahkan sangat jauh berbeda dengan kantorku di Jakarta dulu. Kini aku bekerja di suatu perusahaan weding organizer sebagai desainer baju dan desain interior. Memang tidak sesuai dengan bidangku, tapi aku menyukainya.
Tak berapa lama ponselku berdering kembali.
“Kania”. Batinku. Aku terdiam sejenak. Aku bingung apakah ini panggilan yang harus aku jawab atau tidak. Sempat kuabaikan hingga berdering berkali-kali hingga akhirnya kudengar suara yang terdengar sangat marah dari seberang sana.
“Hallo!! Ini Hana kan? Kok lo gak bilang ke gue kalo mau pindah ke Bandung? Kok cuma Stella yang dikasih tau. Lo kenapa sih akhir-akhir ini sikapnya aneh sama gue dan tiba-tiba pindah tanpa pamit”. Kania bertanya tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawab. Sedangkan aku di sini hanya mampu meneteskan air mata sambil berusaha untuk tidak terisak.
“Hallo Kania. Apa kabar?”. Tanyaku singkat tanpa ingin menjawab semua pertanyaan berantainya itu.
“Gue apa kabar? Lo yang apa kabar? Kok aneh sih. Ah!”. Suara Kania terdengar marah sekali padaku. Tapi aku bisa merasakan bahwa ia sebenarnya khawatir.
“Hehe tenang dulu dong. Kan gue Cuma mau kasih kejutan. Eh ternyata lo udah tau duluan. Yaudah”.
“Kejutan apaan. Ini mah kabur namanya”.
“Kabur dari mana? Gak kok. Selow, Jakarta-Bandung kan deket. Main-mainlah ke sini ya nanti abis lo nikahan”. Suaraku terdengar semakin melemah di akhir kalimatku.
“Tau ah pokoknya gue bête sama lo dan Stella. Sok rahasia-rahasiaan dari gue. Heran”. Suara Kania masih terdengar kesal
“Yaudah iya maaf maaf. Btw gimana persiapan pernikahan lo? Maaf ya gue gak bisa bantu karena mulai hari ini udah kerja di kantor yang baru. Bahkan weekend pun tetep ngantor”.
“Iiiiiih makin ngeseliiin. Tapi pas hari-H lo harus dateng yaaa”.
“Ga janji ya”. Jawabku lemah.
“Han, lo baik-baik aja kan?”. Nada bicara Kania turut melemah
“Apa maksudnya? Gue ga kenapa-napa kok”.
“Hmm bagus deh. Abisnya lemes gitu dari tadi ngomongnya”.
“Hoo gue belum sarapan hehe. Yaudah ya gue mau sarapan dulu trus berangkat kerja”.
“Oke take care yah di Banduuuung. Byeee”.
“Bye Kaniaa”.
Kuletakan kembali ponsel di atas tempat tidur, kali ini kulempar dengan cukup keras. Tak lama kemudian ponsel itu berdering kembali tanda ada pesan singkat yang masuk. Segera kuraih dan kubaca.
“Oiya gue jadi lupa bilang. Adrian hari ini ke Bandung. Dia di sana untuk 2 minggu karena dapet tugas penyelidikan kasus di sana. Mungkin kalo lo butuh temen di Bandung bisa hubungi dia”. –Kania-
“Loh bukannya minggu depan kalian nikah?”. –Hana-
“Ditunda sampai bulan depan”. –Kania-
Aku tak sanggup membalas pesan singkat Kania lagi. Konspirasi macam apalagi ini? Aku sudah berlari sejauh ini, tapi Adrian malah tetap mendekat. Ah. “Aku tidak boleh bertemu dengan Adrian”. Batinku.
***
Aku adalah manusia dengan gelar Sarjana S1 yang tentu saja tahu bahwa bumi itu sangatlah luas. Tapi ilmu yang kudapat selama 4 tahun kuliah ini tetap saja tidak bisa menjawab mengapa di dunia yang seluas ini aku masih harus bertemu dengan Adrian. Mengapa??
Jujur saja kepindahanku ke Bandung memang sudah aku rencanakan sejak lama. Tapi aku baru berencana pindah tahun depan. Hanya saja kabar pernikahan Kania dan Adrian membuatku merasa ingin pergi secepatnya. Aku terlalu sakit untuk selalu berada di dekat mereka. Sudah cukup kurasakan sakit selama 4 tahun ini, aku ingin segera pergi. Aku lelah pura-pura tersenyum saat sedang bersama mereka. Aku lelah menangis dalam tawa yang riang. Aku lelah berbohong demi kebahagiaan orang lain. Jika harus berkorban, pergi saja. Itu keputusan yang paling tepat bagiku sekarang. Lebih baik pergi dan merasakan sakit yang sesungguhnya daripada tetap tinggal dan merasakan sakit yang terbalut seyuman manis.
“Hana….”.
“Adrian?? Sedang apa kau di sini?”.
“Bekerja. Kau?”
“Bukan. Maksudku sedang apa kau di sini lebih mementingkan pekerjaanmu dan malah menunda pernikahanmu dengan Kania?”.
“Oh itu… Sebenarnya aku ke sini bukan untuk bekerja”.
“Lalu untuk apa?”.
“Untuk mencarimu”.


*Bersambung...........*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar