Halaman

Cerpen

Who Am I?



Perkenalkan, namaku Valentine Tristan. Ibuku memberi nama Valentine bukan karena aku lahir pada tanggal 14 Februari yaitu saat hari Valentine. Tapi nama Valentine adalah nama sebuah nama bersejarah bagi ibuku. Seharusnya aku mempunyai kakak perempuan, tapi ia harus pergi lebih dahulu akibat kecelakaan mobil saat ia berumur 5 tahun. Kecelakaan itu bukan hanya merenggut nyawa kakak perempuanku, tapi juga kakak laki-lakiku yang saat itu berumur 3 tahun. Meskipun menurut sejarah mereka adalah kakakku, tapi aku tidak sempat bertemu mereka. Aku baru terlahir 2 tahun setelah kecelakaan itu. Kakak perempuanku bernama Valentine, dan kakak laki-lakiku bernama Tristan. Itulah sebabnya Ibuku memberiku nama Valentine Tristan. Ibu mengatakan meski raga kakak-kakakku tidak ada di dunia ini, tapi ia ingin memanggil nama mereka setiap hari. Ia ingin tetap merasa merawat tiga orang anak seperti seharusnya. Aku pernah bertanya pada ibu apakah aku punya nama tersendiri selain nama-nama dari kakakku. Dan dengan tetesan air mata mengalir lembut di pipinya ia berkata padaku bahwa namaku adalah Valentine Tristan, itulah namaku. Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataan ibuku. Bukankah Valentine Tristan itu berasal dari nama kakak-kakakku? Tapi tanpa harus ku mengerti, aku segera memeluk ibuku yang kurasa ia masih merasa kehilangan meskipun peristiwa itu sudah berlalu 21 tahun yang lalu.
                Sekarang umurku tepat 19 tahun dan aku kuliah di Universitas Indonesia jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi. Tumbuh sebagai seorang Valentine Tristan membuatku merasa tidak punya jiwa. Ibuku selalu memperlakukan aku sebagai Valentine, atau terkadang seperti Tristan. Tapi sebagai aku? Itu tidak pernah terjadi. Pernah aku berpikir sebenarnya aku ini siapa? Apakah ibuku melahirkanku hanya untuk “melahirkan” Kak Valentine dan Kak Tristan?. Karena selama 19 tahun aku hidup di dunia, ibu tidak pernah memperlakukan aku sebagai “aku”.
Aku masih ingat dengan jelas saat hari kelulusanku dari SMA, ibu berkata padaku sambil mengusap-usap rambutku yang terurai panjang.
“Sejak kalian kecil ibu sudah yakin bahwa kamu bisa Valentine, ibu percaya kamu pasti lulus Tristan. Kalian memang anak yang pintar”.
Air mataku jatuh dengan deras mendengar perkataan ibu itu. Kalian??? Ia sama sekali tidak memujiku. Ia hanya memuji Kak Valentine dan Kak Tristan. Padahal ini adalah ragaku, bukan raga mereka. Ibu sama sekali tidak menganggap keberadaanku. Meskipun ibu pernah berkata bahwa ia ingin merasa merawat tiga orang anak seperti seharusnya, tapi kenyataannya selama ini ia seperti hanya merawat dua orang anak yaitu Kak Valentine dan Kak Tristan. Tidak ada aku di dalam hatinya.
Aku memendam perasaan sakit hati dan kesedihanku selama bertahun-tahun. Aku tidak pernah protes terhadap sikap ibuku. Karena aku masih beruntung punya ayah yang masih menyayangiku dan mengaanggapku ada. Dialah satu-satunya orang yang menyayangiku selayaknya aku, bukan Valentine Tristan. Tapi keberuntungan itu tidak berlangsung lama. Satu bulan yang lalu Tuhan memanggil ayahku untuk bersama-Nya. Kepergian ayahku membuat aku merasa benar-benar tidak ada di kehidupan ini. Detik-detik sebelum ayahku meninggal, aku mengatakan sesuatu padanya, “Ayah, jika ayah harus pergi menemui Tuhan sekarang, bisakah ayah menyampaikan pesanku untuk-Nya?. Katakan padanya untuk mengembalikan Kak Valentine dan Kak Tristan ke dunia ini. Panggillah aku untuk berada di sisi-Nya. Tak  apa jika aku tidak pernah hidup. Karena ibu tidak menginginkanku, dia hanya menginginkan Kak Valentine dan Kak Tristan. Ayah, aku mohon sampaikan pesanku ini pada Tuhan”. Sesaat setelah aku selesai bicara, ayahku hanya tersenyum sambil menghembuskan nafas terakhirnya. Rasanya seperti aku sedang mengetik SMS dan saat ku tekan “sent” terdapat tulisan di layar handphone ku “Pesan Terkirim”.
                Tapi setelah satu bulan kepergian ayahku, tidak ada balasan pesan dari Tuhan. Entah apakah ayahku lupa menyampaikannya atau pesanku terlalu panjang hingga ayah tidak ingat apa isi pesanku.
Hingga pada suatu hari aku lelah menunggu jawaban dari Tuhan dan berniat mengakhiri hidupku dengan caraku sendiri. Aku pergi ke tepi laut dan aku berdiri di tepi laut sambil melamun melihat lautan yang luas. Tiba- tiba seorang anak kecil cantik menghampiriku. Ia mengenakan baju merah dan rok merah muda dengan pita merah terikat di rambut ikalnya. Ia tersenyum padaku sambil menjilat-jilat ice cream yang ia pegang.
“Kakak mau?”. Tanya anak itu sambil tersenyum.
“Oh tidak, untuk kau saja”. Jawabku lembut.
Tiba-tiba anak kecil itu mengatakan sesuatu yang membangunkanku dari lamunan kecilku.
“Apa kakak ingin mati?”. Tanyanya sambil menatap mataku tajam.
“Apa?” Aku terkejut.
“Seseorang berdiri di tepi laut tanpa memegang alat pancing pasti hanya punya satu tujuan, yaitu bunuh diri”. Ia bicara seolah ia lebih tua dari pada aku. Padahal jika dilihat dari postur tubuhnya aku mengira usianya baru 10 tahun.
“Apa yang kau katakan? Kau masih kecil, tidak mengerti arti kehidupan”.
“Memangnya kakak mengerti arti hidup?”. Tanpa ragu ia balik bertanya padaku.
“Bagiku, hidup itu tidak ada”. Jawabku sambil menatap ombak dilaut yang sedang berkejar-kejaran dengan cepat.
“Salah”. Anak kecil itu menanggapi ucapanku dengan tegas lalu ia melanjutkan pembicaraannya.
“Hidup itu seperti ice cream. Ice cream memiliki banyak rasa agar manusia dapat menikmatinya. Dan yang terpenting adalah ice cream punya masa tersendiri kapan ia harus meleleh dan kapan ia harus tetap membeku. Karena ice cream butuh suhu tertentu agar tetap bertahan menjadi ice cream yang utuh”.
“Kau gila”. Umpatku sambil meninggalkan anak kecil itu. Dan tiba-tiba ia berteriak padaku.
“Kakak..!! sebenarnya aku hanya ingin katakan pada kakak kalau mau bunuh diri jangan di laut ini. Tidak terlalu dalam.. Sulit untuk mati dalam waktu cepat”.
Perkataannya itu semakin menguatkan batinku bahwa anak kecil itu sudah gila. Tanpa banyak berpikir aku segera menjauh darinya dan mengemudi mobilku dengan kecepatan tinggi menuju rumah.
                Pikiranku kosong, aku tidak dapat mengemudikan mobilku dengan benar. Akibatnya aku hampir menabrak seorang anak laki-laki bermata coklat dengan pakaian rapi membuat dirinya terlihat seperti anak orang kaya. Kemeja biru yang ia gunakan membuat ia tampil elegan. Ia jatuh tepat di depan mobilku, aku tidak yakin apakah tadi aku menabraknya atau tidak. Yang jelas ia tersungkur di depan mobilku dengan luka di kakinya. Darah menetes ke aspal dari lukanya itu. Dengan ekspresi panik aku menghampirinya dan mencoba membantu dia untuk berdiri. Orang-orang di sekitarku seolah tidak melihat kami. Mereka beraktivitas seperti biasanya seperti tidak ada kecelakaan di dekat mereka. Aku berpikir ini menguntungkanku karena mereka tidak ada yang menyalahkanku.
“Kau tidak apa-apa? Sakit tidak?”. Tanyaku pada anak kecil itu.
“Tidak, tidak sakit”. Jawabnya datar.
“Tapi kau terluka, bagaimana bisa ini tidak sakit”. Aku heran padanya.
“Lukaku ini tak sesakit luka yang kakak rasakan. JIka aku merasa luka ini sakit, lebih baik tadi kakak menabrakku saja hingga meninggal. Agar aku tidak merasakan sakitnya lukaku”. Dia menjawab sambil menatap mataku dengan tajam.
“Kau ini bicara apa?”. Tanyaku heran.
“Bukankah itu yang kakak rasakan? Bukankah kakak menilai hidup sesederhana itu? Yang bisa diakhiri dengan mudah agar sakitnya tak terasa lagi?”. Ia mengucapkan-kata itu sambil berdiri dan ingin meninggalkanku yang terpaku oleh ucapannya. Aku segera tersadar dan segera memanggilnya.
“Hey tunggu sebentar, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”. Teriakku.
Ia menoleh ke arahku, dengan pandangan tajam dan senyum simpul di bibirnya dia berkata padaku, “Aku lebih dari sekedar pernah bertemu denganmu”.
Mendengar ucapanya itu aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku bingung harus berkata apa. Anak kecil itu aneh. Usianya sekitar 8 tahun, tapi ucapannya sudah seperti orang dewasa.
Belum sempat aku menanggapi ucapannya ia sudah tak terlihat lagi di seberang jalan.
Aku segera kembali ke mobilku sambil memikirkan apa maksud perkataan dari anak kecil itu. Tapi dengan cepat aku segera melupakannya. Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar aku mati. Karena misi bunuh diriku hari ini gagal karena perempuan kecil di tepi laut itu.
***
                Jam berdetak menunjukan pukul 02.00 pagi. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dengan perlahan. Dengan mata yang terkantuk-kantuk aku berusaha melihat siapa yang masuk ke kamarku. Ternyata itu adalah ibuku. Tanpa ragu ia memintaku untuk bangun dari tempat tidurku.
“Bisa kita bicara sebentar?”.
“Tapi ibu, ini jam dua pagi. Apa tidak bisa besok?”.
“ Tidak bisa, harus sekarang”. Ibu segera menarik tanganku menuju ruang TV. Di sana sudah ada TV yang memutar slide foto-foto anak kecil berumur 5 dan 3 tahun yang kuyakini itu adalah foto kak Valentine dan Kak Tristan. Emosiku hampir meledak karena pagi-pagi buta ibu membangunkanku hanya untuk melihat semua ini. Tapi belum sempat aku marah, ibu memintaku duduk di sofa dan ia duduk di sampingku.
“Mereka lucu kan?”Tanya ibu sambil tersenyum padaku. Dengan nada datar aku menjawab pertanyaan ibu seadanya.
“Iya, Lalu?”.
“Saat ibu tertidur tadi, ibu bermimpi bertemu dengan mereka”. Ibu mulai bicara sambil menatapku penuh arti. Lalu ia melanjutkan ceritanya.
“Ibu bertemu mereka, Valentine cantik sekali dan Tristan sangat tampan. Sekarang mereka sudah tumbuh menjadi anak kecil yang lucu. Bukan balita lagi”.
“Tunggu ibu, bukankah seharusnya sekarang mereka sudah dewasa? Mengapa masih anak-anak?”. Tanyaku memotong cerita ibu.
“Ibu tidak tahu, mereka terlihat seperti anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka memeluk ibu dengan erat dan duduk di samping ibu. Mereka mengatakan bahwa mereka menyayangi ibu. Saat itu ayahmu juga datang menemui ibu, mereka bertiga tersenyum melihat ibu. Ibu senang sekali malam ini. Rasanya ibu tidak ingin terbangun dari tidur ibu tadi”.
Lagi-lagi aku memotong pembicaraan ibu. “Lalu mengapa ibu terbangun? Tidur saja sana. Temui mereka lebih lama lagi. Ibu kan membutuhkan mereka, bukan aku. Iya kan?”. Aku berbicara dengan nada sedikit tinggi. Aku merasa marah pada ibu.
“Kau ini bicara apa?”. Ibu mulai emosi juga.
“Selama 19 tahun aku hidup, apakah ibu pernah menganggapku ada? Pernahkah ibu merasakan membutuhkanku? Tidak kan?”.
“Jangan bicara asal Valentine”. Ibu membentakku.
“Jangan panggil aku Valentine, aku benci nama itu. Jangan juga panggil aku Tristan. Aku benci!!”.
“Ada apa denganmu ini?”. Ibu heran menatapku.
“Ibu yang ada apa, bukan aku. Saat aku jadi juara kelas, siapa yang ibu puji? Valentine, Tristan, atau aku? Saat aku terbaring lemas dirumah sakit, siapa yang ibu tangisi? Valentine, Tristan atau aku?. Saat ibu memeluk raga ini, siapa yang ibu peluk saat itu? Valentine, Tristan, atau aku?. Jawab bu!!”. Aku mulai menangis sambil berteriak pada ibu.
“Kau ini sudah gila atau apa?”. Tanya ibu sambil memegang pundakku dan menatapku tajam. Dengan air mata menetes di pipiku aku berbicara lembut pada ibu.
“Ya bu, aku memang sudah gila. Dan aku gila karena ibu. Ibu yang menjadikan aku seperti ini. Jawab aku bu, siapa aku?”.
“Kau Valentine Tristan, anak ibu.” Jawab ibu tegas.
“Siapa aku bu?”. Tanyaku sekali lagi.
“Kau Valentine Tristan. Apa kau lupa dengan namamu sendiri?”. Jawaban ibu masih sama.
Bosan mendengar jawaban ibu aku langsung berbaring di sofa dan menutup mataku rapat-rapat. Dan kemudian aku mendengar ibu berkata lembut padaku.
“Boleh ibu melanjutkan cerita mimpi ibu?”. Oh My God. Aku merasa ibu sudah tidak sehat. Sehabis bertengkar ia tetap saja melanjutkan ceritanya. Aku tidak menjawab pertanyaannya tapi ibu tetep lanjut bicara.
“Kau tahu tidak, sebenarnya Valentine dan Tristan berpesan satu hal pada ibu. Mereka memerintahkan ibu agar mengganti namamu”.
Mendengar ucapan ibu aku segera membuka mataku. Aku terkejut dengan hal itu.
“Apa maksud ibu?”, Tanyaku heran.
“Mereka bilang hari ini kau mencoba bunuh diri di laut. Dan itu karena kesalahan ibu. Ibu tidak pernah menganggapmu ada. Ibu tidak pernah memanggilmu dengan “namamu sendiri”. Seperti yang kau ucapkan tadi. Kau merasa tertekan dengan sikap ibu hingga kau berniat untuk mengakhiri hidupmu”.
Aku terdiam sejenak mendengar perkataan ibu. Dengan terbata-bata aku mulai bicara.
“Bolehkah aku bertanya?. Apakah di mimpi itu Valentine menggunakan baju merah, rok merah muda, dan pita merah di rambutnya?. Dan apakah Tristan menggunakan kemeja biru dan matanya bewarna coklat?”.
“ya benar, mereka menggunakan itu. Itu pakaian yang mereka gunakan saat terjadi kecelakaan 21 tahun yang lalu. Tapi dari mana kau tahu?”.
“Aku bertemu dengan mereka tadi sore bu”.
Kami berdua diam sejenak tanpa suara. Pagi-pagi buta seperti ini membuat keheningan begitu terasa.
“Bertemu? Tapi bagaimana bisa?”.
“Aku tidak tahu bu, mereka yang membatalkan niat bunuh diriku sore itu. Terutama kak Valentine”.
Ibu tidak menanggapi perkataanku, ia hanya menatap mataku lama sekali. Dan air matanya pun terjatuh. Ia segera memelukku dengan erat. Ia tetap memelukku tanpa berkata apapun”.
“Ibu.. Ibu kenapa?”.
“Maafkan ibu nak, selama ini ibu tidak pernah menganggapmu ada. Bahkan selama 19 tahun, ibu terlalu jahat kan? Maafkan Ibu. Kau putri kecilku, kau putri bungsu ibu yang cantik. Kau milik ibu. Jangan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi. Ibu tak mau kehilanganmu juga. Cukup Valentine, Tristan dan ayahmu yang meninggalkan ibu. Kau harus tetap disini. Ibu berjanji mulai saat ini ibu hanya akan menyayangimu. Karena kau yang ada di samping ibu”.
Aku tidak mampu berkata apa-apa. Aku hanya bisa menangis bahagia di pelukan ibu. Ini pertama kalinya ibu menganggapku ada. Bukan sebagai Valentine atau Tristan. Tapi sebagai “aku yang sebenarnya”. Rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukan dari ibu. Aku senang dengan keadaan seperti ini. Hingga akhirnya ibu melepaskan pelukannya perlahan-lahan dan menatap mataku.
“Mulai hari ini namamu adalah Rossa Violla. Kau suka nama itu? Atau kau punya pilihan sendiri? Katakan pada ibu”.
“Tidak bu, aku suka nama itu. Bisakah ibu memanggilku dengan nama itu sekarang?”
“Baiklah Rossaku sayang”. Ibu kembali memelukku dengan erat. Kami berdua menangis bahagia di pagi-pagi buta yang hening. Aku menoleh ke arah TV yang sejak tadi menampilkan foto-foto Kak Valentine dan Tristan. Kulihat mereka tersenyum padaku dan aku membalas senyum untuk mereka dan TV itu pun mati seketika.
Inilah hari dimana aku merasa terlahir sebagai manusia yang baru. Aku baru menemukan jiwaku hari ini sebagai Rossa Violla. Terimaksih ibu, ini adalah hadiah terindah bagiku. Sebuah nama yang sangat indah.

The End

1 komentar: