Kota Bandung masih sama
seperti biasanya, ramai lancar dengan kesejukan yang bersahaja. Pagi ini adalah
pagi pertamaku disambut mentari dari ufuk timur Kota Pasundan ini.
Bandung.
Sebuah keputusan
terbesar yang pernah kuputuskan dalam hidup selama 24 tahun. Berhijrah. Lalu
mengapa Bandung? Entahlah. Mungkin karena aku terlalu mengagumi sosok Ridwan
Kamil yang sangat eksis di Media Sosial itu, atau mungkin karena pesona Bandung
yang terkenal dengan para mojang dan jajakanya yang menawan. Entah. Yang pasti
di sinilah aku hari ini. Di sebuah rumah kontrakan sederhana berbekal uang
gajiku saat bekerja di sebuah Lembaga Penelitian di Jakarta selama dua tahun
terakhir.
“Hallo, iya Mah aku
udah di Bandung. Baru tiba semalam”. Orang pertama yang menghubungiku di
Bandung adalah ibuku. Orang yang paling melarang kepergianku namun tidak bisa
berbuat apa-apa ketika anak bungsunya ini memohon dengar air mata berurai di
pipi.
“Kirimin alamat
kontrakan kamu ya, tiap minggu Papah dan Mamah akan berkujung ke sana”. Suaranya
terdengar biasa saja, tapi aku bisa merasakan aura khawatir yang sangat besar
di hatinya.
“Iya iya, kabari aja
setiap mamah mau ke sini ya”.
“Oiya, tadi ada Adrian
ke rumah”.
“Iyakah? Trus mamah
bilang apa?”. Seketika keringat dingin mengucur disekujur tubuhku.
“Mamah bilang kamu
pindah ke Bandung lah”.
***
Januari
2016
Warna langit kota Depok
sangat tidak bersahabat hari ini. Terlalu gelap untuk ukuran jam 1 siang.
Terlalu kelam untuk hati yang tengah temaram. Bagaimana tidak temaram, di semester
mendekati akhir ini aku justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Yak, aku tidak
lulus mata kuliah wajib di kampus. Matilah. Bebanku semakin bertambah saja di
tahun terakhir nanti.
“Udahlah Han, jangan
dipikirin terus. Semester depan bisa lu perbaiki lagi kan. Ayolah nikmatin
liburan dulu”. Stella datang membawakan
es teh ke mejaku. Kantin hari ini tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa
mahasiswa yang makan dan sekumpulan anak-anak fakultas sebelah yang bermain
gitar sambil menyanyi di pojokan kantin.
“Hmm entahlah gue bisa
menikmati liburan atau enggak nanti. Gak mood banget nih”.
“Jangan gitu, lebay ah.
Semangat dong. Dunia belum kiamat kali kalau lo gak lulus satu mata kuliah”.
“Bukan itu. Ah sok tau
as always nih Stella”. Aku meneguk es teh yang ternyata rasanya sudah tidak
dingin lagi. Kulirik hingga ke dasar gelas, tak ada satupun es batu yang tersisa
di sana Semuanya sudah mencair. Seketika aku menghela napas dan bergumam
sendirian. “Haft, bahkan es teh aja bikin bête”.
“Dih lo kenapa sih
sebenernya Hana?”. Stella dengan wajah kesalnya yang khas mulai kebingungan
karena tingkahku.
“Gak ada apa-apa.
Sudah, lupakan saja”.
“Alay lo. Bodo ah.
Sekarang dengerin gue. Kania ngajak kita liburan ke Malang, lo mau ikut gak?”.
Sosok wanita di hadapanku sekarang ini adalah pecinta traveling dan lihatlah
wajahnya sekarang. Dia sumringah sekali ketika membahas tentang liburan ke
Malang. Padahal semenit yang lalu wajahnya merengut kesal. Ah, andai dia tahu
betapa menyebalkannya ekspresi wajah kesalnya itu.
“Malang? Kapan? Bertiga
aja? Naik apa?”. Tanyaku dengan nada datar.
“Uceeet nanya mele.
Iya, minggu depan, berempat, naik mobil Adrian. Tuh jawaban atas semua
pertanyaan lo”. Stella tertawa puas di akhir kalimatnya
“Wait, berempat? Naik
mobil Adrian? Jangan bilang orang keempatnya itu Adrian??”. Tanyaku penasaran.
“Betul sekalih nyonya
es teh”.
“Hmm lo yang ngajak
Adrian?”.
“Enggaklah, gue mana
berani. Kania tuh yang ngajak doi. Jadi gimana? Lo ikut kan?”. Stella menatapku
dengan tatapan penuh harap.
“Hmm gue pikir-pikir
dulu”.
“Dih kok gitu? Tumben
banget. Biasanya diajak kemanapun hayo hayo aja lo”.
“Terserah gue lah.
Lagian biasanya kan kita pergi bertiga doang. Tapi ini berempat”.
“Emang kenapa kalo
berempat? Lo ada masalah sama Adrian? Kan dia temen deket kita juga”.
“Gak, gak ada apa-apa.
Cuma heran aja kok”.
“Yaelaaah gak usah
heran kali. Lo kan tau sendiri Adrian lagi PDKT sama Kania”.
Deg……….
Pernah merasakan bumi
berhenti berputar dan seolah kakimu tak menapak dengan tanah? Itu yang aku rasakan
sekarang. Mengambang. Lalu pikiranku melayang entah kemana. Ternyata
kecurigaanku akhir-akhir ini benar.
Stella, Kania, dan aku.
Kami bertiga adalah sahabat karib sejak awal masuk kuliah. Karakter kami
berbeda-beda, bahkan sangat berbeda. Aku cenderung pendiam walau sebenarnya aku
yang paling sering menjadi bahan bully-an mereka. Aku tidak pandai
mengungkapkan pendapat karena aku terlalu takut untuk bicara. Aku selalu merasa
tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi, bersama Stella dan Kania, aku bisa melakukan
banyak hal. Stella, wanita dengan nama yang sama dengan produk pengharum
ruangan ini lebih abstrak kepribadiannya. Bicaranya sering ngelantur alias
senang membuat lelucon. Cenderung cuek dengan segala pandangan orang lain
tentangnya yang mengatakan bahwa dia alay dan sering tidak jelas. Dia terlihat
sangat menikmati kepribadian anehnya itu. Tapi justru itulah yang menjadikan
Stella sosok yang menyenangkan buatku. Walau dialah yang paling sering mem-bully
aku dengan segala lelucon anehnya itu. Terakhir tapi tetap yang terbaik, Kania.
Orang pertama yang menyapaku saat aku tengah kebingungan di tengah hamparan
mahasiswa baru di Balairung UI. Orang pertama yang membuatku berani tersenyum
lebar pada sosok yang baru kukenal. Malaikat tanpa sayap yang Tuhan kirimkan
untuk membantuku melewati masa-masa orientasi kampus yang membuat dadaku sesak.
Ya, Kania adalah orangnya. Kepribadiannya mendekati sempurna jika dibandingkan
denganku. Akademis, organisasi, pergaulan? Jangan ditanya. Dia ahli dalam
segala bidang. Dibandingkan dengan aku dan Stella, Kania adalah mahasiswa yang
popular di Fakultas. Siapa yang tidak kenal Kania? Tidak ada. Hampir semua
mahasiswa di Fakultas kami mengenalnya. Terlebih setelah ia menjabat sebagai
wakil ketua BEM Fakultas. Haft, aku menjadi seperti butiran debu jika
dibandingkan dengannya. Tapi Kania tidak pernah sombong, ia tak pernah merasa
tinggi. Itulah yang aku suka darinya. Satu-satunya hal yang tidak kusuka
darinya hanyalah kesibukannya yang melebihi kesibukan Presiden Indonesia.
Hampir empat tahun
berlalu, persahabatan kami semakin erat. Tapi sebenarnya hatiku merasa
terjerat. Rasanya seperti mulai ada jarak antara kami, terutama dengan Kania.
APakah karena Kania terlalu sibuk? Kurasa tidak.
“Hubungan lu sama Sammy
gimana? Ada perkembangan?”. Tanyaku pada Kania yang tengah asyik di depan
laptopnya.
“Perkembangan apaan?
Udah putus mah putus aja, apalagi yang mau dikembangin? Mendingan kita nanem
kembang. Wangi. Yuk! Yuk!”. Jawab Kania asal.
“Dih seriusan gue
nanyanya. Abisnya keliatannya dia masih hubungin lu terus tuh”.
“Biarin aja. Ntar juga
dia capek sendiri. Udah putus 3 tahun loh ini. Tahun depan juga dia capek
palingan”.
“Emang lu udah gak
sayang lagi sama dia?”.
“Hemm gimana ya?
Entahlah”.
“Atau lu lagi sayang
sama orang lain?”.
“Hmm yang ini sulit
sekali pertanyaannya”. Kania menatapku dengan serius. Padahal sejak tadi ia
fokus pada layar laptopnya.
“Kenapa?”.
“Sepertinya memang
iya”. Jawab Kania mantap.
“Iya apa?”.
“Iya, gue lagi sayang
sama orang lain”. Lalu Kania menundukkan kepalanya.
“Siapa?”. Tanyaku
dengan nada yang semakin penasaran.
“Belum waktunya gue
ceritain”. Kania pun tertawa sejadi-jadinya. Ia tak menghiraukan ekspresi
wajahku yang mulai merasa memang ada sesuatu yang terjadi di antara Kania dan
Adrian. Hari itu aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku terlalu sedih
untuk membayangkan segala kemungkinan buruk yang terjadi.
Tuhan, ada apa denganku?
Mengapa rasanya sakit mengetahui bahwa orang yang kusayangi juga ada yang
menyayangi? Terlebih ia adalah sahabatku sendiri. Aku harus apa? Jika memang
aku dan Adrian tidak ditakdirkan untuk bersama, lalu apa maksud dari segala
kedekatanku dengan Adrian selama hampir 4 tahun ini? Atau, mengapa Kau
pertemukan aku dengannya 25 Januari 2012 lalu?
25
Januari 2012
Hujan di Bulan Januari
selalu mendapat gelar paling awet sepanjang tahun. Sejak subuh hujan enggan
mereda hingga jam 7 pagi seperti ini pun matahari enggan menampakkan sinarnya. Suara
hujan yang terdengar samar-samar ini membuatku enggan beranjak dari kasur. Tapi
suara Ibu yang melengking memaksaku untuk segera bangun dan bergegas memakai
seragam. Try Out Ujian Nasional pertama yang membuatku mulai merasa tengah
menjadi siswa kelas 12 semester akhir. Akhirnya dengan segala niat yang
berusaha kukumpulkan, akupun berangkat ke SMA 1 tempat diselenggarakannya Try
Out gabungan. Setibanya di sana, aku kebingungan. Sekolah ini lebih luas
dibandingkan dengan sekolah ku di SMA 3. Gedungnya lebih tinggi dan lebih
rumit. Keputusan yang sangat salah untuk berangkat sendirian tanpa berbarengan
dengan teman sekelasku. Ah. Aku menggerutu sendirian di tengah lapangan. Aku
harus ke mana?
“Hallo, siswi SMA 3
ya?”. Tetiba suara seorang pria terdengar dari belakangku.
“Ah hah? Kok tahu”.
Jawabku sedikit gelagapan.
“Hehe itu kana da
tulisannya di batik lo”. Kata pria itu menunjuk ke arah batik yang kukenakan.
“He he he iya bener
juga”. Aku baru sadar kalau seragam yang harus digunakan pada Try Out ini
adalah batik sekolah masing-masing.
“Hoo berarti lo anak
SMA 1 ya?”. Lanjutku kemudian sambil menunjuk ke arah batiknya. Pria yang
tingginya sekitar 170 cm itu tampak manis dengan kacamata dan rambut pendek
yang sedikit ikal. Kulitnya putih dan caranya menggunakan seragam rapi sekali.
“Iyalah haha”. Dia
menjawab diiringi tawa yang sumringah. Manis sekali. Ah bicara apa aku ini.
“Ah iya kebetulan gue
menemukan penghuni sekolah ini. Ruangan B23 itu di sebelah mana deh? Dari tadi
gue muter-muter gak ketemu”.
“Nah justru karena itu
gue nyamperin lo”.
“Hah? Maksudnya?”.
Tanyaku heran.
“Muka lo kaya orang
kebingungan dari tadi gue perhatiin. Bukannya nanya orang malah berdiri di
sini. Kan aneh”.
“Hehehe begitulah gue.
Pemalu”. Jawabku tertunduk.
“Oke oke. Sini gue
anter ke ruang B23. Kebetulan gue juga dapet ruangan di sana kok. Jadi, kalo
angka depannya 2, itu artinya ruangan itu ada di lantai 2”.
“Hoo gitu, pantesan gue
kan tadi Cuma muter-muter di lantai 1. Haft, sekolah lo terlalu luas sih”. Aku
menghela napas.
“Sekolah lo kali yang
terlalu sempit. #eh candaaa”.
“Ah sial”
“Udah yuk buruan ke
ruangannya. Udah mau mulai nih. Nanti kita telat”. Kami pun berjalan menuju ke
ruangan B23. Di tengah perjalanan aku tak berani memulai percakapan lagi. Pria
itu pun hanya fokus pada jalan yang ada di depannya. Sesekali wanita-wanita yang
satu sekolah dengannya tersenyum ke arahnya. Tak heran, pria itu sangat manis
dan nyaris sempurna.
“Nah, ini dia ruangan
kita. Silahkan cari tempat duduk lo”.
“Hmm oke. Makasih”.
“Ya ayo anak-anak
segera duduk di kursi masing-masing ya. Try out akan segera dimulai”. Terdengar
suara pengawas dari dalam kelas yang ternyata sudah datang terlebih dahulu.
Sebelum ke tempat duduk, aku menoleh ke arahnya.
“Nama lo siapa?”.
“Adrian Pratama.
Panggil aja Adrian. Lo?”.
“Gue Hana Nabila.
Hana”.
“Sip salam kenal, semangat
Try Out-nya!”.
Lalu kami pun berjalan
menuju tempat duduk kami masing-masing. Adrian duduk di deretan bangku paling
depan, sedangkan aku dideretan tengah. Dari tempat ini aku bisa melihat dengan
jelas ekspresi seriusnya saat mengerjakan soal. Seketika aku tidak fokus
mengerjakan soal Try Out ini. Ah sial.
Dua jam berlalu. Try
Out mata pelajaran pertama selesai. Itu artinya sekarang waktunya istirahat.
Kucoba menghubungi temanku yang satu SMA, tapi tidak ada yang berhasil.
Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kelas. Lagi pula Ibu membuatkanku bekal
makan siang. Jadi aku tidak akan kelaparan di sini. Ternyata ada orang lain
yang tidak keluar kelas. Kulihat ia merogoh tasnya dalam-dalam seperti mencari
sesuatu. Sedetik kemudian sudah ada kotak makan di tangannya. Tetiba ia menoleh
ke arahnku dan mendapatiku tengah memandangi tingkahnya. Dengan cepat aku
segera menunduk pura-pura sibuk membuka kotak bekalku.
“Wah bawa bekal juga.
Makan bareng deh yuk. Boleh duduk di sini?”. Adrian menghapiriku.
“Boleh boleh. Hmm
jarang loh gue liat cowok bawa bekal makan siang”.
“Gue mah beda. Pasti di
sekolah lo ga ada ya. Cowok ana SMA 1 mah beda, Han”. Katanya dilanjutkan
dengan tertawa puas.
“Mulai deh
banding-bandingin sekolah lagi”. Gerutuku kesal
“Sorry, bercanda. Gue
emang selalu bawa bekal. Nyokap rajin masak pagi soalnya. Ga enak kan kalo ga
dibawa. Lagian lebih sehat juga masakan rumahan. Ya gak?”.
“Hem gitu. Sepakat!”.
Jawabku singkat.
“Eh lo mau kuliah di
mana nanti?”. Deg! Pertanyaan yang paling aku hindari sejak aku dinyatakan naik
ke kelas 12.
“Entah”. Jawabku asal.
“Loh kok gitu? Payah
nih gak punya masa depan”. Ah siapa sih orang ini? Tadi pagi ramahnya minta
ampun, sekarang berani-beraninya mengatakan hal menyakitkan seperti itu.
“Loh kok lo malah gitu.
Suka-suka gue lah”.
“Hana, denger yah. Jadi
manusia itu harus punya planning”. Ucapnya tegas sambil menatap mataku.
“Bahkan, dari lo bangun tidur sampe nanti tidur lagi pun, itu semua harus udah
terencana di otak lo. Gak ada tuh istilah kebetulan”. Lanjutnya masih dengan
tatapan yang serius. Aku hanya bisa terdiam lalu tertunduk.
“Emang lo mau kuliah di
mana?”. Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Di Universitas
Indonesia. Universitas impian sejak SMP”.
“Hoo kalo gitu gue juga
mau masuk UI”. Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Dih kok ngikutin
gue?”.
“Siapa yang ngikutin
lo. Emangnya di dunia ini Cuma lo siswa yang universitas impiannya di UI?”.
“Eng…… ga juga sih.
Tapi kan tadi lo bilang ga tau mau kuliah di mana. Trus tiba-tiba mau masuk UI
pas gue bilang gue mau masuk sana. Emangnya UI itu universitas impian lo
juga?”.
“Kemarin bukan, hari
ini iya”.
“Wah. Gue speechless
nih”. Adrian tertawa lepas sambil menatapku yang tengah tertawa entah lepas
atau apa. “Yaudah, semangat ya kita”. Lanjutnya kemudian setelah tawanya
terhenti.
Kita? Ah apa maksudnya?
Please jangan terbawa perasaan. Itu hal yang wajar. Namun perasaan tetaplah
perasaan. Suatu hal gaib yang tidak pernah bisa dibohongi. Rasanya aku seperti
menemukan cahaya baru. Cahaya yang mulai mempelihatkan jalanku menuju suatu
tempat yang selama ini mereka bilang masa depan.
Detik berganti menjadi
menit kemudian bergeser terus menerus menembus batas hari. Pertemuan pertamaku
dengan Adrian hanya berakhir pada perbincangan makan siang. Pada Try Out hari
kedua aku tidak melihat keberadaan Adrian barang secuil pun. Bangku tempatnya
duduk kemarin pun kosong. Aku harus mencari tahu kemana? Tidak tahu. Aku hanya
berusaha mencuri dengar dari beberapa wanita yang satu sekolah dengannya. Tapi
tetap tidak kutemukan jawaban mengapa Adrian tidak hadir hari ini. Cahaya itu
tak menampakkan sinarnya hari ini, bahkan mungkin untuk selamanya. Tidak akan
pernah lagi.
6
Agustus 2012
Kaki mungilku melangkah
pelan dari Stasiun Pondok Cina. Kereta yang baru saja kunaiki membunyikan klakson
tanda bahwa akan segera berangkat kembali. Aku menoleh ke belakang. Dalam hati
kukatakan “Aku ingin pulang saja”. Tapi
kakiku tetap melangkah ke depan hingga akhirnya kini aku berdiri tepat di depan
Balairung UI. Aku menghela napas sejenak. Terlalu ramai dengan mahasiswa baru
di sini, aku salah satunya. Kucoba melihat ke sekeliling mencoba mencari wajah
yang kukenal, tapi tidak ada. Kupejamkan mata untuk menguatkan hati agar aku
tetap bertahan karena aku sudah sejauh ini, aku sudah berhasil tiba di sini.
Universitas yang seketika menjadi universitas impianku dalam waktu hitungan
detik. Seketika terngiang ucapan Adrian beberapa bulan lalu “Semangat ya kita”.
Aku tersenyum dan bergumam sendirian “Iya
gue semangat, dan hari ini gue ada di sini. Lo juga pasti di sini kan?”.
Masih dengan mata yang terpejam, kunikmati gumaman penuh kenangan itu. Hingga
tetiba ada sebuah benturan keras kurasakan menghantam bahu kananku.
“Aww!! Aku langsung
membuka mataku sambil memegangi bahu kananku yang sakit karena ditabrak
seseorang.
“Aduh sorry banget. Gak
sengaja. Gue lagi buru-buru”. Seorang pria dengan paras yang tak asing bagiku
itu menangkupkan kedua tangannya untuk meminta maaf padaku. Sedangkan aku hanya
bisa terpaku. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Aku kenal wajah ini. Kulit
putihnya, rambut ikalnya, kacamatanya. Aku kenal semua. “Adrian”. Batinku
“Ad……”. Belum sempat
aku melanjutkan ucapanku, pria itu langsung pergi dengan tergesa-gesa menuju
kerumunan mahasiswa baru yang dresscode-nya sama denganku. Aku memandanginya
dari kejauhan sambil menerka-nerka apakah benar kami satu jurusan atau ia hanya
salah dresscode. Tapi, bukan itu yang mengganggu pikiranku sekarang. Aku hanya
tidak mengerti mengapa Adrian tidak mengenaliku?
Akhirnya waktu menjawab
segala pertanyaan yang menghantuiku selama ini. Pria itu memang benar Adrian.
Dan benar ia memang satu jurusan denganku. Lalu bagaimana ia bisa tidak
mengenaliku? Itu yang masih menjadi misteri. Satu jurusan dengan Adrian
membuatku memiliki kesempatan untuk mengenalinya lebih dekat. Walau Adrian
terlihat sangat lupa denganku, aku tidak berusaha membangkitkan kenangan yang
selama ini selalu aku simpan. Kami berkenalan layaknya orang yang baru saja
bertemu. Kami pun semakin dekat hingga semester akhir. Tapi kami tidak hanya berdua,
Adrian juga dekat dengan Stella dan Kania. Sahabatku sejak awal masuk kuliah.
Ya, mereka adalah sahabat-sahabat terbaikku, tak terkecuali Adrian. Kami hanya
sahabat. Tidak lebih.
Sekarang….
“Lo udah sampe
Bandung?”. Suara Stella dari seberang sana membuatku tersenyum sumringah pada
pagi kedua di Bandung ini.
“Udeeeeh dari
kemariiin. Telat lu nanyanya”.
“Yaelaah maaf deh maaf.
Kemarin kan gue sibuk sama acara akikahan Rama. Ga sempet liat HP malah. Syukur
deh kalo udah sampe ya. Gimana Bandung? Nyaman di sana?”.
“Hoiya ya kemarin rama
diakikah. Lancar acaranya? Suami lo pulang dong kemarin?”.
“Dih malah nanyain yang
lain. Bandung aja dulu itu gimana? Betah gak lo?”.
“Betah kok. Kan dari
dulu gue emang mau tinggal di sini. Jadi, lancar ga acaranya? Suami lo pulang
kan?”.
“Alhamdulillah kalo
gitu. Kalo gak betah buruan balik ke Jakarta ya haha. Acara akikah Rama lancar
kok. Suami gue pulang, dia izin satu minggu. Dari Kalimantan langsung ke
Jakarta kemarin”.
“Wah bagus bagus. Awas
aja kalo dia ga pulang, gue cincang-cincang dia haha”.
“Lah ngapa jadi lo yang
sewot. Selow lah, untuk urusan keluarga insya Allah dia selalu utamakan. Oiya,
ngomong-ngomong soal suami gue itu, gue juga mau kabarin kalo mulai bulan depan
gue mau pindah ke Kalimantan. Dia akan dapet dinas tetap di sana. Gak
pindah-pindah kota lagi, jadi kami pikir lebih baik sekalian tinggal di sana
aja biar Rama ga ditinggalin terus”.
“Duuuh kenapa jadi pada
pindah-pindah gini sih?”.
“Dih lo yang mulai
duluan sih pindah ke Bandung, gue kan latahan jadi gak betah di Jakarta juga”.
“Sudahlah. Emang lebih
baik lo ikut pindah sama suami lo kan daripada LDR-an terus”.
“Yoih. Yaudah ya Rama
udah bangun nih. Rewel. Gue tutup dulu. Betah-betah ya di Bandung. Kalo lagi
gak sibuk ngobrol-ngobrol lagi nanti”.
“Oke. Salam buat Rama
dan suami lo ya. Bye”.
Stella memang sudah
menikah sejak satu tahun yang lalu dengan seorang senior dari fakultas sebelah.
Suaminya selalu mendapat dinas ke luar kota sehingga jarang di rumah. Jadi,
sebenarnya aku senang ketika mereka memutuskan untuk pindah agar selalu
serumah. Walaupun aku juga sedih karena itu artinya jarak aku dengan Stella
akan semakin jauh saja. Bandung-Kalimantan. Jauh sekali.
Kuletakan ponsel di
atas tempat tidur yang sejak kemarin belum sempat kurapikan. Aku segera
berganti pakaian untuk menuju kantorku yang baru. Kantor yang sama sekali tak
ada kaitannya dengan bidang kuliahku bahkan sangat jauh berbeda dengan kantorku
di Jakarta dulu. Kini aku bekerja di suatu perusahaan weding organizer sebagai
desainer baju dan desain interior. Memang tidak sesuai dengan bidangku, tapi
aku menyukainya.
Tak berapa lama
ponselku berdering kembali.
“Kania”. Batinku. Aku
terdiam sejenak. Aku bingung apakah ini panggilan yang harus aku jawab atau
tidak. Sempat kuabaikan hingga berdering berkali-kali hingga akhirnya kudengar
suara yang terdengar sangat marah dari seberang sana.
“Hallo!! Ini Hana kan?
Kok lo gak bilang ke gue kalo mau pindah ke Bandung? Kok cuma Stella yang
dikasih tau. Lo kenapa sih akhir-akhir ini sikapnya aneh sama gue dan tiba-tiba
pindah tanpa pamit”. Kania bertanya tanpa memberikanku kesempatan untuk
menjawab. Sedangkan aku di sini hanya mampu meneteskan air mata sambil berusaha
untuk tidak terisak.
“Hallo Kania. Apa
kabar?”. Tanyaku singkat tanpa ingin menjawab semua pertanyaan berantainya itu.
“Gue apa kabar? Lo yang
apa kabar? Kok aneh sih. Ah!”. Suara Kania terdengar marah sekali padaku. Tapi
aku bisa merasakan bahwa ia sebenarnya khawatir.
“Hehe tenang dulu dong.
Kan gue Cuma mau kasih kejutan. Eh ternyata lo udah tau duluan. Yaudah”.
“Kejutan apaan. Ini mah
kabur namanya”.
“Kabur dari mana? Gak
kok. Selow, Jakarta-Bandung kan deket. Main-mainlah ke sini ya nanti abis lo
nikahan”. Suaraku terdengar semakin melemah di akhir kalimatku.
“Tau ah pokoknya gue
bête sama lo dan Stella. Sok rahasia-rahasiaan dari gue. Heran”. Suara Kania
masih terdengar kesal
“Yaudah iya maaf maaf.
Btw gimana persiapan pernikahan lo? Maaf ya gue gak bisa bantu karena mulai
hari ini udah kerja di kantor yang baru. Bahkan weekend pun tetep ngantor”.
“Iiiiiih makin
ngeseliiin. Tapi pas hari-H lo harus dateng yaaa”.
“Ga janji ya”. Jawabku
lemah.
“Han, lo baik-baik aja
kan?”. Nada bicara Kania turut melemah
“Apa maksudnya? Gue ga
kenapa-napa kok”.
“Hmm bagus deh. Abisnya
lemes gitu dari tadi ngomongnya”.
“Hoo gue belum sarapan
hehe. Yaudah ya gue mau sarapan dulu trus berangkat kerja”.
“Oke take care yah di
Banduuuung. Byeee”.
“Bye Kaniaa”.
Kuletakan kembali
ponsel di atas tempat tidur, kali ini kulempar dengan cukup keras. Tak lama
kemudian ponsel itu berdering kembali tanda ada pesan singkat yang masuk.
Segera kuraih dan kubaca.
“Oiya
gue jadi lupa bilang. Adrian hari ini ke Bandung. Dia di sana untuk 2 minggu
karena dapet tugas penyelidikan kasus di sana. Mungkin kalo lo butuh temen di
Bandung bisa hubungi dia”. –Kania-
“Loh
bukannya minggu depan kalian nikah?”. –Hana-
“Ditunda
sampai bulan depan”. –Kania-
Aku tak sanggup
membalas pesan singkat Kania lagi. Konspirasi macam apalagi ini? Aku sudah
berlari sejauh ini, tapi Adrian malah tetap mendekat. Ah. “Aku tidak boleh bertemu dengan Adrian”. Batinku.
***
Aku adalah manusia
dengan gelar Sarjana S1 yang tentu saja tahu bahwa bumi itu sangatlah luas.
Tapi ilmu yang kudapat selama 4 tahun kuliah ini tetap saja tidak bisa menjawab
mengapa di dunia yang seluas ini aku masih harus bertemu dengan Adrian.
Mengapa??
Jujur saja kepindahanku
ke Bandung memang sudah aku rencanakan sejak lama. Tapi aku baru berencana
pindah tahun depan. Hanya saja kabar pernikahan Kania dan Adrian membuatku
merasa ingin pergi secepatnya. Aku terlalu sakit untuk selalu berada di dekat
mereka. Sudah cukup kurasakan sakit selama 4 tahun ini, aku ingin segera pergi.
Aku lelah pura-pura tersenyum saat sedang bersama mereka. Aku lelah menangis
dalam tawa yang riang. Aku lelah berbohong demi kebahagiaan orang lain. Jika
harus berkorban, pergi saja. Itu keputusan yang paling tepat bagiku sekarang.
Lebih baik pergi dan merasakan sakit yang sesungguhnya daripada tetap tinggal
dan merasakan sakit yang terbalut seyuman manis.
“Hana….”.
“Adrian?? Sedang apa
kau di sini?”.
“Bekerja. Kau?”
“Bukan. Maksudku sedang
apa kau di sini lebih mementingkan pekerjaanmu dan malah menunda pernikahanmu
dengan Kania?”.
“Oh itu… Sebenarnya aku
ke sini bukan untuk bekerja”.
“Lalu untuk apa?”.
“Untuk mencarimu”.
*Bersambung...........*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar