“Kau
yang di pojok sana! Jangan bicara terus sendirian!. Keluar dari kelasku!!”. Bu
Selly berteriak pada seorang murid pria yang duduk tak jauh dari tempatku di
pojok kanan kelas. Ia tidak berkata apa-apa selain pergi meninggalkan kelas
dengan langkah yang lemah. Seisi kelas kini terdengar berbisik-bisik
membicarakannya. Namun bentakan Bu Selly membuat kami hening kembali. Pria itu,
namanya Lee Seon Ho. Ia mahasiswa pertukaran pelajar dari Korea Selatan. Ia
mulai belajar di kampus ini sekitar satu bulan yang lalu. Di awal kedatangannya,
seluruh mahasiswi histeris dan sibuk membicarakan ketampanannya. Ya, Seon Ho
memang sangat tampan. Pria yang memiliki warna mata kecoklatan yang sepadan
dengan dengan warna rambutnya ini sangat tampan, tidak kalah tampan dari Siwon
personil Super Junior. Bahkan menurutku, sepertinya Seon Ho lebih tampan dari
Siwon. Belum lagi kabar yang beredar bahwa ayah Seon Ho adalah orang Indonesia
sehingga ia cukup lancar berbahasa Indonesia. Awalnya aku tidak yakin karena
wajah Seon Ho tidak menunjukkan adanya campuran dengan Indonesia, namun
perbincangan pertama kami membuatku yakin 100% bahwa ayahnya memang orang
Indonesia.
“Buku
yang kau baca bagus”. Kataku ketika duduk di sampingnya di perpustakaan kampus.
Ia hanya melirik ke arahku sebentar dan kemudian lanjut membaca.
“Ah
namaku Azzahra, panggil aku Zahra. Kita teman sekelas”. Aku mengulurkan tangan
untuk berjabat tangan dengannya.
“Aku
Lee Seon Ho. Seon Ho”. Ia membalas uluran tanganku namun sikapnya masih dingin.
“Hemm
salam kenal Seon Ho”. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa dihadapannya.
Sikapnya terlalu dingin, sulit untuk membuatnya hangat. Aku hanya berusaha
tenang duduk di sampingnya dan membaca beberapa buku yang telah kubawa. Suasana
perpustakaan saat itu sangat hening hingga akhirnya suara gema Adzan dari
musala kampus memecah keheningan.
“Kau,
masih akan tetap di sini?”. Seon Ho menutup bukunya kemudian berdiri. Aku
terkejut mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba itu.
“Ah
aku….”.
“Cepat
ke musala, kita salat ashar”. Ia kemudian berjalan perlahan tanpa menunggu aku
berdiri dari tempat dudukku. Apa katanya? Salat? Batinku. Dengan segera aku
berlari kecil untuk mengejarnya.
“Tadi
kau bilang apa? Salat?”.
“Iya,
mengapa? Ada yang aneh? Aku muslim karena ayahku asli orang Semarang, dan ibuku
mualaf”.
“Hooo
begitu”. Aku tak berani berkata-kata apapun lagi sekarang. Meskipun tadi ia
berbicara dengan kalimat yang sedikit panjang, tapi tetap saja ekspresi
wajahnya datar. Seolah mengatakan padaku, diamlah. Kau terlalu banyak bertanya.
Sejak
perbicangan di hari itu aku tahu kebenarannya, bahkan mengetahui bahwa dia
seorang muslim pun merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan bagiku. Memang
kehadirannya membuat para mahasiswi
berlomba-lomba untuk mendekatinya mungkin termasuk aku sendiri. Setiap
hari aku melihatnya dikelilingi mahasiswi di kelas. Tapi sikap Seon Ho yang
dingin pada semua mahasiswa itu. Lagi-lagi termasuk kepadaku. Bedanya aku lebih
suka mendekati Seon Ho saat ia sedang di perpustakaan seperti minggu lalu. Namun
histeria akan kehadiran Seon Ho lenyap ketika sebuah kejadian aneh terjadi. Kemarin,
ada seorang mahasiswi yang melihat Seon
Ho berbicara dan tertawa sendirian di dalam kelas. Berita itu cepat sekali
menyebar hingga keadaannya sekarang seperti ini, Seon Ho dijauhi. Tidak ada
lagi mahasiswi yang mendekatinya. Bahkan sikap Seon ho yang pendiam dan tanpa
ekspresi itu semakin menjadi-jadi sekarang. Ia menjadi sosok yang lebih
tertutup.
Aku
berjalan menuju lapangan parkir kampus ketika akan pulang. Kulihat Seon Ho
sedang duduk sendirian di dekat mobil Nissan Juke merahnya sambil tertunduk. Ah
setelah kejadian Bu Selly tadi ia tak mengikuti kuliah selanjutnya, apakah ia
sedih? Batinku. Perlahan aku menghampiri Seon Ho dan duduk di sampingnya.
“Seon
Ho, kau baik-baik saja?”. Jujur ini adalah perbincangan kedua kami setelah di
perpustakaan itu. Seon Ho tidak menjawab pertanyaanku, ia masih saja tertunduk.
“Emm
baiklah, semoga kau baik-baik saja”. Aku berdiri dan segera berjalan menuju
mobilku yang diparkir tepat di samping mobilnya.
“Zahra,
temani di sini sebentar”. Seon Ho menghentikan gerakan tanganku yang akan
membuka pintu mobil. Apa? Temani? Kataku merasa bingung dalam hati. Aku tidak
menjawab selain kembali duduk di sampingnya. Seon Ho masih tidak bicara. Hemm
mungkin ia hanya minta untuk ditemani duduk, bukan bicara. Biarlah jika itu
bisa membuatnya tenang. Namun hampir tiga puluh menit berlalu ia tetap tidak
bicara sepatah katapun. Aku merasa aneh dan sedikit geram. Akhirnya kuberanikan
diri untuk bertanya.
“Seon
Ho, apakah ada yang ingin kau katakan?”.
“Tidak
ada”. Oh Tuhan terimakasih karena kali ini ia menjawab pertanyaanku walaupun
singkat.
“Lalu
apa yang kau lakukan di sini? Dan mengapa kau memintaku untuk menemanimu?”.
“Aku
sedang mendengarkan cerita sahabatku”.
“Sahabat?”.
Aku melihat ke sekitar. Tidak ada orang di sini selain kami berdua. Lalu siapa
yang dimaksud sahabat oleh Seon Ho?
“Iya,
kenalkan ini Sierra, sahabatku”. Seon ho menunjuk ke sampingnya. Namun aku
tidak melihat siapa-siapa di sana. Aku tersenyum sebentar ke arah Seon Ho
menunjuk.
“A…a…ah
aku Azzahra. Senang berkenalan denganmu…Sierra”. Bodoh, apa-apaan ini? Siapa
yang sedang aku ajak bicara sekarang?
“Panggil
saja dia Zahra, kau tidak usah sungkan. Ia teman sekelasku”. Seon Ho terlihat
manis ketika berbicara pada sosok yang ia beri nama Sierra itu. Aku masih
kebingunan dengan hal ini. Otakku rasanya menjadi malas untuk berpikir. Rasanya
ingin kutinggalkan saja Seon Ho dan menganggapnya gila. Namun ada sesuatu yang
menahanku, entah apa itu. Batinku mengatakan, teruskan saja kegilaan ini!
Teruskan!.
“Ya,
benar. Panggil saja aku Zahra”. Kataku sambil tersenyum tidak jelas.
“Emm
tapi Seon Ho, sejak tadi aku tidak bisa mendengar Sierra bicara”.
“Sierra
itu pemalu, ia hanya akan menampakkan diri dan suaranya hanya pada orang
tertentu. Lebih tepatnya hanya kepadaku”. Deg!! Jadi Seon Ho sebenarnya tahu
bahwa aku tidak bisa melihat Sierra? Kurasa kali ini Seon Ho-lah yang akan
mengatakan bahwa aku sudah gila.
“Ohh
begitu rupanya”.
“hmm”.
Kini
semuanya kembali hening dan aku rasa aku harus segera menyudahi kegilaan ini.
“Oiya,
aku harus pulang sekarang. Ibuku sudah menunggu di rumah”. Aku berdiri dan
memberi salam.
“Zahra,
gomawo. Oiya, Sierra bilang ia senang berkenalan denganmu”.
“Ne,
cheonmaneyo”. Kegemaranku menonton drama korea sedikit membantuku untuk
mengerti apa yang Seon Ho ucapkan. Aku mengangguk lalu langsung masuk ke dalam
mobilku. Sebelum melajukan mobil, aku sempatkan membuka kaca mobil dan
melambaikan ke arah Seon Ho dan juga……Sierra. Aku memang hanya mendengar gosip
tentang Seon Ho yang berbicara sendiri, namun hari ini aku melihatnya langsung
bahkan berkenalan dengan sosok tak nampak itu. Pria tampan itu kini menjadi
sosok yang sangat misterius bagiku. Ada hal yang ingin kuketahui darinya namun
aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku ketahui. Membingunkan.
Sore
ini langit begitu muram. Memang sepertinya sejak pagi tadi langit enggan
tersenyum sehingga Susana hari ini terasa sendu. Keadaan ini diperparah dengan
mobilku yang sedang masuk bengkel. Alhasil hari ini aku harus naik taksi.
“Ah,
akhirnya hujan juga kan, lalu bagaimana aku pulang? Tidak bawa payung pula”.
Gerutuku sendirian di depan kelas. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan menuju
kantin sambil menunggu hujan reda. Sampai akhirnya ada seorang pria yang
suaranya kukenal memanggilku sambil berlari ke arahku. Aku segera menoleh dan
kudapati Seon Ho ada di hadapanku sekarang.
“Ada
acara setelah ini?”. Katanya sambil merapikan buku-buku ditangannya yang
terlihat berantakan akibat berlari.
“Eh…
tidak ada. Ada apa?” Jawabku gugup. Tanpa sadar aku menggaruk-garuk teingaku.
Kurasa Seon Ho paham jika aku gugup. Biarlah.
“Sierra
sakit, ia bilang ingin bertemu denganmu”.
“Apa??
Sakit??”. Aku terkejut bukan karena seseorang yang ku kenal jatuh sakit,
melainkan karena bagaimana makhluk gaib itu bisa sakit?.
“Iya,
Sierra sakit”. Wajah tampan Seon Ho terlihat sangat sedih sekali.
“Emmmm
baiklah, kita pergi kemana sekarang? Rumah sakit?”. Ah pertanyaan bodoh lagi.
“Tidak.
Sierra di rumahku”.
“Rumahmu?”
“Tenang,
di rumah ada ayahku. Jadi kau tidak perlu khawatir”. Seon Ho tersenyum sambil
memegang pundakku. Dia cerdas juga bisa memahami kekhawatiranku. Dan ini
pertama kalinya aku melihat Seon Ho tersenyum. Manis sekali.
“Baiklah”.
“Nah,
kau ikuti mobilku dari belakang ya. Aku akan menyetir perlahan jadi kau bisa
mengikuti”.
“Tapi
Seon Ho, hari ini aku tidak bawa mobil karena sedang diperbaiki.
“Ah
itu terdengar lebih baik. Ayo pergi”. Seon Ho segera menarik tanganku kemudian
berjalan dengan tergesa-gesa. Ini pertama kalinya seorang pria memegang
tanganku. Aku pandangi pria yang tingginya sekitar 180 cm itu berjalan sambil
memegang tanganku. Ah oppa, mengapa harus aku? Batinku.
Akhirnya
kami tiba di sebuah rumah mewah. Di depan pintu kami disambut oleh seorang pria
agak tua dengan setelan kemaja biru yang rapi.
“Halo
Pah, kenalkan ini teman kuliahku Azzahra”.
“Halo
om, panggil aku Zahra saja”. Aku bersalaman dengan ayahnya sambil tersenyum.
“Hoo
ini Zahra, cantiknya. Panggil om dengan Om Brata saja. Ayo cepat masuk. Sierra
sudah menunggu”. Senyum om Brata ramah sekali, wajahnya sangat bersahaja. Dan
pujian cantiknya itu membuatku sedikit melayang. Tunggu, tadi ia bilang apa?
Sierra? Sepertinya sekarang aku sedang menghadapi ayah dan anak yang kompak
gilanya. Ah aku juga sudah ikutan gila sekarang.
“Iya
om, terimakasih”.
“Ayo
Zahra langsung ke kamarku saja”. Ajak Seon Ho sambil menarik tanganku lagi. Aku
berhenti sejenak dan menoleh ke arah om Brata. Om Brata hanya tersenyum
kemudian mengangguk pertanda mengizinkanku untuk masuk ke kamar Seon Ho.
Benar-benar ayah dan anak yang sangat kompak. Bisa mengerti apa yang aku
khawatirkan tanpa perlu aku ucapkan.
“Sierra
lihat siapa yang datang”. Ucap Seon Ho ketika memasuki kamarnya. Aku bahkan
tidak tahu bagaimana ekspresi Sierra ketika aku datang. Kini aku duduk di tepi
tempat tidur. Aku hanya bisa memandangi bantal dan bad cover, bagiku tidak ada
siapa-siapa di sana kecuali Sierra yang tak nampak itu. Dengan berusaha
menghilangkan logikaku, kupaksakan berbicara pada bantal.
“Sierra,
kau baik-baik saja?” Tidak ada jawaban, oh mungkin aku yang tidak mendengarnya.
“Seon
Ho, Sierra bilang apa?”. Tanyaku pada Seon Ho yang berdiri di belakangku.
“Sierra
bilang dia baik-baik saja setelah kau datang”.
“Benarkah?”.
Tanpa sadar aku merasa sangat senang mendengar hal itu dan Seon Ho hanya
tersenyum. Lagi, Seon Ho tersenyum lagi. Manisnya.
“Kalau
begitu, bolehkah aku melihat Sierra? Ia pasti cantik secantik namanya”.
“Sierra
bilang belum saatnya”.
“Hemm
baiklah. Nah, sebaiknya sekarang kita biarkan ia beristirahat”.
“Zahra,
Sierra ingin ditemani olehmu hingga ia tidur”.
“Baiklah
Sierra”. Aku tersenyum ke arah bantal itu.
“Terimakasih
Zahra, aku akan mengambilkan minum untukmu”.
Aku
hanya tersenyum dan Seon Ho keluar dari kamar, Sekarang apa? Apa benar di
tempat tidur ini ada Sierra? Mengapa ini terlalu rumit?
“Sierra,
kau masih bisa mendengarku? Hemm aku mungkin baru mengenal Seon Ho. Tapi aku
sudah bisa meraskan bahwa Seon Ho sangat sayang padamu. Dan sepertinya ia hanya
tertawa saat bersamamu. Jika Seon Ho menganggapmu sangat berarti, kumohon jaga
Seon Ho ya. Biarkan ia tetap tersenyum seperti hari ini”. Aku berbicara pada
Sierra seakan sedang berbicara pada adikku yang sedang tertidur. Entah ia mendengarku
atau tidak, yang jelas aku merasa benar-benar gila sekarang.
Ini
hari minggu, jam 7 masih terlalu pagi untuk memulai segala aktifitas. Aku
menarik selimutku kembali hingga menutupi wajahku. Tetiba handphone-ku berdering.
Dengan malas aku meraihnya dan mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang
menelpon.
“Hello,
good Sunday morning”. Nadaku lemas.
“He???
Eh iya iya baik. Sampai jumpa. Apalagi ini? Batinku.
“Jujur
saja aku terkejut ketika ia bilang punya seorang teman”. Om Brata memulai
pembicaraan setelah waiters mengantarkan minuman ke meja kami. Sebuah kafe di
dekat kampus yang disepakati om Brata untuk bertemu saat di telepon tadi.
“Maksud
om?”
“Sejak
kuliah di sini, ia belum pernah menceritakan tentang teman-temannya, apalagi
membawa temannya ke rumah”.
“Seon
Ho memang cenderung pendiam di kampus, bahkan terkesan tertutup”.
“Saat
di Seoul ia juga seperti itu. Seon Ho lebih senang bermain dengan teman
khayalannya itu”.
“Maksud
om, Sierra?”.
“Ya,
Sierra adalah teman khayalannya sejak SMP. Seon Ho sendiri menjadi sosok yang
pendiam sejak ibunya meninggal dunia saat SMP itu”. Aku hanya terdiam mendengar
cerita om Brata. Matanya kini berlinang-linang.
“Dulu
Seon Ho anak yang ceria, tapi….”. Kini om Brata tidak bisa melanjutkan
kata-katanya dan tangisnya pun pecah.
“Om,
tenanglah. Seon Ho pasti akan melalui masa-masa ini dengan baik dan ia akan
seperti dulu lagi. Menjadi Seon Ho yang ceria”. Aku berusaha menenangkan om
Brata.
“Itulah
maksudku memintamu datang menemuiku, kumohon jadilah teman Seon Ho. Teman yang
nyata. Bawalah kembali dunia Seon Ho. Kumohon”. Om Brata menatapku penuh harap.
Aku hanya tertunduk sekarang.
“Emm
aku tidak yakin, tapi… aku kucoba”.
Aku
tersenyum mencoba memberi harapan pada om Brata. Meskipun saat ini aku belum
tahu apa yang harus aku lakukan. Namun sepertinya om Brata sedang dalam keadaan
sangat sedih dan bukan saatnya mendengar penolakan.
Senin
datang, hemm aku benci kuliah di hari Senin. Terlebih lagi mobilku masih di
bengkel. Ini akan sangat menyusahkan bagiku yang sudah terbiasa menggunakan
mobil sendiri. Aku merapikan buku-buku yang akan ku bawa dan meraih
handphone-ku untuk menelepon taksi, namun handphone-ku bordering lebih dulu.
“Seon
Ho?”. Aku terkejut melihat layar handphone-ku.
“emm
ya halo Seon Ho”.
“Kau
sudah berangkat?”
“Belum,
baru akan menelepon taksi”.
“Jangan
telepon taksi, biar saja aku yang menjemputmu”.
“Apa??”
“Sudahlah
aku tutup teleponnnya ya. Aku akan tiba dalam waktu 15 menit. See ya”.
Apa
ini? Seon Ho menjemputku? Hemm sepertinya ini akan lebih mudah. Ya,
mengembalikan dunia Seon Ho akan lebih mudah sekarang.
“Kau
terlambat dua menit”. Kataku ketika menyambutnya di depan gerbang.
“Benarkah?
Ah lain kali akan kucoba tepat waktu”. Seon Ho menggaruk-garuk kepalanya sambil
tersenyum. Hari ini Seon Ho berbeda, aku tidak lagi melihat wajah datarnya.
Pertanda baik.
“Lain
kali?”
“Iya,
jika perlu setiap hari”. Seon Ho tersenyum padaku.
“A….oh
iya apakah kau mengajak Sierra?” Aku melihat ke arah mobil Seon Ho.
“Tentu,
dia sudah menunggu di dalam. Ayo cepat naik”.
“hmm”.
Aku
duduk di bangku belakang. Sedikit aneh memang, namun Seon Ho mengatakan bahwa
Sierra ingin duduk di depan. Baiklah Seon Ho, mari kita bermain drama sekarang.
“Oiya
Seon Ho”.
“Hmm”.
Gumamnya sambil masih fokus menyetir mobil.
“Berapa
usia Sierra?”.
“Ohh
Sierra sebaya dengan kita, usianya 21 tahun”.
“Wah
ternyata sebaya, aku kira lebih muda dari kita. Hemm…… apakah kau menyukai
Sierra?”
“Sierra
bilang jangan bahas itu, dia malu”. Seon Ho sedikit tertawa di akhir
kalimatnya.
“Oh,
baiklah. Maaf aku tidak bermaksud”.
“Sierra
bilang kau lucu”.
“Hee???”.
Perjalanan
ke kampus memakan waktu hampir satu jam karena macetnya jalan raya di hari
Senin tidak bisa dihindari. Seon Ho membukakan pintu untukku ketika mobilnya
telah sempurna diparkir.
“Ayo”.
“Tunggu,
Sierra tidak ikut?”
“Sejak
kejadian mahasiswa yang melihat kami berbicara di kelas, ia jadi lebih suka
menunggu di mobil”.
“Hmm
begitu rupanya”.
“Sudah
jangan khawatir, Sierra akan baik-baik saja”.
“Kau!!”.
Seorang wanita mendorongku hingga menyentuh dinding koridor kampus.
“Vita,
kau kenapa?”
“Sejak
kapan kau dekat dengan Seon Ho?”
“Tidak,
kami hanya…”
Praakk!!
Tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Kini aku memegangi pipiku yang
kesakitan.
“Jangan
terlalu dekat dengan Seon Ho”.
“Tapi
kenapa? Bukankah wanita di kampus ini membencinya?”
“Tidak
denganku!!”
Vita
pergi meninggalkanku yang masih terpaku dengan ucapannya. Aku melihatnya pergi
dengan langkah yang cepat. Syukurlah tidak ada yang menyaksikan kejadian ini.
Koridor kampus di dekat ruang laboratorium ini memang selalu sepi. Vita adalah
mahasiswi paling populer di kampus. Ia cantik dan cerdas bahkan hampir memiliki
segalanya. Kudengar ia memang orang yang mudah cepat marah, namun kemarahannya
ini sungguh membingunkan. Setahuku, Vita-lah yang telah melihat Seon Ho berbicara
dan tertawa sendirian di kelas dan kemudian ia menyebarkan hal itu ke seluruh
kampus. Namun, apa yang ia katakana tadi? Jangan terlalu dekat dengan Seon Ho?
Ia tidak membenci Seon Ho? Bukankah ia yang menyebabkan seisi kampus membenci
Seon Ho? Aneh.
Alangkah
senangnya mobilku sudah selesai diperbaiki, namun Seon Ho dengan sifat keras
kepalanya tetap saja menjemputku setiap hari. Aku tidak bisa menolak karena
sebenarnya aku sendiri memiliki misi penting untuk menjadi teman nyata baginya.
“Kita
mau kemana? Jalan ke rumahku bukan lewat sini”. Tanyaku pada Seon Ho saat
mengantarkanku pulang dari kampus.
“Tidak
jauh dari sini ada restoran steak yang enak. Sierra menyukai suasana di sana.
Aku harap kau juga menyukainya”.
“Maksudmu
kita makan malam di sana?”.
“Tidak,
kita akan main game di sana”.
“Apa?”
“Ah
kau ini lucu sekali, memangnya apa yang biasanya kau lakukan di restoran. Tentu
saja makan”. Seon Ho terlihat tertawa puas sekali. Sesekali ia melihat ke arah
ku untuk melihat ekspresiku yang cemberut.
“Sudahlah
Seon Ho, dan kau juga Sierra. Jangan menertawakanku”. Kataku dengan ekspresi
yang masih cemberut. Aku memang sudah terbiasa berbicara pada Sierra. Aku sudah
bisa merasakan kehadiran Sierra dan berusaha merasakan apa yang sedang
dilakukan Sierra. Dan anehnya itu selalu tepat. Seperti saat ini, Seon Ho
bilang Sierra memang sedang menertawaiku. Untunglah kami tiba di restoran
dengan tepat. Pantas saja Sierra menyukai restoran ini, tempat ini memang
benar-benar nyaman. Lampu-lampu yang tidak terlalu terang dan juga tidak
terlalu temaram membuat mataku nyaman. Semua dinding di sini terbuat dari kaca.
Indah sekali. Dan yang lebih membuatku nyaman adalah alunan piano dari seorang
pianis yang mengalun sangat indah. Kami duduk di meja yang berada di dekat kaca
yang tak jauh dari tempat pianis memainkan pianonya. Aku duduk berhadapan
dengan Seon Ho dan Sierra duduk di sampingku. Setelah memesan makanan, Seon Ho
beranjak dari kursinya dan berbisik di telingaku.
“Cukup
diam dan dengarkan”.
“He??”.
Seon Ho tak menghiraukan ekspresi kebingunganku. Ia langsung menuju ke pianis
dan membisikkan sesuatu ke pianis tersebut.
“Ehm,
selamat malam. Izinkan aku menghibur anda semua, terutama wanita yang hadir
bersamaku malam ini”. Seon Ho tersenyum kepadaku dan suara tepuk tangan riuh
para tamu di restoran ini mengiringi dimulainya alunan piano. Apa yang dia
lakukan? Menyanyi? Dia pikir siapa dia? Boyband? Batinku. Piano mengalun dengan
indah dan suara Seon Ho pun tak kalah indah. Seon Ho menyanyikan lagu korea.
Aku mendengarkan dengan baik berusaha mengingat lagu apa yang sedang ia
nyanyikan. Ah, aku tahu. Ini lagu Taeyon-Can You Hear Me. Mengapa dia
menyanyikan lagu wanita? Meskipun begitu, suaranya sangat bagus dan
liriknya…………….
Meskipun sakit, tapi sedikit, bentuk air mata
Jeritan hatiku keluar
Jika aku lewat di depanmu, di sampingmu
Kau adalah seluruh duniaku
Aku ingin hanya kau
Tapi aku tidak bisa bernapas ketika aku di depanmu
Seperti jika kau bukan takdirku
Seolah-olah ini hanya sesaat
Selanjutnya padamu, yang membiarkan aku pergi dengan begitu mudah
Aku mendekat kepadamu langkah demi langkah
Meskipun aku tidak bisa bergerak sama sekali
Kau membuatku gelisah, kau membuatku menangis
Seperti orang bodoh, seperti anak kecil
Aku hanya ingin menertawakannya bukan
Semakin dekat aku mendapatkanmu
Meskipun aku mendapatkan ketakutan yang lebih
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Mengapa hanya cintaku yang terlambat
Mengapa hanya cintaku yang sulit
Meskipun aku tepat berada di depanmu, meskipun aku tepat berada di sampingmu
Kau adalah seluruh duniaku
Aku hanya melihatmu
Tapi ketika ketika aku di depanmu, aku selalu berpaling
Seolah-olah kau adalah yang terakhir untukku
Seolah-olah itu adalah saat-saat terakhirku
Selanjutnya padamu, yang hanya membiarkan aku pergi dengan begitu mudah
Aku pergi lebih dekat padamu lagi langkah demi langkah
Meskipun aku tidak bisa bergerak sama sekali
Kau membuat aku gelisah, kau membuat aku menangis
Seperti orang bodoh, seperti anak kecil
Aku hanya ingin menertawakannya
Semakin dekat aku mendapatkanmu
Meskipun aku mendapatkan ketakutan yang lebih
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Bahkan jika dari jarak jauh
Aku bisa melihat ke arahmu
Itulah apa yang kau sebut cinta
Jika mungkin ini sebuah kerinduan, kerinduan ini
Ketika terdengar, ketika itu tersentuh
Silahkan saja bertindak seperti kau tidak tahu
Meskipun aku dekat untuk mendapatkanmu, semakin aku merasakan ketakutan
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Jeritan hatiku keluar
Jika aku lewat di depanmu, di sampingmu
Kau adalah seluruh duniaku
Aku ingin hanya kau
Tapi aku tidak bisa bernapas ketika aku di depanmu
Seperti jika kau bukan takdirku
Seolah-olah ini hanya sesaat
Selanjutnya padamu, yang membiarkan aku pergi dengan begitu mudah
Aku mendekat kepadamu langkah demi langkah
Meskipun aku tidak bisa bergerak sama sekali
Kau membuatku gelisah, kau membuatku menangis
Seperti orang bodoh, seperti anak kecil
Aku hanya ingin menertawakannya bukan
Semakin dekat aku mendapatkanmu
Meskipun aku mendapatkan ketakutan yang lebih
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Mengapa hanya cintaku yang terlambat
Mengapa hanya cintaku yang sulit
Meskipun aku tepat berada di depanmu, meskipun aku tepat berada di sampingmu
Kau adalah seluruh duniaku
Aku hanya melihatmu
Tapi ketika ketika aku di depanmu, aku selalu berpaling
Seolah-olah kau adalah yang terakhir untukku
Seolah-olah itu adalah saat-saat terakhirku
Selanjutnya padamu, yang hanya membiarkan aku pergi dengan begitu mudah
Aku pergi lebih dekat padamu lagi langkah demi langkah
Meskipun aku tidak bisa bergerak sama sekali
Kau membuat aku gelisah, kau membuat aku menangis
Seperti orang bodoh, seperti anak kecil
Aku hanya ingin menertawakannya
Semakin dekat aku mendapatkanmu
Meskipun aku mendapatkan ketakutan yang lebih
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Bahkan jika dari jarak jauh
Aku bisa melihat ke arahmu
Itulah apa yang kau sebut cinta
Jika mungkin ini sebuah kerinduan, kerinduan ini
Ketika terdengar, ketika itu tersentuh
Silahkan saja bertindak seperti kau tidak tahu
Meskipun aku dekat untuk mendapatkanmu, semakin aku merasakan ketakutan
Kurasa aku tidak bisa menghentikan cinta ini
Aku
diam terpaku dan hanya menatap wajah Seon Ho hingga ia selesai bernyanyi. Tepuk
tangan dari para tamu bahkan sudah tidak bisa kudengar. Hanya suara Seon Ho
yang kuizinkan masuk ke telingaku sekarang.
“Bagaimana?
Suaraku bagus kan”. Tanya Seon Ho ketika tiba di meja kami.
“Hemmm..
indah sekali. Benarkan Sierra?”.
“Kalau
begitu lain kali akan aku nyanyikan lebih banyak lagu untukmu”.
“Lain
kali?”.
“Kalau
perlu setiap hari”.
“Kau
ini, selalu saja berkata seperti itu”. Kami tertawa bersamaan.
Di
Rabu pagi yang cerah ini aku mendapat pesan yang yang menyenangkan hatiku.
Bukan, bukan dari Seon Ho. Melainkan dari pemimpin kelas di kampus, ia bilang
hari ini tidak ada dosen jadi kuliah diliburkan untuk hari ini. Senangnyaaa. Sayangnya
Seon Ho tetap pergi ke kampus karena ada mata kuliah lain yang ia ambil dan
berbeda denganku. Bagaimanapun juga ini seperti kebetulan bagiku, kerena besok
Seon Ho ulang tahun. Jadi kurasa hari ini akan kuluangkan waktu senggang ini
untuk mencari hadiah ulang tahun untuknya. Hampir empat jam aku berkeliling di
mall untuk mencari kado, namun belum juga ada yang menarik perhatianku. Hingga
akhirnya mataku tertarik pada sebuah jaket bewarna cream dengan desain korea
sekali. Aku rasa Seon Ho akan cocok dengan jaket ini dan tentunya akan terlihat
sangat tampan. Membayangkannya saja aku sudah tersenyum sendirian. Aku juga
membeli bahan-bahan untuk membuat kue ulang tahun. Dalam hal ini aku memang
jago membuat kue ulang tahun. Sesampainya di rumah aku segera membungkus kado
dan membuat kue ulang tahun untuk Seon Ho.
Kamis
pagi datang, aku tak sabar untuk pergi ke kampus dan memberikan semua hadiah
ini untuk Seon Ho. Namun aku mendapat kabar bahwa Seon Ho tidak bisa menjempuku
karena dia akan sedikit terlambat. Baiklah, ini sebuah kebetulan lagi. Jadi
Seon Ho tidak akan tahu bahwa aku membawa kado dan kue untuknya. Sesampainya di
kampus aku segera menuju kelas dan menyembunyikan kado dan kue yang kubawa.
Namun hari ini seisi kelas menatapku dengan aneh. Ada apa? Apa aneh aku mebawa
barang sebanyak ini? Biarlah, sejak kapan mereka peduli dengan aktifitasku.
Pikirku. Aku duduk di kursi dengan cemas menunggu Seon Ho datang. Sudah 15
menit ia tak kunjung datang. Aku mulai gelisah dan berkali-kali melihat layar
handphone-ku berharap Seon Ho memberi kabar. Wallaa, akhirnya aku melihat Seon
Ho memasuki kelas. Ia langsung duduk di tempatnya, di pojok kelas seperti
biasa. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di kelas, aku segera menyalakan
lilin dan membawa kue ulang tahun itu ke dapan Seon Ho.
“Happy
birth…..”.
“Traak!!!”.
Seon Ho menepis kue ulang tahun di tanganku hingga terjatuh ke lantai. Ekspresi
dingin itu datang lagi, parahnya kini Seon Ho juga terlihat marah.
“Seon
Ho, kau… kau kenapa?” Aku terkejut dan panik dengan tindakan Seon Ho barusan.
Sekarang seisi kelas memperhatikan kami dengan tatapan yang aneh, beberapa
orang ada yang tersenyum sinis.
“Ada
apa ini? Apa yang terjadi? Kau kenapa Seon Ho?”. Aku berusaha tetap bertahan
menatap matanya dengan tajam. Namun Seon Ho tidak berkata apa-apa selain
membanting sebuah tabloid kampus di atas meja kemudian pergi meninggalkanku.
“Ini…
apa ini?”. Aku tercekat melihat isi tabloid itu dan tak kuasa menahan tangis.
Mengapa bisa jadi begini? Batinku. Tanpa pikir panjang aku segera mengejar Seon
Ho. Tidak, dia mau pergi kemana? Meninggalkan kuliah?.
Kuikuti
mobilnya dari belakang dengan hati-hati. Namun sepertinya Seon Ho menyadari
bahwa sedang diikuti. Seon Ho mempercepat laju kendaraannya, aku pun tidak mau
tertinggal dengan mempercepat kendaraanku juga. Hingga kami tiba di sebuah
jalan satu arah yang tidak terlalu ramai. Dengan keyakinan yang aku punya, ku
coba mendahului mobil Seon Ho dan berhenti di depan mobilnya menghadang jalan
Seon Ho. Yap, akhirnya! Mobil Seon Ho berhenti. Ia keluar dari mobilnya,
kulihat juga ia membukakan pintu depan. Sepertinya Sierra juga ikut keluar.
Dengan perasaan yang campur aduk, takut, bingung dan gelisaha aku menghampiri
Seon Ho.
“Kumohon
percayalah, ini bukan ulahku”.
“Masih
mengelak juga? Di dunia ini yang tahu nama Sierra hanya kau dan ayahku.
Maksudmu kau menuduh ayahku?”. Seon Ho berbicara dengan nada yang tinggi.
“Tidak,
bukan begitu. Tapi ini memang benar bukan ulahku”. Di tabloid kampus itu
tertulis bahwa Seon Ho memiliki kelainan psikologis yang menganggap seseorang
yang tidak ada itu menjadi ada dan sesuatu yang gaib itu dijadikannya sebagai
teman, dan nama teman khayalannya itu adalah Sierra. Di sana disebutkan juga bahwa
aku berpura-pura mengerti kehadiran Sierra karena dibayar oleh om Brata, ayah
Seon Ho.
“Pembohong!!
Pergi kau dari kehidupanku dan Sierra”.
“Tunggu,
kumohon percayalah padaku. Aku memang mendapat amanat dari ayahmu untuk menjadi
temanmu. Tapi soal bayaran itu, itu tidak benar. Dan aku tidak pernah
menceritakan tentang Sierra kepada orang lain”.
“Aku
muak mendengarnya, sebaiknya hentikan ocehanmu karena itu semua sia-sia”. Nada
bicara Seon Ho semakin meninggi saja. Ia tidak mempedulikanku yang susdah
beruraian air mata.
“Baik,
jika kau tidak percaya padaku. Tapi dengarkan satu hal, aku berusaha mengerti
duniamu dan mencoba merasakan kehadiran Sierra bukan untuk ikut gila bersamamu.
Aku hanya ingin kau mempunyai teman yang nyata, bukan teman khayalan seperti
Sierra. Aku ingin membantu ayahmu yang begitu merindukan Seon Ho yang dulu,
Seon Ho yang ceria. Bukan Seon Ho yang setiap hari hanya bicara pada Sierra,
teman khayalanmu itu”.
“Berhenti
menyebut Sierra teman khayalan!!”. Seon Ho berteriak dan mendekatkan wajahnya
kepadaku dengan ekspresi yang sangat marah.
“Kenapa?
Kau marah? Tidak suka? Spertinya lebih baik aku begini, jadi baik pun percuma
karena kau tidak mempercayaiku. Jika kau menuduhku sebagai orang jahat yang
telah menyebarluaskan omong kosong itu, bukankah lebih baik sekalian saja aku
melakukannya?”. Sakit, sakit sekali mengatakan itu semua kepada Seon Ho. Aku
saja merasa teriris, apalagi Seon Ho? Entahlah, yang jelas ia terlihat sangat
marah sekarang.
“Diamlah,
kau tidak tahu apa-apa tentang Sierra. Kau pikir siapa yang mampu membuatku
tetap hidup saat aku ingin mati melihat ibuku terbaring tak bernyawa? Kau pikir
siapa yang mampu membuatku bertahan hingga hari ini? Itu karena Sierra.!!”.
“Sierra,
Sierra dan Sierra, terus saja kau sebut nama itu. Lanjutkan saja hidupmu
bersama teman khayalanmu itu”. Aku merasa ini adalah akhir dari semua
kelelahanku. Aku berbalik badan dan segera pergi menuju mobil. Namun seseorang
memegang tanganku. Dingin. Aku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang”.
“Kumohon
jangan pergi”. Seorang wanita berbicara padakau sambil menangis.
“Kau…Si…Sierra?”.
Aku gugup tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Seorang wanita berambut
panjang sepinggul dan mengenakan gaun selutut bewarna hijau tosca. Matanya
bewarna coklat dan kulitnya sangat putih. Bagi kalian yang tidak berkesempatan
melihat Sierra, kira-kira ia seperti Yoona SNSD, cantik sekali.
“Kumohon
jangan tinggalkan Seon Ho”.
“Seon
Ho tidak mempercayaiku lagi, tidak ada gunanya aku di sini. Lebih baik aku
pergi. Kau lebih baik untuk menjaganya daripada aku”. Perlahan aku melepaskan
pegangan tangan Sierra yang dingin itu.
“Tapi
Zahra…”.
“Sudahlah,
senang bisa melihatmu Sierra. Selamat tinggal”.
Aku
segera melajukan mobilku dengan cepat. Pikiranku berkecamuk tak karuan. Bahkan
aku tidak bisa berpikir bagaimana Sierra bisa benar-benar nyata. Aku enggan
berpikir tentang itu. Terlalu sakit ketika berpikir mengenai Seon Ho dan
Sierra. Kulihat kado di jok depan mobilku dan tangisku pun pecah lagi.
Dua
hari kemudian….
“Maaf
om Brata, aku tidak berhasil membawa dunia Seon Ho kembali”. Kataku ketika
menemuinya di kafe tempat kami pernah bertemu.
“Tidak
apa-apa. Setidaknya kau sempat membuat hari-hari Seon Ho bewarna dan membawa
kembali senyumnya”.
“Tapi
sejak kejadian dua hari yang lalu, Seon Ho kehilangan senyumnya lagi”.
“Sudah,
tidak apa-apa. Oiya besok Seon Ho kembali ke Seoul. Kau tidak ingin
mengantarnya ke Bandara?”.
“Tidak
om, aku rasa Seon Ho juga tidak ingin melihatku lagi. Aku hanya ingin
menitipkan ini. Awalanya ini untuk kado ulang tahun Seon Ho, namun sepertinya
sekarang menjadi kado perpisahan. Katakan padanya aku minta maaf”. Aku
menyerahkan kado berisi jaket yang kubeli waktu itu pada om Brata. Tak terasa
air mataku jatuh membasahi pipiku saat aku mengucap kata maaf.
Dua
minggu kemudian….
Aku
baru saja pulang kuliah kemudian membaringkan tubuhku di tempat tidur. Tak lama
kemudian ibuku masuk ke kamar.
“Zahra,
ada surat untukmu”.
“Ya
letakkan saja di meja belajarku, aku mengantuk sekali. Terima kasih, Bu”.
Kataku sambil menarik selimut menutupi wajahku. Ibuku pergi keluar, sebelum
menutup pintu iya berkata,
“Sepertinya
surat itu dari luar negeri, dari Korea Selatan”.
Apa?
Korea Selatan? Mungkinkah Seon Ho? Dengan segera aku membuka surat itu. Rasa
kantukku hilang seketika dan bersemangat membaca suratnya yang ternyata bukan
dari Seon Ho. Melainkan dari om Brata. Di dalam surat itu terdapat tiket
pesawat untuk penerbangan 23 desember 2013. Apa? Ini kan bsesok? Batinku.
“Halo Zahra, apa kabar? Bisakah kau
datang ke Seoul secepatnya. Sudah kukirimkan tiket pesawat untuk penerbangan
besok pagi pukul 09.00 WIB. Kuharap kau bisa datang. Akan ada orang yang
menjemputmu di Bandara Incheon. Terimakasih”. –Om Brata
Keesokan
harinya aku segera bergegas ke Bandara Soekarno Hatta sejak pukul 7 pagi. Aku
tidak sabar untuk bisa pergi ke Seoul dan bertemu dengan Seon Ho. Jujur saja,
aku merindukannya. Sangat merindukannya. Walaupun aku merasa bingung mengapa om
Brata yang mengirim surat untukku? Apakah akan ada kejutan? Om Brata bilang aka
nada orang yang menjemputku di Bandara Incheon, apakha orang itu Seon Ho?
Pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Incheon. Kulihat beberapa orang
tengah menanti kehadiran orang-orang yang mereka tunggu. Di tengah kerumunan
orang kuliahat seorang pria memegang kertas putih bertuliskan
‘Azzahra-Indonesia’. Ah itu pasti jemputan untukku, tapi…mengapa bukan Seon Ho?
“Good
morning. Are you Azzahra from Indonesia? I’m Kim Dong Jun, Mr. Brata’s
secretary. Follow me, please”.
“A..ah,
thank you”.
Tuan
Kim Dong Jun membawaku ke sebuah rumah di darah Seoul. Rumah ini pasti rumah
milik Om Brata. Hemm lebih mewah daripada rumahnya yang di Indonesia. Kami tiba
di sebuah ruang tamu yang sangat luas. Om Brata sudah menunggu di sana.
“Mr.
Brata is waiting for you”. Tuan Kim Dong Jun mempersilahkanku mendekati Om
Brata dan pergi meninggalkan kami berdua.
“Penerbanganmu
menyenangkan?” Om Brata memulai pembicaraan ketika melihatku datang.
“Iya
om, terimakasih”.
“Duduklah”.
Om Brata mempersilahkan duduk kemudian ia juga duduk di sampingku.
“Om,
mengapa om memintaku datang ke Seoul?”.
“Karena
ada yang harus kau ketahui”.
“Apa
itu?”.
“Sebenarnya
sudah sejak lama Seon Ho mengidap kanker otak. Dan sejak kembali ke Seoul dua
minggu yang lalu, kesehatan Seon Ho semakin melemah. Dokter bilang kanker yang
diderita Seon Ho sudah menyebar hingga ke pembuluh darah. Sehingga memperparah
kondisi Seon Ho”.
“Benarkah
itu? Mengapa Seon Ho tidak pernah bilang padaku? Dirawat dimana ia sekarang?
Lebih baik sekarang kita ke rumah sakit”. Aku segera berdiri dari kursi
sedangkan Om Brata masih duduk terdiam di sana.
“Tidak
perlu ke rumah sakit”.
“Maksud
om ia dirawat di rumah?”.
“Tidak,
Seon Ho sudah meninggal kemarin”. Deg!! Tas yang ada di tanganku terjatuh di
lantai.
“Apa
om? Meninggal?”. Aku tak kuasa menahan tangisku. Ini pasti mimpi kan? Aku pasti
sedang bermimpi. Om Brata berusaha menenangkanku meskipun sebenarnya ia pun
terlihat sangat terpukul. Namun aku tetap saja menangis. Om Brata memelukku
agar aku tenang, aku tetap saja menangis.
“Maaf
om baru memberitahumu sekarang. Ini permintaan dari Seon Ho. Ia tidak ingin kau
melihatnya terbaring lemah di rumah sakit. Ia tak ingin membuatmu khawatir”.
“Seon
Ho bodoh”. Tanpa sadar aku mengucapkan hal itu. Aku semakin sedih jika aku
mengingat pertemuan terakhir kami adalah sebuah pertengkaran yang sangat hebat.
Mengapa aku tidak diizinkan meminta maaf padanya? Mengapa?
“Ini
titipan dari Seon Ho”. Om Brata meberikanku secarik surat yang dibunkus dengan
amplop merah muda. Dengan cepat aku segera membukanya. Apa ini? Hanya empat
kalimat? Batinku
“Zahra, aku sudah tahu kebenarannya
bahwa yang menulis di tabloid itu adalah Vita. Aku titipkan Sierra padamu,
kumohon jadilah teman untuk Sierra. Zahra, maafkan aku. Aku menyanyangimu”.
Di
dalam amplop itu juga ada sebuah foto Seon Ho sedang duduk di kursi roda
mengenakan jaket yang kuberikan untuknya. Ia tersenyum, tampan sekali. Tangisku
kembali pecah melihat itu semua. Kupeluk erat foto Seon Ho dan secarik surat
darinya.
“Sebenarnya
banyak yang ingin ia tuliskan untukmu, tapi di saat-saat terakhirnya ia terlalu
sakit untuk terus menulis. Aku bahagia ia sempat menulis “aku menyayangimu”
dalam suratnya itu”.
“Sierra…kau??”.
Sierra duduk di sampingku. Aku pun langsung memeluk tubuhnya yang dingin itu.
“Seon
Ho beruntung pernah memiliki teman sepertimu. Sekarang aku yang akan menjadi
temanmu. Seperti janjiku pada Seon Ho, aku akan menjagamu”. Kata Sierra bicara
di dalam pelukan.
Aku
tidak berlama-lama di Seoul. Keesokan harinya aku segera kembali ke Indonesia dengan
penerbangan paling pagi karena aku harus segera kuliah. Dan aku pulang bersama
Sierra. Rupanya berita kematian tentang Seon Ho sudah sampai ke Indonesia. Di
depan kampus ada beberapa karangan bunga dari beberapa dosen yang turut
berbelasungkawa atas meninggalnya Seon Ho. Aku berdiri di depan salah satu
karangan bunga sambil tertunduk. Dan kurasakan seorang wanita datang
menghampiriku. Tidak, bukan Sierra. Melainkan Vita.
“Zahra,
maafkan aku”. Aku hanya menatapnya tanpa berbicara apa-apa.
“Waktu
itu aku mengikuti kalian hingga ke restoran steak. Di hari itu aku jadi
mengetahui bahwa teman khayalan Seon Ho itu Sierra. Maafkan aku”. Aku masih
tidak menjawab dan Vita pun sepertinya tidak punya kata-kata lagi untuk
diucapkan. Aku mendekati wajahnya, menatap matanya tajam.
“Pabo!!”.
Kataku sambil berlalu meninggalkan Vita sendirian yang tercekat mendengar
ucapanku.
***
ceritanya keren kak (y)
BalasHapus