"Sampai kapan kau akan berada di sini? Sudah malam dan udara semakin dingin, cepat masuk". Suara seorang pria tetiba memaksaku yang sedang menatap langit untuk menengok ke arahnya.
"Sebentar lagi". Jawabku singkat, kemudian kembali menatap langit.
"Memangnya apa yang kau lakukan? Menghitung bintang?".
"Iya". Jawabku singkat lagi. Kali ini tanpa menoleh ke arahnya.
"Yang benar saja". Pria itu tertawa kecil. Aku tidak menggubrisnya. Aku tetap fokus pada langit. Kemudian pria itu melanjutkan ucapannya.
"Sudah terhitung semua?".
"Belum". Kini jawabanku dengan nada yang kecewa. Aku menunduk sejenak dan kembali menatap langit.
"Ah kau ini aneh-aneh saja sih. Mau kuberitahu sesuatu?". Pria yang semula berdiri jauh dariku kini mulai mendekatiku.
"Apa?". Aku menatap matanya penuh harap.
"Lihat itu!". Ia menunjuk ke satu bintang yang paling bersinar di langit.
"Itu?" Aku ikut menunjuk.
"Iya aku lihat, lalu mengapa?". Tanyaku kemudian.
"Yang paling bersinar itu bukan bintang, tapi planet. Planet Venus". Ia menjelaskan sambil terus menunjuk ke arah Venus tersebut.
"Benarkah?. Pantas saja yang itu berbeda".
"Payah, begitu saja kau tidak tahu". Pria itu tertawa kecil lagi. Manis.
"Sudahlah, kau tidur saja sana. Tak usah menertawaiku". Aku mulai kesal.
"Baik, baik, aku tidak akan mengganggumu. Hanya ingin memberitahu, mungkin kau bisa jadikan Venus itu sebagai patokan untuk menghitung bintang. Selamat mencoba!". Pria itu berjalan menajuhiku menuju sebuah pondok kecil tempat ia menginap.
"Siapa dia?". Kataku dalam hati, Aku sudah berlibur di tempat ini selama 1 minggu, namun aku baru melihatnya malam ini. Pondok tempat ia menginap pun bersebelahan denganku, namun aku benar-benar baru melihatnya malam ini. Dan apa itu tadi? aku berbicara dengan orang asing? Sulit dipercaya. Aku tidak pernah suka hal tersebut sebelumnya. Aku lebih suka menutup diri. Sekarang pun aku liburan sendirian.
***
"Selamat pagi nona bintang". Suara pria itu membuyarkan keheninganku yang sejak pukul 5 tadi aku pertahankan di teras pondok. Ah orang itu mengapa selalu mengganggu kegiatanku?.
"Apa? Nona bintang?". Tanyaku heran.
"Kenapa? Ada yang salah?". Pria itu menghampiriku. Ia menggunakan setelan kaos dan celana training dengan handuk putih kecil mengalung di lehernya. Nampaknya ia akan berlari pagi.
"Namaku bintang. Panggil saja bintang, tidak perlu pakai nona". Jawabku dengan nada yang agak ketus.
"Waah keren sekali. Nona bintang penyuka bintang ternyata namanya bintang". Kini ia tertawa kecil lagi. Ah manis. Harus berapa kali aku mengakuinya?
"Euuhh sudahlah kau terlalu berlebihan, siapa namamu?".
"Namaku Venus". Jawabnya sambil mengulurkan tangannya.
"Venus? Kau serius?" Aku tidak langsung menyambut uluran tangannya yang mengajak bersalaman.
"Iya, kenapa? Ada yang aneh?". Pria itu mengangkat alisnya.
"Tidak". Jawabku singkat sambil membalas uluran tangannya dan kini kami berjabat tangan sejenak.
"Mau ikut lari pagi?". Pria itu menawarkan.
"Tidak, terima kasih".
"Hmm baiklah, aku duluan ya". Pria itu berlari kecil menjauhiku menuju bukit perkebunan teh di depan pondok penginapan kami.
***
Udara malam ini lebih dingin dari kemarin. Aku sudah memakai jaket dua lapis, namun tetap saja rasanya dingin ini terlalu menusuk. Mungkin karena tadi sore hujan, entahlah. Namun langit hari ini begitu cerah. Bintang di langit lebih banyak dari yang kemarin. Aku tidak ingin melewatkan momen ini. Akhirnya aku pakasakan menahan rasa dingin untuk berbaring di teras pondok. Dari sini aku bisa melihat hamparan bintang di langit dengan jelas.
"Masih berusaha menghitung bintang?". Untuk ketiga kalinya suara pria itu membuyarkan keheninganku. Namun memang sejak tadi itulah yang kutunggu. Sejak pagi tadi aku belum melihatnya kembali ke pondok. Aku tidak mengerti, namun aku memang menunggunya sejak tadi.
"Masih". Ah aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada akhirnya jawabanku selalu terdengar ketus.
"Mau kubantu?". Tanyanya sambil ikut berbaring sekitar satu meter dariku. Aku menoleh ke arahnya yang kini mulai fokus menatap langit sambil menunjuk bintang.
"Bagaimana caranya?". Tanyaku kemudian.
"Sudah kubilang, jadikan aku sebagai patokan". Ia terkekeh kecil sambil menoleh ke arahku. Haft manis.
"Maksudmu Venus?". Ucapanku menghentikan tawa kecilnya itu.
"Iyap". Ia tidak menoleh ke arahku sekarang. Ia kembali fokus ke langit.
"Aku sudah mencobanya semalam. Tapi tetap tidak bisa". Kataku dengan nada menggerutu.
"Payah. Pelan-pelan saja, lama-lama kau akan bisa".
"Ah kau ini, mana bisa aku menghitung bintang sebanyak itu di langit? Bahkan langit pun sangat luas!". Kataku dengan nada kesal sambil terbangun dari baringanku kemudian duduk mmenunduk.
"Nah itu kau tahu! Mengapa masih kau lakukan?". Ia ikut terduduk dan mulai menatapku.
"Karena.... Ah sudahlah kau pulang sana!". Tanpa terasa aku meneteskan air mata ketika ingin menjawab. Terlebih ia menatapku seolah berkata "Kau kenapa?". Tak ingin berlama-lama akhirnya aku masuk ke pondok dan meninggalkan dirinya yang kebingungan sendirian di teras pondokku.
***
Seperti biasa pagi ini aku melakukan meditasi ringan mencari keheningan di teras pondok penginapanku. Matahari masih bewarna oranye tersembul cantik dari balik bukit perkebunan teh. Hmm masih jam 6 pagi. Kataku dalam hati. Aku berjalan menuju teras pondok dan duduk di bale kayu yang ada di sana. Kudapati sesuatu yang aneh tergeletak di sana. Secarik kertas dan sebuah bintang yang terbuat dari kertas bewarna merah hitam. Dengan segera aku meraihnya dan membaca yang tertulis di sana.
"Aku tidak tahu mengapa kau begitu menyukai bintang dan sangat ingin menghitungnya meskipun kau tau itu tidak mungkin. Namun semalam aku berhasil menghitungnya. Dan kau tau ada berapa? 1000. Yeah! Kau boleh percaya atau tidak, yang jelas aku menjadikan diriku sebagai patokannya. Maksudku Venus. Hehe.
Oiya yang aku berikan ini bukan bintang, tapi Venus. Jika kau masih tidak percaya dengan hasil hitunganku, jadikan ia sebagai patokan. Selamat mencoba!".
Kurasakan tetesan air mata mulai jatuh dari mataku. Perlahan, perlahan, kemudian semakin banyak yang terjatuh. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menuju pondok penginapannya. Kuketuk pintu pondok. Sekali, dua kali, tidak ada jawaban. Ketiga kalinya terdengar seseorang membuka kunci pintu dari dalam. Ah akhirnya. Kataku dalam hati.
"Selamat pagi teh, ada apa?". Seorang pria setengah baya menyambutku di depan pintu.
"Eng..... ini Pak, yang semalem nginep di sini mana ya? Namanya Venus. Lagi keluar ya?".
"Siapa atuh yang teteh maksud? Dari seminggu yang lalu teh pondok ini mah ga ada yang ngisi". Jawab pria setengah baya itu dengan lembut.
"Iyakah? Bapak yakin?". Tanyaku dengan nada tak percaya
"Yakin atuh teh, lah bapak kan yang jaga pondok ini".
"Tapi pak kemarin ada.... hmmm itu ada yang.....". Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku segera pamit pada pria setengah baya tersebut dan berjalan dengan langkah yang lemas menuju podok penginapanku. Siapa dia? Pertanyaan itu berulang kali kutanyakan pada diriku sendiri. Pikiranku sudah terlampau jauh hingga berpikir pria manis itu adalah hantu. Ah yang benar saja ada hantu sebaik itu? Pikiranku berkecamuk hingga malam datang.
Aku berbaring di teras pondok sambil memegang secarik kertas dan bintang kertas dari Venus. Kulihat langit seperti biasa masih penuh dengan bintang. Aku terfokus pada satu bintang paling terang, Venus!
Kusejajrkan bintang kertas tersebut dengan Venus di langit. "Baiklah, aku kan coba menjadikanmu sebagai patokan, Venus". Kataku dalam hati. Aku menghitung ke arah kana, kemudian ke kiri, begitu seterusnya tana melepaskan pandanganku dari langit. Tak menghiraukan dingin yang semakin menusuk, tak menghiraukan hewan sekecil apapun yang berlalu di dekatku. Fokusku hanya satu, menghitung bintang. DAPAT! Kataku spontan dengan nada yang cukup kencang.
"Kau benar Venus, jumlahnya ada 1000". Teriakku di malam yang sepi itu. Aku tertawa terharu sambil meneteskan air mata. Kurasakan semilir angin dingin menerpa wajahku.
"Aku benar kan?". Suara itu tetiba terdengar dekat di telingaku.
"Venus?". Kataku sambil memberanikan diri menoleh ke arah datangnya suara. Kuliat kini Venus berbaring di sebelahku dengan jarak yang lebih dekat dari sebelumnya.
"Iya kau benar" kataku sambil tersenyum manis padanya.
Kemudian aku kembali menatap langit penuh bintang. Aku tahu jauh dari ujung langit sana, bintang-bintang itu melihatku sedang berbaring sendirian di sini. Ya, aku yakin itu.
THE END